tirto.id - Sangat lazim kita mengenal jabatan kepala daerah di Indonesia diemban secara bergilir oleh satu keluarga, dari suami ke istri, lalu ke anaknya, kemudian ke kerabat dekatnya. Tetapi di Kota Padang, gejala baru dari dinasti politik muncul: pasangan suami-istri mendaftar sebagai calon wali kota dan calon wakil wali kota dalam Pilkada serentak 2018.
Syamsuar Syam-Misliza, pasangan itu, maju lewat jalur perseorangan. Meski mereka sangat mungkin terganjal prasyarat suara dukungan minimal dalam tahap verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum setempat, tetapi hal ini bisa menjadi preseden dalam politik elektoral pada masa mendatang.
Basisnya, tidak aturan hukum yang melarang hal tersebut, baik dalam Undang-Undang Pilkada maupun KPU. Apalagi sejak Mahkamah Konstitusi mencabut pasal larangan keluarga petahana mencalonkan diri dalam Pilkada. Keputusan MK ini semakin menyuburkan praktik dinasti politik—istilah untuk merujuk kekuasaan politik dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terikat hubungan keluarga.
Memimpin negara seperti mengurus sebuah kelurahan, dan memimpin daerah seperti mengatur sebuah rumah tangga—hal semacam itulah yang dibayangkan oleh pasangan Syamsuar Syam-Misliza.
Syam, seorang pensiunan tentara berpangkat letnan kolonel, mengatakan kepada reporter Tirto bahwa gagasan ia mengajak sang istri menjadi pasangan politiknya diutarakan seminggu sebelum batas pendaftaran.
"Maju berpasangan dengan istri, tentu akan menepis potensi konflik antara wali kota dan wakil wali kota yang selama ini kerap terjadi," kata Syam lewat saluran telepon.
"Kalau ada persoalan antara wali kota dan wakil wali kota, kita bisa selesaikan di tempat tidur," Syam menirukan ucapan sang istri. "Daripada berlarut-larut menjadi perang dunia." Nada suaranya mantap.
Upaya Syam untuk merebut kursi nomor satu di Kota Padang bukan kali ini saja. Ia sudah mengusahakan sebanyak dua kali, dan keduanya gagal.
Pada 2008, Syam berpasangan dengan Suwandel Mukhtar; mereka gagal pada tahap verifikasi. Lima tahun kemudian Syam kembali maju berpasangan dengan Mawardi Nur. Lagi-lagi ia gagal.
Cerita Pilkada 2013 itu sendiri adalah sebuah drama. Jumlah elektorat di Kota Padang saat itu ada 560-an ribu. Jumlah sekecil ini harus memilih 10 pasangan calon, dan harus melewati tahap kedua; atau dengan kata lain: uang negara harus digelontorkan lagi. Ia menghasilkan wakil wali kota petahana Mahyeldi, politikus dari PKS, sebagai wali kota terpilih, dengan perolehan suara 50 persen lebih sedikit. Pemenangan Mahyeldi digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh kandidat yang kalah, dan baru benar-benar dilantik setelah ditunda lama karena terhalang pemilu legislatif 2014.
Kini Mahyeldi maju lagi berpasangan dengan Ketua PAN Kota Padang Hendri Septa. Pasangan ini akan melawan Emzalmi, Wakil Wali Kota Padang, yang berpasangan dengan Desri Ayunda. Emzalmi-Desri didukung oleh koalisi gemuk: Demokrat, Gerindra, Golkar, Hanura, NasDem, PDIP, PKB, dan PPP. Nyaris tak ada parpol tersisa untuk Syamsuar Syam. Maka muncullah niat itu: ia menggandeng istrinya dan menempuh jalur independen.
Lagi-lagi, semua itu bisa terjadi dalam dinasti politik.
Mari lihat Klaten, sebuah kabupaten di antara Yogyakarta dan Surakarta. Jabatan kepala daerahnya secara bergantian dipegang oleh suami-istri selama 20 tahun.
Rantai kekuasaan bermula dari bupati Haryanto Wibowo, suami Sri Hartini, yang menjabat pada periode 2000-2005. Lalu Haryanto diganti Sunarna, suami Sri Mulyani, yang berpasangan dengan Haryanto—kali ini sebagai wakil bupati—untuk periode 2005-2010.
Pada periode selanjutnya, bupati Sunarna kembali terpilih dengan menggandeng Sri Hartini, istri Haryanto, sebagai wakil bupati. Pada 2016, Sri Hartini giliran menjadi bupati, berpasangan dengan Sri Mulyani, istri Sunarna.
Ketika bupati Sri Hartini ditangkap Komisi Pemberantasan korupsi lantaran kasus suap promosi jabatan para PNS, Sri Mulyani tentu saja naik menjabat bupati Klaten.
Contoh lain adalah Kota Cimahi di Jawa Barat, yang kepala daerahnya dijabat secara estafet oleh pasangan suami-istri. Wali Kota Cimahi, M. Itoc Tochija, menjabat selama dua periode (2002-2012). Periode selanjutnya giliran Atty Suharti, istri Itoc, yang memegang wali kota. Belakangan KPK menciduk Atty atas kasus suap proyek pembangunan pasar pada 2017.
Begitu pula di Indramayu. Secara bergantian kepala daerah kabupaten di pesisir utara Jawa Barat ini dijabat oleh suami-istri. Irianto MS Syafiuddin atau nama akrabnya Yance, seorang politisi Golkar, menjabat sebagai Bupati Indramayu selama dua periode (2005-2010), lalu berganti ke tangan istrinya, Anna Sophanah, pada 2010-2015. Pasangan ini terbelit kasus korupsi.
Politik Dinasti dalam Pilkada 2018
Kepemimpinan politik yang ditopang oleh hubungan kekerabatan semakin menguatkan dinasti politik. Ini terekam dalam Pilkada serentak 2018. Dari 171 daerah yang menggelar Pilkada tahun ini, sedikitnya sembilan di antaranya diisi oleh pasangan calon yang memiliki relasi keluarga dengan petahana.
Dodi Reza Alez Noerdin, misalnya, yang diusung oleh PDIP, Golkar, dan PKB sebagai calon Gubernur Sumatera Selatan. Dodi adalah putra dari gubernur inkumben Alex Noerdin. Di Sulawesi Tenggara, calon gubernur Asrun, yang diusung lewat koalisi Gerindra, PDIP, PKS, PAN, dan Hanura, semula adalah Wali Kota Kendari. Putranya, Adriatma Dwi Putra, kini menggantikannya berkat menang dalam Pilkada 2017 lalu. Jaringan kekerabatan Asrun merambah pula sebagai bupati Konawe Selatan hingga Kolaka dan kursi legislatif daerah.
Di Sulawesi Selatan, Ichsan Yasin Limpo, calon gubernur yang maju lewat jalur perseorangan, adalah adik dari gubernur petahana Syahrul Yasin Limpo.
Di Maluku Utara, dari empat paslon yang didaftarkan ke KPU, dua di antaranya kakak-adik: Abdul Gani Kasuba, yang diusung PDIP dan PKPI, dan Muhammad Kasuba, Bupati Halmahera Selatan, yang diusung PKS, Gerindra, dan PAN.
Di Nusa Tenggara Barat, Sitti Rohmi Djalilah, calon wakil gubernur yang diusung Demokrat dan PKS, adalah keturunan keluarga Tuan Guru Pancor yang dihormati, istri Ketua DPRD Lombok Timur, dan kakak gubernur petahana Zainul Madjid.
Kalimantan Barat: Karolin Margret Natasa, Bupati Landak yang baru saja menjabat tahun lalu, maju sebagai cagub yang diusung oleh PDIP, PKPI, dan Demokrat. Karolin adalah putri gubernur petahana Cornelis, yang telah menjabat selama dua periode (2008-2018).
Di Serang, Vera Nurlaela Jaman, calon wali kota yang diusung PKPI, Golkar, PKB, Gerindra, PDIP dan Demokrat, adalah istri petahana Tubagus Haerul Jaman, adik tiri Ratu Atut Chosiyah.
Di Kabupaten Bojonegoro, Mahfudhoh, calon bupati yang diusung Hanura, NasDem, dan PAN, adalah istri bupati inkumben Suyoto.
Di Purwakarta, Anne Ratna Mustika, calon bupati yang diusung Golkar, NasDem, Demokrat, PKB, PAN, dan Hanura, adalah istri bupati inkumben Dedi Mulyadi, yang mencalonkan diri sebagai calon wakil gubernur Jawa Barat lewat partai pengusung Golkar dan Demokrat.
Maraknya hubungan kekerabatan dalam pencalonan kepala daerah sejalan dengan politik elektoral dalam rezim otonomi daerah. Logiknya: pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi tolok ukur kemajuan demokrasi suatu negara.
Namun, sejak Pilkada langsung digelar pada Juni 2005, tren baru pun muncul: konflik antar-pendukung kandidat, masifnya praktik politik uang, hingga dinasti politik.
Hal semacam itu sudah diingatkan terus-menerus oleh kelompok masyarakat sipil. Pada Pilkada 2017 lalu, perhimpunan pelbagai lembaga nonpemerintah yang menamakan diri Koalisi Pilkada Bersih menyebut bahwa "dinasti politik, korupsi kepala daerah, dan pilkada" memiliki relevansi satu sama lain.
Meski bukan kasus khusus di Indonesia, Koalisi itu menyatakan bahwa salah satu masalah mengapa dinasti politik marak terjadi di sini karena oligarki tumbuh subur dalam partai politik, di mana "dasar pencalonan kepala daerah ... bergantung pada selera elite partai."
"Pada saat yang sama," tulis Koalisi, "dinasti politik menguasai partai politik .. mengunci pelbagai pos-pos penting dalam tubuh partai, baik pada level daerah maupun nasional."
Problem kedua, menurut Koalisi, tidak ada regulasi yang membatasi atau menekan potensi penguasaan politik oleh dinasti. Terlebih setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal yang melarang keluarga petahana maju sebagai calon kepala daerah.
Dari dokumentasi Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai penanganan korupsi oleh aparat penegak hukum sepanjang 2010-2015, sedikitnya 183 kepala daerah, baik di level provinsi atau kabupaten/kota, menjadi tersangka kasus korupsi.
Koalisi menyarankan bahwa langkah untuk memutus dinasti politik, salah satunya, ada di tangan para pemilih. "Pemilih harus melihat rekam jejak kandidat, termasuk rekam jejak keluarga yang terafiliasi dengan kandidat," tulis Koalisi.
=======
Ralat: Foto semula memuat pasangan suami istri Dedi Mulyadi-Anne Ratna Mustika, yang sama-sama maju pada Pilkada 2018, yang kami ambil dari akun resmi Facebook Dedi. Pihak Dedi keberatan atas pemuatan foto tersebut karena "bertendensi negatif buat Dedi" dan "tidak mewakili isi naskah yang hanya mengutip sedikit tentang dia."
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam