Menuju konten utama

Dinasti Politik di Parpol Bukti Kegagalan Menjalankan Demokrasi

Praktik dinasti politik tubuh parpol jelas tidak sehat bagi demokrasi Indonesia karena berdampak pada kaderisasi.

Dinasti Politik di Parpol Bukti Kegagalan Menjalankan Demokrasi
Sejumlah massa yang mengatasnamakan Gerakan Peduli Simalungun (GPS) menggunakan pakaian adat Batak Simalungun saat berunjuk rasa di depan kantor PDI Perjuangan Sumut, Medan, Sumatera Utara, Jumat (19/6/2020). ANTARA FOTO/Septianda Perdana/wsj.

tirto.id - Apa yang ada di pikiran kita ketika melihat kekuasaan terhadap pemerintahan dan partai politik dikuasai dan dipimpin oleh garis keturunan sama?

Kondisi ini tentu dianggap lazim, karena demokrasi di Indonesia hari ini, tampaknya tidak lepas dari praktik dinasti politik yang bertolak belakang dengan prinsip reformasi.

Dinasti politik dianggap sebagai dampak dari lemahnya pelembagaan partai politik dan tidak berjalannya fungsi partai politik. Hal tersebut dinilai menimbulkan kecenderungan menguatnya kekerabatan dalam birokrasi yang kerap dikenal sebagai nepotisme.

Pasalnya, pemilik partai-partai bisa saja lebih mengutamakan kerabatnya dibandingkan calon lain yang lebih kompeten.

"Jelas praktik dinasti politik ini tidak sehat bagi demokrasi kita," ujar pakar komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, kepada Tirto, Kamis (1/8/2024).

Praktik politik dinasti bisa dilihat dari presiden kita, yakni Joko Widodo (Jokowi). Kepala Negara itu mampu membangun imperium baru. Anak pertama, Gibran Rakabuming Raka, berhasil menjadi Wali Kota Solo dan sekarang dengan mudah melenggang menjadi wakil presiden terpilih mendampingi Prabowo Subianto.

Jalan mulus Gibran tidak lepas dari campur tangan pamannya, Anwar Usman, ketika menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Anwar Usman sempat mengatur mengenai klausul tambahan terkait batas usia minimal bakal capres dan cawapres, sehingga meloloskan Gibran untuk daftar pencalonan.

Sang menantu, Bobby Nasution juga diberikan karpet merah untuk menjadi Wali Kota Medan dengan sangat mudah. Sekarang Bobby bahkan mendapatkan tiket maju di Pilkada Sumatera Utara 2024 dan telah mendapatkan dukungan dari banyak partai politik.

Dan, saat ini Jokowi tampaknya juga sedang mempersiapkan anak bungsunya, Kaesang Pangarep untuk maju di Pilkada 2024. Pilihannya ada dua yakni antara Jakarta atau Jawa Tengah.

Di Indonesia sendiri, praktik dinasti politik bukan saja terjadi di level pemerintahan pusat. Tetapi sudah lebih dulu merambah pada level daerah. Contoh nyata adalah dinasti Ratu Atut di Banten, dinasti Fuad Amin di Bangkalan, Madura, lalu ada dinasti Limpo di Sulawesi Selatan dan beberapa dinasti lainnya.

AKAD NIKAH KAESANG-ERINA

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo (tiga kiri), Gibran Rakabuming Raka (empat kiri), Selvi Ananda (ketiga kanan), Boby Nasution (kedua kanan) dan Kahiyang Ayu (kanan) mendampingi Kaesang Pangarep (kedua kiri) berjalan menuju pendopo Royal Ambarukmo menjelang akad nikah Kaesang Pangarep dan Erina Gudono di Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (10/12/2022). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/Pool/YU

Dinasti Politik Juga Merambah ke Parpol

Kini, dinasti politik juga tampak mengakar di tubuh partai politik. Baru-baru ini Hary Tanoesoedibjo melepaskan jabatannya dari Ketua Umum Partai Perindo. Hary Tanoe menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan partainya kepada Angela Tanoesoedibjo yang juga merupakan anaknya. Angela sendiri saat ini masih menjabat Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat Perindo adalah contoh yang disebut dengan personalisasi partai politik. Hal ini karena sejak awal dibentuk dan didanai oleh Hary Tanoe, citra keluarga Hary Tanoe sangat kuat di Perindo.

Keduanya ibarat jadi dua sisi uang koin, keluarga Hary Tanoe adalah Perindo dan Perindo adalah keluarga Hary Tanoe.

"Adanya figur atau keluarganya yang begitu kuat mengakibatkan rotasi kepemimpinan sulit dilakukan. Partai politik menjadi tidak ideal karena tidak terinstitusionalisasi dengan baik," kata dia kepada Tirto, Senin (1/8/2024).

Jauh sebelum Perindo, Partai Demokrat juga menjadi salah satu bisa dibilang sebagai partai keluarga. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), pada 2020 resmi menjadi Ketua Umum Partai Demokrat 2020-2025 menggantikan ayah kandungnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

AHY terpilih secara aklamasi oleh seluruh peserta Kongres di JCC Senayan, Jakarta.

Namun, menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, kekerabatan dalam partai politik sebenarnya tidak memiliki persoalan, mengingat parpol bukan bagian dari struktur negara.

Parpol hanya organisme pemerintahan, dan konstitusi tidak mengatur terkait proses regenerasi hingga anggaran dasarnya, kondisi itu memungkinkan parpol dibuat dan dikuasai secara privat.

"Tentu, situasi di parpol berbeda dengan Jokowi sebagai presiden, yang membangun kekerabatan politik meskipun dilalui dengan cara konstitusional," jelas dia.

Kekerabatan politik Jokowi, kata Dedi, jelas berdampak pada warga negara secara langsung, sementara kekerabatan di parpol hanya berdampak pada anggota parpol, meskipun bisa saja keputusan politik berdampak ke warga negara, tetapi itu tidak terjadi secara langsung.

Artinya, kata Dedi, tidak ada yang keliru dengan Megawati, SBY, atau Hary Tanoe. Yang keliru secara etis adalah SBY ketika miliki jaringan mertua, putra, sebagai bagian dari struktur negara. Sama halnya Jokowi yang miliki jaringan keluarga di MK, wapres, dan wali kota.

"Tetapi, relasi Jokowi dengan Kaesang sebagai ketua umum parpol tidak ada masalah," jelas Dedi.

Pidato politik AHY

Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) bernyanyi bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada acara pidato politik Ketum Partai Demokrat di Jakarta, Selasa (6/2/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.

Bukti Gagal Kaderisasi & Rentan Terhadap KKN

Di sisi lainnya, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, justru menyayangkan melihat kondisi partai di Indonesia saat ini dijadikan ajang untuk memberikan warisan kepada anak atau orang terdekat. Ini jelas merupakan praktek dari politik dinasti yang kemudian akan berdampak pada penguatan oligarki dan sistem patronase dalam partai.

"Akses terhadap posisi strategis hanya akan diisi oleh segelintir elit yang memiliki hubungan atau ikatan keluarga," ujar Annisa kepada Tirto, Kamis (1/8/2024).

Annisa mengatakan, partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi seyogyanya menjalankan demokrasi substansial dari mulai rekrutmen partai hingga kaderisasi. Artinya, partai harus memberikan kesempatan yang sama bagi kadernya untuk menduduki jabatan-jabatan strategi berdasarkan kompetensi kadernya.

"Jadi tidak inklusif dan melemahkan partisipasi kader-kader yang sebenernya memiliki potensi namun tidak dekat dengan elit maka akan tersingkir," jelas dia.

Lebih jauh, kata dia, kaderisasi yang tidak berjalan karena adanya politik dinasti ini akan menghambat reformasi partai politik. Posisi strategis diberikan pada segelintir elit yang bukan berdasarkan meritokrasi sehingga kebijakan dan agenda politik cenderung akan diarahkan untuk melanggengkan kekuasaan keluarga, bukan untuk kepentingan publik.

"Kaderisasi partai, dalam hal ini untuk memilih posisi-posisi strategis, seharusnya dibuat lebih transparan dan kompetitif. Serta harus dipastikan bahwa pemilihan posisi strategis bukan dengan mekanisme formalitas belaka," katanya.

Sementara, Kunto Adi Wibowo mengatakan, praktik dinasti politik ada di tubuh partai jelas tidak sehat bagi demokrasi Indonesia. Karena pada akhirnya tidak ada yang namanya fungsi kaderisasi partai, semuanya pakai keturunan hubungan darah sehingga akan menutup peluang bagi mereka yang punya prestasi atau mereka yang punya kemampuan yang memimpin partai.

"Jadi akhirnya satu-satunya cara untuk mendapatkan tampuk di petinggi parpol mau tidak mau harus menjadi anak si ketum partai sebelumnya. Dan ini akan dirasakan sebagai bentuk ketidakadilan kalau ini semakin memuncak akhirnya bisa meledak tuh respon masyarakat," jelas Kunto.

Di luar dari kaderisasi, politik dinasti di dalam tubuh partai politik juga dinilai akan berdampak buruk bagi akuntabilitas birokrasi dan pemerintahan, karena cenderung serakah dan rawan terjadinya praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

KKN sendiri adalah praktik-praktik yang melanggar hukum, merugikan kepentingan umum dan menguntungkan kepentingan pribadi.

Menurut Musfi, dinasti politik di parpol akan jadi paradoks, karena partai politik adalah institusi yang melahirkan pejabat publik, DPR, bupati, gubernur, bahkan presiden. Ibarat kata, kata dia, kalau pabriknya sudah politik dinasti, produk turunannya juga akan begitu.

Sementara Annisa Alfath mengamini bahwa dinasti politik sangat rentan terhadap KKN. Ini karena terpusat pada elit yang memiliki hubungan keluarga saja. Sehingga minim pengawasan, akuntabilitas dan transparansi tidak berjalan dengan baik.

"Serta kebijakan-kebijakan yang kemudian dihasilkan cenderung untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan yang ada," pungkas Annisa.

Baca juga artikel terkait DINASTI POLITIK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto