tirto.id - Waktu bala tentara fasis Jepang hadir di Sumatra, kesempatan jadi tentara sukarela (Gyugun) tak disia-siakan pemuda asal Lahat, Sumatra Selatan bernama Muhammad Noerdin Pandji. Dia kemudian dilatih di Pagaralam, kota pegunungan yang tidak jauh dari Lahat.
Menurut catatan Mestika Zed dalam Giyugun: Cikal-Bakal Tentara Nasional di Sumatra (2005: 206), sebelum ikut pendidikan Gyugun, Noerdin Pandji adalah seorang pelajar. Sekolahnya lumayan bergengsi. Buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid II (1983: 226) menyebutkan laki-laki kelahiran 13 November 1924 ini lulus HIS pada 1939, lalu lanjut sekolah di MULO. Noerdin lalu menjadi perwira Gyugun dengan pangkat setara letnan dua.
Ketika Indonesia merdeka, Noerdin berdiri di belakang Republik Indonesia. Noerdin bergabung dengan tentara Republik dan berpangkat mayor. Pasukan yang dipimpinnya jauh lebih banyak daripada di zaman Jepang. Noerdin dan pasukannya ikut melawan tentara Belanda di Lampung dan Palembang.
Salah satu kawan seperjuangannya adalah Mayor Jenderal Alamsyah Ratu Perwiranegara, yang pernah jadi Menteri Agama di zaman Orde Baru. “Mayor Noerdin Pandji adalah kawan baik saya sejak di Gyugun,” aku Alamsyah dalam H. ARPN: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim (1995: 89).
Noerdin Pandji pernah pula menjadi Komandan Batalion Mobil Sub Teritorium Lampung. Dia juga terkait dengan sejarah Garuda Hitam, yang belakangan menjadi nama Korem di Lampung.
Setelah revolusi berlalu, Noerdin pernah menjadi KMKB Palembang dan Komandan Batalyon 205, TT II (yang belakangan jadi Kodam Sriwijaya). Pada 1951, seperti dicatat buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid II (hlm. 226), Noerdin yang sudah berpangkat mayor, dan pernah turun sebentar menjadi kapten karena rasionalisasi, mengundurkan diri dengan hormat dari ketentaraan.
Pemegang Bintang Gerilya ini, masih menurut buku yang sama, pada 1960 terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Selatan. Sempat juga dia belajar hukum di Universitas Sriwijaya di masa Demokrasi Terpimpin. Pada 1966 dia menjadi Ketua DPRD. Dua tahun kemudian Noerdin menduduki kursi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) selaku utusan daerah. Dia sempat ikut pencalonan Gubernur Sumatra Selatan pada 1963, 1967, dan 1978. Tapi Noerdin tidak pernah menduduki jabatan itu.
Dari Kakek sampai Cucu
Sebelum revolusi berakhir, putra Haji Pangeran Ibrahim ini menikahi seorang perempuan bernama Fatimah binti Pangeran Abdul Hamid, yang berasal dari Sekayu, Musi Banyuasin (Muba). Mereka berdua kemudian punya tujuh anak. Salah satu yang kesohor tentu saja Alex Noerdin, yang dua periode jadi Gubernur Sumatra Selatan.
Alex Noerdin lahir pada 9 September 1950. Dia menjalani masa muda yang berbeda dengan ayahnya yang pernah jadi serdadu. Laki-laki yang pernah kuliah di Trisakti dan Atmajaya ini menikahi Sri Eliza. Anak pertama mereka adalah Dodi Reza Alex Noerdin, kelahiran 1 November 1970, ketika Alex berusia 20.
Sejak 1980, Alex Noerdin adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatra Selatan. Sebagai anak veteran, Alex muda pernah tergabung dalam Pemuda Panca Marga di Palembang, di mana dia pernah menjadi Ketua Cabang. Alex Noerdin juga aktif di Golongan Karya (Golkar) dan menjadi pengurusnya di zaman Orde Baru.
Karier politiknya menanjak di era pasca-Soeharto. Pada 2001 Alex Noerdin terpilih sebagai Bupati Muba.
“Ia meluncurkan rencana lima tahunnya, 'Muba Sejahtera 2006'. Meskipun melimpah dengan sumber alam, Muba memiliki tingkat kemiskinan yang paling tinggi dibanding kabupaten mana pun di Sumatra Selatan, dengan sedikitnya 50 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan,” tulis Elizabeth Fuller Collin dalam Indonesia Dikhianati (2008: 192).
Alex menjanjikan perbaikan kepada rakyat Muba, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Collin mencatat Alex berjanji akan menyediakan fasilitas listrik dan air bersih, membangun puskesmas dan klinik, menyediakan asuransi jiwa dan kesehatan, menggratiskan biaya sekolah, dan memperbaiki jalan-jalan.
Alex Noerdin adalah pemimpin daerah yang terobsesi pada sekolah unggulan. Ketika dia jadi Bupati Muba, SMAN 2 Sekayu berusaha dijadikannya sekolah unggulan. Guru-guru dari Jawa Tengah didatangkan ke sana. Ketika dia menjadi gubernur, Sumatra Selatan punya sekolah unggulan berasrama, SMAN Sumsel.
Jika sebagian dari janji-janji itu terwujud, Alex Noerdin tentu disukai rakyat Muba dan diimpikan rakyat kabupaten lainnya. Pembangunan Muba dianggap sukses. Alex pun dipilih kembali jadi bupati untuk masa jabatan 2007-2012.
Masa jabatan itu tak dituntaskannya. Pada 2008 Alex Noerdin maju dalam pemilihan langsung Gubernur Sumatra Selatan. Dia pun terpilih sebagai gubernur dengan masa jabatan 2008-2013.
Ketika Alex Noerdin menjadi gubernur, putra sulungnya, Dody, terpilih sebagai anggota DPR dari Partai Golkar pada 2009. Si sulung ini dianggap sebagai penerus Alex Noerdin. Pada 2011 Dody Reza mencoba peruntungan untuk bisa menjadi Bupati Muba, daerah asal neneknya, Fatimah binti Pangeran Abdul Hamid. Kala itu Dody tidak beruntung. Dia keok.
Tiga tahun setelahnya, pada 2013, Alex Noerdin bertarung lagi dalam Pilgub Sumatra Selatan. Alex Noerdin menang lagi, jadilah dia gubernur untuk periode 2013-2018. Sebelum masa jabatan Alex Noerdin habis sebagai Gubernur, pada 2017 Dody Reza baru bisa menjadi Bupati Muba.
Kini Alex Noerdin adalah anggota DPR. Dia tentu saja punya harapan untuk Dody Reza agar mengikuti jejaknya menjadi Gubernur Sumatra Selatan. Alex Noerdin bisa dibilang Syahrul Yasin Limpo-nya Sumatra Selatan—anak tentara yang meneruskan tradisi jadi politikus dari orang tuanya dan bahkan menurunkan tradisi itu ke anak-anaknya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan