Menuju konten utama

Kampanye Pilkada di Kampus Tak Masalah, Asal Jangan Partisan!

Menghapus larangan kampanye Pilkada di kampus justru lebih banyak memberikan hal positif bagi edukasi politik dan partisipasi kaum muda.

Kampanye Pilkada di Kampus Tak Masalah, Asal Jangan Partisan!
Petugas kebersihan menyapi di dekat alat peraga kampanye (APK) yang terpasang di pohon dan tiang listrik di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (14/10/2020). ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.

tirto.id - Dua mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia menggugat Pasal 69 huruf i UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Mahasiswa bernama Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria itu, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus larangan kampanye Pilkada di tempat pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Gugatan terhadap UU Pilkada ini teregistrasi dengan Nomor 69/PPU-XXII/2024.

Mereka menilai larangan kampanye pilkada di kampus menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuat regulasi kampanye menjadi tidak konsisten dan adil sebab menjadi berbeda dengan aturan kampanye dalam pemilihan presiden dan calon anggota legislatif (Pemilu). Pasalnya, MK tahun lalu memperbolehkan kampanye di perguruan tinggi dalam UU Pemilu.

Putusan tersebut bisa didapati dalam perkara MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dikuatkan dengan putusan Nomor 128/PUU-XXI/2023. MK membolehkan kampanye pemilu di kampus dengan catatan sudah mendapat izin penanggung jawab dan calon atau paslon hadir tanpa atribut kampanye. Adapun untuk Pilkada, saat ini hal itu dilarang sesuai ketentuan Pasal 69 Huruf i UU Pilkada: ”dalam kampanye dilarang: i. menggunakan tempat ibadah dan tempat Pendidikan.”

”Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 69 Huruf i UU Pilkada membawa ketidakadilan dalam bentuk inkonsistensi pengaturan di UU Pemilu dan UU Pilkada,” kata Sandy dalam risalah sidang yang dilihat, Selasa (30/7/2024).

Sejumlah pengamat memandang menghapus larangan kampanye Pilkada di kampus justru lebih banyak memberikan hal positif bagi edukasi politik dan partisipasi kaum muda. Kendati demikian, memang terdapat sejumlah batasan dan catatan penting soal aturan dan potensi adanya malapraktik kampanye pilkada yang dilakukan secara kotor.

Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai tidak ada kerugian yang besar jika kampanye pilkada di kampus diperbolehkan. Kampanye di perguruan tinggi jauh lebih enak sebab mereka memiliki banyak fakultas sehingga calon bisa mendapatkan kesempatan yang sama.

“Diskusi maupun debat dengan peserta pilkada menurut saya akan mempertajam wawasan mahasiswa dan juga bisa mempertajam program-program calon-calon kepala daerah,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Selasa (30/7/2024).

Mahasiswa jadi memiliki kesempatan untuk menguji gagasan calon kepala daerah sehingga tidak hanya mendapatkan gimik peserta pilkada di media sosial. Terlebih, kampanye pilkada di kampus bisa menghapus depolitisasi kampus yang diterapkan Soeharto saat Orde Baru.

“Jadi bahkan ketika orde baru runtuh pun cara berpikir bahwa mahasiswa harus steril dari kepentingan politik dan segala macem masih jadi narasi utama kita dan seharusnya nggak gitu. Mahasiswa nggak boleh steril dari politik,” jelas Kunto.

Kunto setuju dengan argumentasi dua mahasiswa UI yang menggugat larangan kampanye pilkada di kampus. Menurut Sandy dan Stefanie, melarang kampanye pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di perguruan tinggi secara nyata sudah bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.

Mereka dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat lagi turut serta dalam menguji ketajaman calon kepala daerah mengenai visi dan misi serta gagasannya secara mendalam, kritis, dan akademis di dalam perguruan tinggi. Selain itu, menurut pemohon, kampanye seharusnya bisa digelar di kampus sebab mahasiswa dalam UU Dikti sudah masuk kategori insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri.

Dengan begitu, menurut Kunto risiko adanya pelanggaran kampanye pilkada di kampus bisa ditekan karena mahasiswa sudah bisa berpikir kritis. Jika akhirnya MK menghapus larangan kampanye pilkada di kampus, perlu diperhatikan bagaimana agar semua mahasiswa dapat kesempatan sama untuk mendengarkan visi-misi calon.

“Cuma untuk kampus-kampus besar seperti kampus negeri tidak semua mahasiswanya berasal dari provinsi atau daerah tempat universitas itu berada. Ini jadi problem tersendiri gitu kan, sebab berarti mereka [yang anak rantau] bukan jadi pemilih gitu,” kata Kunto.

Pengajar hukum tata negara sekaligus pakar kepemiluan UI, Titi Anggraini, mengapresiasi permohonan pengujian UU Pilkada yang dilakukan dua mahasiswa UI. Menurut Titi, gugatan mereka menguji sesuatu yang substansial untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pilkada.

“Permohonan ini akan membuat proses kampanye makin substansial dan dialogis dan paling penting, permohonan ini bukan permohonan yang parsial untuk memuluskan atau meloloskan jalan politik atau pencalonan seseorang,” kata Titi kepada reporter Tirto, Selasa.

Menurut Titi, permohonan mereka sejatinya mempertegas batasan kampanye pilkada agar cuma boleh dilakukan di perguruan tinggi atau jenjang pendidikan yang setara dengan itu. Kampanye di kampus diminta tak dilarang undang-undang sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab serta tanpa atribut sebagaimana dalam ketentuan pemilu pascaputusan MK.

“Kampanye yang berorientasi gagasan dan program akan memperkuat kualitas calon saat memimpin karena setidaknya sudah diuji dan diasah oleh komunitas kampus yang diisi oleh orang-orang dengan keahlian beragam,” jelas Titi.

Kampus, menurut Titi, merupakan institusi akademik dan merupakan forum yang tepat untuk menguji kapasitas serta komitmen program dan moralitas calon kepala daerah. Semestinya para calon tidak alergi untuk menerima tawaran adu gagasan dengan insan kampus.

Tidak Boleh Partisan

Di sisi lain, Titi menegaskan kampanye di kampus perlu diatur secara adil, proporsional, dan akuntabel. Jangan sampai izin kampanye dari penanggung jawab kampus diberikan secara diskriminatif atau tidak adil karena adanya keberpihakan dari pihak kampus.

Bawaslu juga harus memastikan bahwa kampanye di kampus berlangsung sesuai asas dan prinsip pemilu. Tidak boleh ada intimidasi kepada mahasiswa, jangan ada tekanan, ataupun tindakan ilegal lain yang membuat kampanye berjalan tidak demokratis serta jujur dan adil.

“Perlakuan yang setara dan inklusif harus dipastikan dilakukan kampus dalam mengelola kampanye di kampus dalam penyelenggaraan pilkada,” kata Titi.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, turut sependapat dengan Titi. Ia mengingatkan, beberapa perguruan tinggi atau pendidikan dengan level setingkat tidak sedikit dinaungi oleh yayasan. Menurut Kaka, terdapat yayasan kampus yang memang memiliki afiliasi terhadap kelompok politik dan tokoh tertentu.

“Karena yayasan atau kampus juga ruang publik jadi harus jaga asas keadilan dan netral. Nanti jangan sampai yayasan malah menjadi timses calon tertentu,” kata Kaka kepada reporter Tirto, Selasa.

Kaka juga mengingatkan bahwa saat ini di daerah hampir semuanya dipimpin oleh penjabat (Pj). Mereka aparatur sipil negara (ASN) sehingga perlu dipastikan netral dan tidak memihak pada calon tertentu.

Sebab, kata Kaka, terkadang Pj punya hubungan dekat dengan calon kepala daerah yang menjabat sebelumnya. Adapun jumlah penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia hingga saat ini berjumlah 28 orang untuk Pj Gubernur,Pj Bupati 189 orang dan Walikota 56 orang.

“Pj ini kan ASN jadi tidak boleh menggunakan sumber daya negara dan harus netral. Jadi mereka harus declare tidak cawe-cawe sebagaimana presiden harusnya tidak cawe-cawe,” ucap Kaka.

Kaka meminta seiring berjalannya gugatan menghapus larangan kampanye di MK, maka KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara mulai mengevaluasi kinerja mereka saat pemilu 2024 lalu. Jangan sampai aturan kampanye di kampus tidak dipersiapkan secara matang.

Sementara itu, pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, memandang kampus atau perguruan tinggi adalah rumah ilmu pengetahuan. Sehingga memiliki perangkat epistemologis dan aksiologis kuat untuk mengorek visi dan misi para politis dari berbagai perspektif keilmuan.

Maka, kata Edi, kampanye di kampus perlu ditata sedemikian rupa, dengan turut melibatkan dewan guru besar serta pakar dalam bidang-bidang yang mencakup hajat hidup rakyat banyak. Selain itu, harus dipastikan pejabat kampus dan pihak terlibat dalam kampanye di perguruan tinggi bersikap netral agar tidak berat sebelah.

“Kerugiannya bisa saja muncul, yakni ketika satu kampus condong ke politisi tertentu, akhirnya menjadi tidak netral dan bisa jadi justru kampus jadi alat legitimasi kampanye politisi tersebut,” kata Edi kepada reporter Tirto.

Karena kampanye dilakukan di kampus, maka perlu diarahkan dalam bentuk berupa diskusi ilmiah dan dialogis. Kampanye jangan dilakukan dengan model hiburan massa seperti acara hiburan, dangdutan atau lebih parah, politik uang.

“Secara teknis, kampus juga perlu menjaring pertanyaan-pertanyaan kritis bukan hanya dari guru besar atau pakar, melainkan dari mahasiswa juga yang diolah untuk dijadikan bahan diskusi,” ujar Edi.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang