Menuju konten utama

Pertaruhan KPU: Siapkan Pilkada & Pulihkan Kepercayaan Publik

Afifuddin tidak masalah bila fasilitas untuk pimpinan KPU diubah. Ia bahkan sudah terbiasa pergi kerja naik sepeda motor.

Pertaruhan KPU: Siapkan Pilkada & Pulihkan Kepercayaan Publik
Header Wansus Mochammad Afifuddin. tirto.id/Tino

tirto.id - Mochammad Afifuddin mengemban tugas baru sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sejak Kamis (4/7/2024) lalu. Proses penunjukan Afif terbilang cepat, hanya butuh 1x24 jam pasca Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemecatan kepada Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, karena terbukti melakukan pelanggaran etik.

Pasca kejadian itu, Afif mengakui bahwa tugas baru ini bukan hal mudah di tengah persiapan memasuki Pilkada Serentak 2024. Apalagi di luar kasus Hasyim, sejumlah kritik pada penyelenggara pemilu pasca Pilpres 2024 masih juga belum lepas.

“Pertaruhan KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang akan mengelar pilkada kami yakini memang berat sekali. Kami yakini tantangannya yang luar biasa termasuk membangun kepercayaan publik pasca situasi-situasi pelaksanaan pilpres,” kata dia dalam podcast For Your Politics, di Kantor Tirto, Jakarta Selatan.

Kendati tantangan cukup berat, KPU terus berbenah dan berkomitmen menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu dengan baik. Termasuk mengawal dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024.

“Kami ini kan tidak sekedar berfokus pada urusan yang putusan di DKPP itu. Maka yang jelek kami perbaiki yang baik ya kita lanjutkan,” ujar dia.

Apa saja yang akan dilakukan Plt. Ketua KPU menjelang tahapan pilkada? Dan apa yang menjadi tantangan dalam mengemban tugasnya? Simak petikan wawancara Tirto dengan Mochammad Afifuddin sebagai berikut:

Mochammad Afifuddin

Mochammad Afifuddin. tirto.id/Andhika

Ketika menjadi Plt, kenapa awal kalimat yang disampaikan adalah innalillahi?

Saya tidak pernah membayangkan kalau itu yang viral, kalau itu yang dibahas orang. Padahal dalam tradisi keagamaan kita, katakanlah orang dapat amanah, orang dapat tugas itu harus juga kemudian menegaskan bahwa semuanya itu dari Tuhan dan bisa diambil kapan saja.

Apalagi hanya soal Plt. Plt ini kan sementara saja. Jadi kan saya bilang innalillahi semuanya dari Tuhan dari Allah, wa inna ilaihi roji'un dan untuk selanjutnya langsung mengucap bismillah.

Kalau kita belajar atau baca pengalaman tradisi keagamaan kita saat khalifah Abu Bakar ditetapkan sebagai khalifah waktu itu pertama setelah Rasulullah meninggal ucapannya sama sebenarnya, innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Nah jadi sebenarnya itu ungkapan kepasrahan bahwa tidak ada daya juga. Kita ini manusia biasa kalau dapat amanah ya kita serahkan kepada Allah. Tapi kita juga harus bersiap dengan bismillah karena itu tradisi atau agama yang saya yakini. Jadi itu hal biasa saja. Menjadi persoalan seakan-akan innalillahi konteks sebelum Plt, bismillahnya setelah Plt, itu tidak benar. Itu satu rangkaian.

Saya kira Mas Afif kena musibah, KPU berat banget atau ada jejak rekam yang bagaimana?

Jabatan, harta, anak, itu kan bisa bermakna musibah, menjadi fitnah kalau kita tidak kelola. Jadi titik poin berangkatnya sebenarnya di situ. Memang saya tidak membayangkan yang meriah malah pembahasan itu. Tapi ya bagi teman-teman yang mendalami soal bagaimana kita menyikapi amanah dan seterusnya itu menurut saya biasa. Kemarin kalau lihat pidatonya salah satu wamen (wakil menteri) kayaknya innalillahi juga. Saya dikonfirmasi lagi, kayaknya lagi tren.

Karena yang jadi menarik itu kan sebelumnya ketika Pak Hasyim itu pidato setelah putusan DKPP itu bilangnya alhamdulillah. Terus Mas Afif bilang innalillahi. Nah saya tuh pengin tanya kondisi KPU di dalam itu gimana sih?

Kalau pembahasan pasca putusan DKPP ya tidak ada yang hangat. Itu hanya pembahasan yang katakanlah setelah putusan kita ngobrol dan Mas Hasyim juga menyampaikan saya akan menyampaikan ini. Jadi persis yang disampaikan Mas Hasyim apa yang disharing ke kita sebelum konpres dilakukan. Tentu kami menghormati sikap Mas Hasyim.

Kedua, tantangan kita setelah kita lihat PKPU, kalau tidak salah PKPU 5, jika ada ketua berhalangan seperti ini karena putusan DKPP atau karena diberhentikan segala macam ternyata 1x24 jam harus sudah ada pelaksana tugas. Itu kan tanggal 3 putusan, tanggal 4 kami sudah harus menentukan. Dan kami bersyukur bayangkan kalau kami tidak bersepakat jumlah orangnya enam.

Alhamdulillah bersepakat dan sangat cepat prosesnya, ya kami sampaikan saja ke publik bahwa kami sudah memilih, kami sudah bermufakat untuk menunjuk koordinator di situasi transisi ini. Saya dikasih amanah kemudian kami sampaikan di media. Jadi tidak ada peristiwa yang sangat tidak kita duga.

Apakah saat itu KPU sudah menerima salinan putusan dari DKPP?

Ya kalau dari sisi putusan resminya saya harus pastikan apakah hari itu juga atau besoknya. Tapi yang pasti hanya beberapa saat setelah putusan itu dibacakan sudah beredar dengan format lengkap di banyak grup termasuk kami. Dan kami kan juga dalam posisi yang beberapa kali sudah sering disidang juga. Artinya kami tahu dan saya pernah di DKPP dua tahun loh atas Bawaslu ex-officio. Ya kan guyonanya DKPP ini kalau ex-officio duta besar tidak berkuasa penuh. Jadi kalau ada hal-hal yang terkait dengan jajaran kita mau diproses kami harus lapor ke pelindung. Jadi setelah itu ya kami meyakini ini urusannya sudah diputus, dijalankan.

Kalau ada upaya hukum lain yang dilakukan pasti konteksnya kan kita harus bertanya dengan Mas Hasyim sebagai pihak yang diputus. Tetapi tahapan yang harus kita jalankan berkaitan dengan siapa Plt pasca ini itu hanya dikasih waktu 1x24 jam. Menurut saya situasi inilah yang sangat krusial. Karena situasinya masih hangat, mungkin beberapa pihak juga tidak menebak sampai seperti ini, sehingga butuh di dalam konsolidasinya benar-benar kompak solid. Semua bisa bayangkan kalau kemufakatan itu tidak terjadi.

Pertaruhan KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang akan mengelar pilkada kami yakini memang berat sekali. Kami yakini juga tantangannya yang luar biasa termasuk membangun kepercayaan publik pasca situasi-situasi pelaksanaan pilpres. Kami ini kan tidak sekedar berfokus pada urusan yang putusan di DKPP itu. Maka yang jelek kami perbaiki yang baik ya kita lanjutkan.

Banyak yang terkejut dengan putusan DKPP itu. Biasanya hanya peringatan tegas, saat ini sampai sanksi pemecatan. Bagaimana itu?

Iya dinamikanya pasti ada.

Pernah nggak DKPP memberi peringatan di luar persidangan?

Dulu zaman saya di ex-offico itu pernah ada istilah tausiah. Tausiah ini levelnya mendekati peringatan tapi nggak sampai peringatan, kira-kira gitu. Ya ada istilah-istilah itu. Tapi kan kalau secara urutan ya ada peringatan, peringatan keras.

Kalau kami dengan sesama penyelenggara DKPP dan Bawaslu punya forum yang namanya tripartit. Tripartit ini biasanya kita lakukan rutin entah berapa bulan sekali ya sesuai tahapan juga, gantian tuan rumahnya. Hanya memang tidak boleh dan tidak etis kita membahas kasus ketika ada situasi itu. Kita lakukan biasanya koordinasi soal misalnya kalau ada kebijakan yang mau diambil KPU soal ini, menginformasikan lebih awal bagaimana pendapatnya, ada masukan atau tidak.

Uji publik UU KPU

Plt Ketua KPU Mochammad Afifuddin melambaikan tangan saat akan memberikan paparan Uji Publik Rancangan Peraturan KPU di gedung KPU Pusat, Jakarta, Jumat (12/7/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

Kami meyakini satu kesatuan lembaga ini tantangannya ya harus kompak. Maka apa yang saya lakukan setelah saya jadi Plt, hari Kamis itu juga Maghrib saya ke DKPP. Saya ketemu ketua DKPP dan beberapa teman di sana ya bercerita menyampaikan termasuk mengupdate situasi KPU. Ya tentu berharap kerja sama dan kolaborasi ke depan di masa transisi ini terutama.

Kemudian setelah itu saya juga ke Bawaslu, kantor lama ketemu empat komisioner di sana yang membincang banyak hal. Pada intinya kan semua pihak tahu persoalan ini persoalan pribadi. Bagaimana kemudian residu, dampak, dan lain-lainnya tidak serta-merta keseluruhnya urusan kelembagaan, itu yang kita jaga sebenarnya.

Pak Mahfud MD sempat menyinggung kepada KPU karena menggunakan fasilitas publik atau fasilitas KPU untuk kepentingan pribadi. Salah satunya adalah privat jet dan mobil-mobil dinas. Bagaimana tanggapannya?

Memang untuk kepentingan pribadi?

Ya tidak tahu, makanya kita konfirmasi itu benar apa nggak?

Kalau saya bawa mobil itu ke sini untuk kepentingan pribadi apa nggak? Itu fasilitas yang biasa saja saya kira komisioner tempat lain juga katakanlah mobil dinasnya juga dua. Urusan apa yang dipakai kalau kami, saya menyampaikan ke jajaran sekretariat yang penting pertama tidak menyalahi aturan. Karena kalau menyalahi aturan pasti barang ini juga sudah jadi temuan.

Kedua, tentu kaitannya dengan fungsi dan kegunaan. Ingat dua periode sebelumnya, di zaman-zaman KPU sebelumnya itu juga disoal ketika seseorang atau komisionernya dapat fasilitas naik pesawatnya itu bisnis. Sekarang sudah tidak jadi isu lagi. Artinya dulu komisioner naik pesawat bisnis itu jadi isu dianggap apakah berlebihan dan seterusnya. Apakah benar itu berlebihan? Apakah benar itu menyalahi aturan? Kalau sudah tidak menyalahi aturan kita bicara soal standar kepantasan yang ini berbeda-beda.

Jadi saya merasa selagi ini tidak menyalahi aturan dan secara fungsi digunakan untuk tugas-tugas tidak ada masalahnya kalau menurut saya. Kalau pengecualian, setiap hal pasti ada pengecualian, pasti ada penjelasannya kalau kemudian tidak bisa dijelaskan pasti disalahkan. Nah, dalam situasi normal titik nol apakah lantas salah dan tidak salah situasi ini silakan dinilai. Tentu kita juga bisa mengacu pada banyak teman lain atau lembaga negara yang lain bisa kita lihat.

Mas Hasyim waktu itu ke Belanda. Apakah kunjungan kerja pimpinan KPU ke luar negeri terlalu sering?

Bisa dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kita tidak pernah menghitung saja. Jadi semua informasi itu ada benar, ada yang butuh dikonfirmasikan. Kalau dulu pembekalan itu katanya kan di atau dibawa ke sana kan. Tapi kita bisa berhitung berapa banyak keluar negerinya.

Hanya situasinya ketika itu terjadi di situasi yang hal lain terjadi kan akhirnya dihubung-hubungkan. Tapi apakah saat-saat kita melakukan pembekalan dan seterusnya itu biasa dilakukan, ya. Apakah harus dikurangi? Kita bisa diskusikan pengurangan frekuensi dan lain-lainnya berdasar kebutuhan tahapan.

Kalau lembaga ke luar negeri dianggap tidak patut atau tidak perlu, faktanya kami punya ratusan jajaran di luar negeri. Apakah juga kami harus melakukan secara mengundang mereka ke Indonesia, karena kita yang tidak boleh ke luar negeri. Akhirnya mereka yang ke luar negeri. Ya itu perdebatan yang tidak berujung, tetapi pada intinya kalau ada masukan terkait situasi yang ‘eh jangan terlalu sering’ nah itu pasti kami terima. Apakah terlalu sering dan tidak? Kan harus ada standarnya kita bandingkan saja dengan yang sebelumnya.

Ketika sudah selesai pelaksana pilpres dan sudah masuk pilkada, KPU sempat mengajukan untuk pergi ke luar negeri?

Itu setahu saya tanggal dan lain-lainnya sudah jauh sebelum saya jadi Plt. Dan itu secara faktual tidak jadi semua, kenapa? Karena kami juga melakukan apa yang disebut sekarang ini tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi. Kami waktu itu meyakinkan enam komisioner semua di Jakarta. Kami berbagi, ada yang di Kalimantan Utara, ada di Sumatra Barat Ada di Gorontalo, ada yang di Jakarta sendiri untuk memantau pelaksanaan PSU. Jadi secara faktual, sebenarnya jawabannya surat itu tidak ada yang berangkat saat tanggal dan lain-lain yang disampaikan di surat itu.

Yang privat jet itu buat apa?

Sebenarnya ini urusan orang, urusan barang. Dari dulu kita itu nyewa pesawat, nyewa, untuk pengiriman berapa barang, terutama di daerah Papua. Jadi sekarang juga pasti itu, tapi kan tidak kita sampaikan secara detail, kadang sebagiannya itu ditopang oleh armadanya TNI-Polri sebagiannya juga memang harus menyewa. Nah untuk privat jet memang itu kebijakan karena kita hanya punya waktu kalau nggak salah 75 hari pengadaan logistik dan sampai pendistribusiannya, dan itu untuk memastikan kita melakukan sidak di berapa tempat. Dan dampaknya memang ada daerah-daerah yang katakanlah Sangihe terjauh, Papua.

Saya misalnya ke Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Indo, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan dalam waktu dua hari. Untuk memastikan logistik sudah nyampe belum dan seterusnya. Itu kan kalau dalam istilah persewaan per jam juga tidak all day selama 75 hari tapi kepentingannya untuk logistik.

Sekali lagi, dalam konteks itu sebenarnya kami, kalau ada opsi lain kami dikasih tau dong, apa yang bisa kami lakukan untuk percepatan kami bisa melangkah ke sana juga, dan seterusnya. Selain ke daerah-daerah yang banyak alokasi penterbangan. Kenapa? Karena dari situ kami juga bahkan ada yang jajaran kita ganti, karena barangnya belum siap. Itu kan cara kami mengendalikan internal juga.

Jelang pengundian nomor urut Capres-Cawapres Pilpres 2024

Ketua Komisioner KPU Hasyim Asy'ari (kiri) berbincang dengan Anggota Komisioner KPU Mochamad Afifuddin (kanan) saat konferensi pers jelang Pengundian Nomor Urut Capres-Cawapres Pilpres 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (13/11/2023). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

Sekali lagi, namanya kami ini was-was. Kalau ingat waktu itu perdebatan soal kapan hari pemilu itu tarikannya soal masa kampanye, tarikannya soal berapa kami punya waktu untuk menyiapkan logistik deg-degan terus. Kalau tidak ada logistik di TPS saat pemilu, selesai kita, berantakan 14 Februari. Dan itu kan terjawab tidak banyak surat suara tertukar, tidak banyak surat suara kurang.

Secara output target kita dengan daya upaya yang kemudian diberi catatan banyak pihak, pemilu berjalan, logistik terjauh tercapai dan seterusnya. Bagaimana kami mengelola situasi internal segala macem, itulah yang kita lakukan untuk mengantisipasi itu. Nah apakah itu dianggap ideal atau tidak? Jawabannya Pemilu 2024 berjalan dan pada situasi tertentu tidak banyak surat suara tertukar sebagaimana biasanya. Tidak banyak kekurangan-kekurangan logistik. Itu kalau dari sisi deliverable pekerjaan.

Kalau dari sisi bagaimana kemudian penanganan dengan alat apa dan seterusnya itu yang menjadi persoalan. Saya geser sedikit kantor KPU, tempat pleno dulu kan juga tidak seperti sekarang. Sekarang kan juga sangat bagus kan aura tempat di mana kita akan memutuskan siapa pemenang pemilu dan seterusnya ya kita siapkan secara teknis di teman-teman sekretariat itu juga ada perubahan.

Maksud saya situasi itu ya kami menerima masukan bukan anti kritik. Kalau dianggap itu tidak patut dianggap itu kurang pas, tentu upayanya kami perbaiki. Kalau sekiranya kami sekarang disuruh ganti mobil dengan semua karena menyalai aturan ya silahkan saja. Orang kita ini disewakan bukan barang beli juga, hari ini bisa dibalikin. Hal simple saja kita biasa naik motor juga gak apa-apa juga kita naik motor.

Ada rekomendasi dari Komnas HAM setelah putusan DKPP kemarin terkait pembentukan Satgas TPKS di KPU, apakah sudah dilaksanakan?

Untuk yang TPKS kami sudah putuskan untuk membuat dan mungkin apakah ada tim gugus tugas atau apa pun, tapi untuk pengaturan terkait dengan antisipasi hal-hal yang berkaitan dengan isu perempuan dan seterusnya sedang kita buat. Percepatannya sudah kita lakukan kita akan mengajak pihak-pihak lain.

Persiapan logistik untuk Pilkada Serentak 2024 ini bagaimana?

Ini sedang kita bahas apakah bentuknya perubahan PKPU atau PKPU baru yang intinya mengatur soal logistik. Uji publik sudah kita lakukan dua tahapan lagi. Pertama konsultasi dengan Komisi II dan kaitannya dengan situasi sekarang ini sedang reses, jadi kita tunggu waktu. Setelah itu baru kemudian harmonisasi dengan Kemenkumham dan siap jalan.

Anggaran pilkada ini sama enggak dengan yang Rp70 triliun yang dulu diributkan di komisi II itu?

Anggaran pilkada ada di dana hibah APBD. Jadi yang provinsi dari provinsi, yang kabupaten/kota dari kabupaten/kota. Dan karena di masing-masing daerah berbeda-beda ada yang besar, ada yang sedang, ada yang mungkin dianggap kurang dan sebagainya tapi pada intinya dana pilkada itu dari APBD.

Jika Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya rendah, misalkan Jakarta dengan provinsi di luar Jawa, berarti ada ketimpangan?

Makanya waktu saya di masyarakat sipil dan seterusnya termasuk diskusi saat ini kan di antara isu yang sering didorong itu keserentakan seperti sekarang, termasuk pelantikannya juga dorongannya keserentakan. Kemudian seleksi keserentakan yang itu belum bisa dilakukan untuk KPU, Bawaslu sudah.

Karena kita Perpu-nya tidak diterima, tidak masuk. Hal yang lain adalah soal dorongan untuk dana pilkada ini sudah dari APBN saja, itu juga jadi isu yang didorong beberapa pihak. Nah, sementara ini masih berkutat soal pilkada, keadaan ini ya dari APBD, dana hibah itu.

Maka dalam setiap rakor yang sifatnya menggabungkan Kemendagri dengan jajarannya beda absen. Misal yang provinsi ini pencairan pertama sudah belum? Mana yang belum, mana yang sudah. Ya itu yang berkait. Nah situasi ini, ya bisa ideal nggak ideal. Tapi, ya aturannya begitu sementara kita jalankan.

Bagaimana kita berkoordinasi dengan banyak pihak untuk meyakinkan, eh daerah ini lho belum. Minta tolong dong pak di ini, di ini. Dan seterusnya. Biasanya dipanggil Kemendagri dikoordinasikan. Kalau memang ada daerah yang gelap dan belum sama sekali mungkin. Tapi sekarang Insyaallah sudah semua. Tinggal mungkin pencairannya ada yang tidak. Atau belum semuanya. Ada yang sudah 100 persen, ada yang belum.

Terkait putusan MA mengenai batas usia 30 tahun saat dilantik gubernur bagaimana?

Kalau soal pelantikannya kapan, kan bukan domain kami. Itu di Perpres kalau tidak salah. Dan itu di pemerintah. Yang kami lakukan sekarang adalah koordinasi antar pihak. Soal pelantikannya kapan, itu belum di kami. Nanti kalau itu kemudian sudah di-Perpres-kan atau ada produk hukumnya, ya itu kita jadikan domain. Sekarang kan masih sedang dalam pembahasan.

Semangatnya kalau kita ini melawan hukum, pasti di soal orang. Kami melaksanakan pun di soal orang. Berapa kasus yang sekarang masih berjalan dan berapa kasus yang kita lihat misalnya soal ketika pilpres kemarin. Kan kami melaksanakan. Di soal juga kan? Kami enggak melaksanakan, di soal juga.

Jadi kami melaksanakan di DKPP, di PTUN, di PN juga sekarang itu masih ada yang berjalan. Jadi bukan kalau kami enggak melaksanakan, kami di soal orang. Kami melaksanakan, kami di soal orang.

Ini menjadi menarik karena berkaitan dengan putra presiden, Kaesang Pangarep. Nah bagaimana mengenai itu?

Dalam pemahaman kami, pengaturan pelantikan itu tidak di kami untuk pilkada. Beda dengan pilpres. Itu yang pertama. Kedua, saya lebih ingin untuk kalau sudah jadi keputusan saja kita memedomani. Sekarang masih dinamiknya di diskusi-diskusi. Bisa jadi opsinya kan keserentakannya diupayakan. Dengan diupayakan, maka ada satu titik tanggal yang dipilih. Tapi ini sedang dibahas pemerintahnya.

Setelah itu, misalnya dari daerah-daerah yang semua yang pilkada ini yang tidak ada kasus di Mahkamah Konstitusi, pelantikannya tanggal sekian. Kemudian, daerah yang pilkadanya ada PSU, berarti tambah berapa waktu normal penanganan PSU di Mahkamah Konstitusi. 45 hari.

Kalau misalnya ini di tanggal 1, berarti proses lainnya itu yang keserentakan kedua, plus proses di Mahkamah Konstitusi 45 hari plus berapa selingnya. Kemudian, bisa jadi keserentakan ketiga apa? Ada aturan atau apa, putusan lembaga lain yang kemudian harus dipedomani.

Cuma saya ingin mengurangi debat dan klarifikasi sebelum putusan. Jadi, kira-kira bayangan kita diskusinya masih sebentar itu, tapi belum menjadi keputusan. Jadi, kira-kira bayangannya begitu yang memungkinkan. Karena dorongan pilkada serentak ini juga pelantikan serentak.

Kemarin ada coklit yang pakai joki, petugasnya malas ke rumah-rumah nempelin stiker. Itu bagaimana? Ada fenomena satu rumah itu di gang sempit isinya ada beberapa KK gitu.

Ya, itu kan situasi eksisting kita ya. Kalau dibilang ideal, idealnya satu rumah satu KK. Tapi begitu itu nggak ideal kan kita harus menghadapi situasinya. Saya mendapatkan konfirmasi di beberapa hal. Misalnya soal joki kadang-kadang ada yang menjelaskan ke saya. Saya tanya kan karena nggak jauh dari sini. Itu katanya dia sedang menungguin ibu atau bapaknya yang sakit.

Oke, katakan ini tidak diperbolehkan. Tapi dari satu sisi lain kita bisa, ya ampun ada situasi itu ya. Meskipun kita kasih masukan lain kali ya tetap sendiri aja. Karena memang nggak dibolehkan. Itu yang soal joki.

Kedua terkait dengan tempelan. Kadang didatengin sama teman-teman yang lain, dicek. Udah dicek sudah, tapi kenapa nggak ditempel? Karena nggak ada tempelannya langsung disimpulkan belum dicoklit nih. Setelah ditanya yang bersangkutan tidak mau rumahnya ditempelin.

Setiap peristiwa itu pasti ada penjelasannya. Jadi kalaupun, ya namanya tidak ada lah sempurna-sempurna semua. Ada kurang, yang penting kan persentase kurangnya jangan lebih banyak ketimbang kesempurnaanya. Kalau saya sih merasa KPU ini juga manusia biasa juga. Butuh dibantu. Ada kurangnya dan seterusnya.

DISKUSI PEMILU 2024

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) M Afifuddin menyampaikan paparan saat diskusi terkait pelaksanaan Pemilu 2024 di Jakarta, Jumat (20/1/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.

Untuk menempatkan posisi secara pekerjaan dituntut seperti manusia super ketemu ngopi di tempat yang dicurigai dilaporkan ke DKPP. Iya kan? Pada sisi yang lain tiap hari kita juga ngopi, butuh ngobrol sama orang, itu manusiawi. Nah ini yang kita jaga proses-proses ini. Bahwa kalau ada kekurangan, kita yakini sangat mungkin kalau ada, ya tadi kayak coklit situasinya seperti itu.

Nah kalau ada mitigasinya jangan sampai terlalu banyak. Kalau kemudian ada masalah, kita tanya. Nah itu jawaban yang saya dapatkan dari sampling yang kemarin sempat meriah di media. Tiga joki. Tiga dari berapa banyak? Tiga dari berapa banyak? Nah gitu maksud saya. Jadi bukan pembelaan, tapi ini untuk ini peristiwa, ini situasi kita kata-katai ini tidak dalam posisi yang ‘oh ternyata ini ya’ kita ingatkan lain kali saat menjaga ya nggak usah nyuruh orang lain nanti aja gantian. Kan bisa begitu.

Sirekap kemarin dipermasalahkan dan itu banyak yang menggugat. Ini sekarang dipakai lagi di pilkada. Gimana? Kok dipakai lagi?

Yang pasti pertama kita tegaskan itu alat bantu. Sehingga dalam proses-prosesnya katakanlah referensi pertama tetap yang manual. Karena undang-undang kita begitu. Yang kedua, saya meyakini banyak orang juga yang terbantu.

Kalau nggak ada sirekap, dia nggak tahu juga dia kalah. Dalam waktu yang sangat cepat. Ya kan gitu kan? Ya karena dia tahu suaranya lebih rendah dari yang lain, artinya dia potensinya kalah. Kalau dia suaranya lebih tinggi dari yang lain, potensinya menang. Nah yang menang, menang atau yang suaranya tinggi, kemudian kalah, menyoal. Tapi kita pastikan bahwa ini pertama alat bantu dalam rekap-rekap yang dilakukan yang manual.

Saya kira ini kan nggak mendadak langsung begini. Dan kenapa rekap-rekap di tingkat bawah itu cepat? Karena sudah kasih rekap. Nggak ada di ruang gelap. Sekarang orang udah punya. Meskipun jadi sandingan karena tinggal mencocokkan peristiwa yang ada di rekap tingkat kecamatan, kabupaten, sesuai apa nggak.

Nah bagaimana dengan Pilkada ke depan? Karena ini sebagai alat bantu dan kami yakini untuk mempercepat para pihak menerima hasil, ya kami dari internal penginnya tetap mengembangkan ini. Tetap ada alat bantu yang dipakai untuk orang lain, para pihak, pemilih, siapa pun, peserta pemilu mengetahui hasil pemilih dengan lebih cepat. Juga sebagai alat kontrol.

Nah diskusi kita sampai hari ini apakah sama dengan yang kemarin? Karena secara yang dihitung kan nggak terlalu banyak. Rumusannya harusnya lebih ringan bebannya, satu.

Kedua, apakah kita tampilkan sama persis dengan kemarin? Ketiga, ada juga diskusi misalnya si hasil itu tetap dikirim seperti yang kemarin, tapi penampilan persentase itu di-hide, tidak dikeluarkan. Karena di antara sumber kebisingan kemarin kan persentase. Tapi kan kita juga butuh mengonsentrasikan ini.

Artinya kami ini pihak penyelenggara pemilu memfasilitasi melayani peserta pemilu. Kalau mekanisme PKPU dan pengaturannya kan harus juga kita koordinasikan dengan teman-teman di Komisi II. Tapi kami sampai hari ini masih berpikir bahwa alat ini penting tinggal dimitigasi agar tidak ada noise, kebisingan seperti yang kemarin yang di Pemilu 2024.

Mas Afif sebagai orang yang dulu pernah ex-officio DKPP, pernah jadi Ketua Bawaslu, sekarang jadi Plt. ketua KPU. Apa yang membedakan dan tantangannya gimana?

Karena tupoksinya berbeda-beda. Jadi kalau di DKPP kan pasti posisinya pasif menerima lamporan, mengadili, dan sebagainya. Di Bawaslu ini, melakukan pekerjaan yang pasti nggak disukai oleh peserta pemilu. Dia mengawasi. Dan posisinya pasti mengawasi KPU juga. Sehingga kadang-kadang kalau nggak kita kelola, ketegangannya muncul.

Nah kalau di KPU, ini memang mengambil kebijakan-kebijakan teknis penurunan dari aturan, undang-undang, PKPU, dan seterusnya yang kemudian dengan apa yang diputuskan, maka dia berpotensi untuk menjadi orang yang dilaporkan, terlapor, teradu, tergugat, dan semua karena kewenangan yang melekat. Kewenangan yang sangat besar di KPU ini meniscayakan daya kontrolnya juga harus besar. Dan meniscayakan orang akan mengulik atau mengganggu. Karena di setiap kewenangan besar disitu pasti cobaan, gangguan, dan juga orang yang katakanlah tidak merasa diuntungkan protes kan.

Nah yang memang tantangan beratnya kalau jadi KPU, itu ya mengurus hal yang sangat teknis, sangat detail, sangat berhubungan dengan para pihak peserta pemilu, dan seterusnya. Kalau di sisi pekerjaan, tapi kalau dari sisi secara umum, lembaga bertiga ini, satu-satuan penyelenggara pemilu, kalau bisa sangat kolaboratif, dan mengerti tugas dan posisinya yang masing-masing, setidaknya dengan undang-undang, kayaknya akan menjadi checks balances dan kombinasi yang bagus.

Baca juga artikel terkait KPU RI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fahreza Rizky