Menuju konten utama

"Politik Dinasti Ada di 61 Kepala Daerah"

Para kepala daerah yang menggunakan politik dinasti cenderung korup. Terjadi penyalahgunaan wewenang dalam jabatan. Dan pada praktiknya, orang yang sudah lengser karena habis masa jabatan, tetap menyetir pemerintahan. Ini bikin tidak sehat, sebaiknya dibatasi.

Djohermansyah Djohan. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Djohermansyah Djohan, pakar otonomi daerah, merisaukan keberadaan politik dinasti di berbagai daerah di negeri ini. Maklum, menurutnya, para kepala daerah yang terindikasi mempunyai kedekatan dengan mantan petahana, mereka cederung menyalahgunakan wewenang, jabatan dan korup.

“Jelas merisaukan jika bertambah banyak,” kata mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri yang juga pernah mengemban posisi Pejabat Gubernur Riau tersebut. Berikut wawancara tirto.id dengan mantan penasihat media KPU ini.

Apakah ada politik dinasti di negeri ini?

Politik dinasti dari data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), berkembang biak di pemda-pemda (pemerintahan daerah). Data tahun lalu (2015) saja, sebelum digelar Pilkada serentak, politik dinasti ada di 61 kepala daerah. Ini berarti 11 persen dari total daerah yang ada.

Jelas merisaukan jika bertambah banyak. Ada kecenderungan karena garis keturunan, darah, atau hubungan perkawinan. Para kepala daerah yang menggunakan politik dinasti cenderung korup. Terjadi penyalahgunaan wewenang dalam jabatan. Dan pada praktiknya, orang yang sudah lengser karena habis masa jabatan, tetap menyetir pemerintahan. Ini bikin tidak sehat. Sebaiknya dibatasi.

Bagaimana cara membatasinya, sementara upaya judicial review terhadap pasal 7 UU Nomor 8 tahun 2015 dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK)?

Memang. Tadinya kalau ada petahana yang kerabatnya maju (Pilkada) untuk menggantikan posisinya, dilarang UU dan harus jeda satu periode. Tapi UU-nya kemudian digugat dan akhirnya dibolehkan MK. Akibatnya di Ogan Ilir bermasalah. Itu baru soal narkoba. Belum nanti berlanjut ke soal korupsi dan lain-lain. Misalnya penyalahgunaan wewenang.

Mengangkat pejabat masih dari kalangan keluarga itu berbahaya. Sehingga kita usulkan dalam revisi UU Pilkada, agar diatur lagi soal pembatasan. Bukan larangan lho ya. Presiden saja dibatasi. Gubernur juga dibatasai. Jadi mereka (kepala daerah) juga harus dibatasi.

Menurut Anda, politik dinasti mana yang mengakar di negeri ini?

Di daerah yang punya track record buruk. Banten misalnya, adiknya, anaknya, menantunya, semua main di kepala daerah.

Jadi Anda tidak mendukung keputusan MK menganulir pasal 7 UU 8/2015?

Dari dulu saya keberatan. Kekerabatan kepala daerah sebenarnya bertentangan dengan UU dan UUD. MK hanya melihat dari konteks manusianya.

Bagaimana seandainya kandidat yang punya hubungan kekerabatan dengan petahana ternyata punya kemampuan?

Dan ternyata perpolitikan di Indonesia tidak begitu. Apa mereka punya kemampuan?

Adakah cara lain mengikis praktik politik dinasti?

Cara lain ya direvisi UU-nya. Dilakukan reformulasi. Jangan ditaruh di formula yang lama. Jangan dimasukkan di syarat, tapi di larangan dan pembatasan. Tapi sebenarnya, poin pentingnya adalah apakah mereka (DPR) setuju soal pembatasan? Kan tidak.

Apa yang terjadi di kepala daerah kita itu ngawur. Tidak pernah jadi dewan atau anggota partai, tiba-tiba maju jadi calon kepala daerah. Di Kediri juga aneh. Dua istri dari kepala daerah maju di Pilkada. Istri tua menang, istri muda yang lebih kaya disuruh mengalah.

Bagaimana dengan parpol yang menjadi kendaraan bagi para kandidat untuk maju?

Kan ada peraturan. Mereka harus ikut. Ketika dibatasi, ya mereka harus ikut.

Apakah Anda setuju jika disebut masyarakat belum menjadikan meritokrasi sebagai pegangan dalam memilih kepala daerah?

Iya lah. Kita kan di masyarakat yang polanya paternalis. Masih kuat hubungan kesukuan, kedaerahan, kekerabatan, dan hubungan perkawinan. Menjadi penting, seorang kandidat itu anak siapa? Keluarganya siapa? Baru dipilih. Nah, kompetensi dan integritas belum banyak dipakai di masyarakat kita.

Bagaimana agar masyarakat mulai peduli dengan meritokrasi?

Memang perlu pembelajaran yang panjang dan lama agar masyarakat melek politik. Perlu pendidikan politik panjang. Kalau tidak dilakukan, masyarakat kita tidak akan masuk ke meritokrasi.

Apakah praktik politik dinasti selalu buruk ?

Oh tidak, asalkan secara konsep bagus. Tapi di Indonesia diterapkan dengan model yang salah kaprah. Di sini lebih karena faktor kekerabatan, bukan kompetensi dan integritas.

Baca juga artikel terkait DINASTI POLITIK atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Mild report
Reporter: Mahbub Junaidi
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti