Menuju konten utama

Politik Dinasti, Duri Menuju Daulat Demokrasi

Aroma tak sedap politik dinasti masih menebar dan tetap mengganggu. Meritokrasi tumbuh meski belum jadi pegangan mayoritas pemilih di negeri ini.

Politik Dinasti, Duri Menuju Daulat Demokrasi
Pasangan calon bupati-wakil bupati dari koalisi partai Nasdem dan PPP, Tenri Olle Yasin Limpo (kiri) - Hairil Muin (kanan), melambaikan tangan ke arah simpatisan saat melakukan deklarasi kampanye pilkada damai di lapangan syeh yusuf, gowa, sulawesi selatan, Antara foto/Yusran Uccang

tirto.id - Dewie Yasin Limpo sesenggukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Tangisnya pecah manakala hakim menjatuhkan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subside 3 bulan kurungan. Dewie terbukti menerima suap terkait proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.

Ini adalah aib yang mencoreng perjalanan karier wanita berusia 57 tahun itu. Sebelum menjadi penghuni sel penjara, karier Dewie cukup gemilang. Ia sukses memiliki sejumlah perusahaan dan juga aktif di berbagai organisasi. Puncak kariernya dalam berorganisasi adalah ketika ia menjadi anggota DPR RI, dari fraksi Hanura. Capaiannya itu seakan melengkapi keberhasilan para anggota keluarga Yasin Limpo. Sayangnya, kariernya tergelincir oleh kasus suap. Dewie tidak sendiri. Banyak anggota dinasti perpolitikan Indonesia yang tersandung kasus hukum.

Dinasti politik lain yang kisahnya cukup tragis adalah dari penguasa Ogan Ilir. Pada Minggu, 13 Maret 2016, Ahmad Wazir Noviadi (AWN), bupati termuda asal Ogan Ilir, ditangkap oleh petugas Badan Narkotika Nasional (BNN), saat mengisap sabu di rumahnya. Dia dicokok belum genap sebulan setelah dilantik menjadi bupati oleh Gubernur Sumatera Selatan.

Ovi, panggilan akrabnya, menjadi bupati di usianya yang baru 27 tahun. Pria kelahiran 22 November 1988 itu, berpasangan dengan Ilyas Panji Alam untuk maju di Pilkada Ogan Ilir, pada 9 Desember 2015. Pasangan ini diusung PDI Perjuangan.

Sebelum menjabat bupati, Ovi merupakan anggota DPRD Ogan Ilir periode 2014-2019 dari Partai Golkar. Prestasinya di dunia politik memang terasa mengilap, meski ada yang perlu dicatat. Dia tak lain putra dari Mawardi Yahya, mantan Bupati Ogan Ilir yang juga Ketua DPD II Partai Golkar Ogan Ilir.

Mawardi sendiri bisa disebut "penguasa" di Ogan Ilir. Dia menjabat bupati untuk dua periode. Periode 2005-2010 berpasangan dengan Iskandar, serta 2010-2015 berpasangan dengan Daud Hasyim. Sebelum menjadi bupati, dia menjabat Ketua DPRD Kabupaten Ogan Komering Ilir periode 1999-2004.

Seperti halnya Ovi yang merupakan anak mantan bupati, Dewie juga berasal dari keluarga politik yang sangat disegani di Sulsel. Ayahanda Dewie, HM Yasin Daeng Limpo yang meninggal di usia 85 tahun pada 2009, merupakan sesepuh Sulsel. Pejuang dengan pangkat terakhir kolonel itu dikenal sebagai perintis Partai Golkar di Makassar. Maka wajar jika semasa hidupnya pernah menjabat Bupati Gowa, Bupati Maros, serta dikenal sebagai guru politik Jusuf Kalla.

Istri Yasin Limpo, Hj Nurhayati Yasin Limpo, juga politisi kawakan. Kader organisasi Aisyiyah Muhammadiyah itu pernah menjabat anggota DPRD Sulsel dari unsur Golkar periode 1987-1992, 1992-1997, dan 1997-1999. Selanjutnya periode 1999-2004, menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar.

Dewie merupakan salah satu dari tujuh anak Yasin Limpo yang memiliki peran penting dalam peta politik dan kekuasaan di Sulsel. Mereka adalah Tenri Olle Yasin Limpo, Syahrul Yasin Limpo, Tenri Angka Yasin Limpo, Dewie Yasin Limpo, Ichsan Yasin Limpo, Haris Yasin Limpo, dan Irman Yasin Limpo.

Syahrul Yasin Limpo, saat ini menjabat Gubernur Sulsel sejak 2008. Tenri Olle pernah menjabat Ketua DPRD Gowa periode 2019-2014 dan kemudian anggota DPRD Sulsel periode 2014-2019. Sedangkan Tenri Angka anggota DPRD Makassar.

Ichsan Yasin Limpo adalah mantan Bupati Kabupaten Gowa selama dua periode. Adiknya, Irman Yasin Limpo adalah Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Luwu dan kini menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Sulsel. Sementara bungsu, Haris Yasin Limpo merupakan mantan anggota DPRD Makassar periode 2009-2014 dan terpilih sebagai Direktur PDAM Makassar.

Tak hanya anak, cucu Yasin Limpo juga ikut merambah politik. Anak Syahrul, Indira Chunda Thita Syahrul Putri, kini berkiprah di DPR. Adnan Purichta Ichsan, anak Ichsan, baru saja mengalahkan tantenya, Tenri Olle, untuk menjabat Bupati Gowa. Sedangkan anak Tenri Olle, Akbar Danu Indarta Marwan, menjadi anggota DPRD Gowa.

Sementara menantu Yasin Limpo, Habsa Yanti Ponulele, isteri Irman, baru saja kalah dalam Pilkada Kota Palu pada Desember lalu. Pasangan Habsa-Thamrin Samauna kalah dari pasangan Hidayat-Sigit Purnomo alias Pasha Ungu.

Begitulah, keluarga Limpo begitu mengakar di Sulawesi Selatan. Menurut Djayadi, pengamat politik asal Universitas Hasanuddin, keluarga Limpo sangat berpengaruh di Sulsel. Djayadi bahkan menyamakan keluarga Limpo dengan keluarga mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah di Banten. "Dinasti Limpo ini kurang lebih sama dengan dinasti Chasan Sochib di Banten (ayah Ratu Atut Chosiyah). Sama seperti itu, bergerak menguasai dunia usaha, dunia politik, dan pemerintahan," katanya.

MK Dukung Politik Dinasti

Djayadi agaknya lebih suka menyebut keluarga Yasin Limpo atau keluarga Ratu Atut Chosiyah sebagai dinasti. Kata dinasti sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti keturunan raja-raja yang memerintah atau semua yang berasal dari satu keluarga. Karena Indonesia bukanlah kerajaan atau monarki, maka munculah istilah politik dinasti.

Politik dinasti sebenarnya masih menjadi perdebatan. Ada yang sepakat soal keberadaannya, tapi ada juga yang menolak. Para penolak mendasari argumennya bahwa para pejabat lokal yang berasal dari keluarga tertentu, menduduki posisinya melalui Pemilu atau Pilkada.

Margarito Kamis, ahli hukum tata negara misalnya, meyakini di Indonesia tidak ada politik dinasti. “Mereka dipilih secara demokratis dan terbuka. Kalau jabatannya diwariskan, baru bisa kita sebut sebagai politik dinasti,” ujar Margarito kepada tirto.id.

Berbeda dengan Margarito, mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan, justru haqqul yaqin bahwa politik dinasti ada. Dia bahkan menyodorkan data-data resmi Kemendagri yang menunjukkan bahwa di sepanjang tahun 2015, politik dinasti ditengarai sudah terjadi di 61 daerah atau 11 persen dari total daerah yang ada.

“Jelas merisaukan jika bertambah banyak. Ada kecenderungan karena garis keturunan, darah, atau hubungan perkawinan. Para kepala daerah yang menggunakan politik dinasti cenderung korup. Terjadi penyalahgunaan wewenang dalam jabatan,” katanya.

Terlepas dari beda pendapat, sebenarnya UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahu 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi undang-undang, sudah mencoba membatasi munculnya politik dinasti.

Hal itu tertuang pada Pasal 7 yang mengatur soal persyaratan bagi WNI yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Secara khusus pada huruf r disebutkan: ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”.

Sayangnya, Mahkamah Konstitusi (MK), pada 8 Juli 2015, membatalkan aturan pasal 7 huruf r tersebut. MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap pasal yang dinilai melanggar konstitusi dan diskrimintaif tersebut.

Dorong Meritokrasi

Terlepas telah dianulirnya beleid yang mencoba membatasi munculnya politik dinasti oleh MK, ada persoalan yang lebih mendasar. Masih banyaknya kepala daerah yang terkait dengan pejabat lama atau elite politik lokal, menunjukkan sebagian masyarakat masih lebih cenderung memilih berdasarkan ketokohan dan keturunan seorang kandidat.

Pemilih belum melihat pentingnya nilai moral, kompetensi, dan kapasitas dari seorang calon tanpa harus mengusung embel-embel nama besar di belakangnya. Meritokrasi agaknya masih belum menjadi pegangan bagi mayoritas pemilih.

Apalagi, partai politik yang menjadi kendaraan bagi kebanyakan kandidat, juga ditengarai masih banyak yang belum menerapkan pola kaderisasi dengan baik. Proses demokratisasi di sebuah parpol masih bermasalah karena faktor kuatnya ketua umum atau jajaran elite parpol. Maka wajar jika penunjukan seorang kandidat, bisa jadi hanya karena faktor kedekatan dan restu dari ketua umum.

Belum lagi adanya sistem koalisi antara beberapa parpol dalam mengusung pasangan calon tertentu. Hal itu justru disebut-sebut lebih mengutamakan kekuatan uang dibanding meritokrasi.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencermatinya. “Hal yang kita tolak, seseorang mendapat tiket menjadi calon kepala daerah karena kekerabatan dengan petinggi parpol dan elite politik. Belum lagi jika kekuatan uang ikut bermain,” kata Titi Anggraeni, Direktur Eksekutif Perludem.

Djohermansyah Djohan mengamini bahwa mayoritas masyarakat masih terkungkung dengan pola paternalisme. “Masih kuat hubungan kesukuan, kedaerahan, kekerabatan, dan hubungan perkawinan. Menjadi penting seorang kandidat itu anak siapa? Keluarganya siapa?” ujarnya.

Kalaupun ada kabar baik, menurut Titi, data yang dimiliki Perludem menunjukkan bahwa calon kepala daerah terpilih yang ada hubungan kekerabatan dengan petahana, jumlahnya cukup besar. Namun sebaliknya, petahana yang tidak terpilih, ternyata angkanya juga cukup besar.

“Perlahan kita menuju penguatan demokrasi. Pemilih kita mulai menunjukkan kedaulatannya. Bisa dilihat dari tumbangnya petahana di beberapa daerah,” kata Titi.

Baca juga artikel terkait DINASTI POLITIK atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Indepth
Reporter: Mahbub Junaidi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho