tirto.id - Pemecatan Hasyim Asy'ari sebagai Ketua dan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2022-2027 karena terbukti melakukan tindakan asusila harus menjadi tamparan keras bagi seluruh instansi pemerintah. Hasyim terbukti melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk memenuhi hasrat pribadi yang berujung pada pelecehan seksual.
Korbannya adalah anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda, berinisial CAT. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), memecat pria berusia 51 tahun itu karena terbukti bersalah melakukan pelanggaran etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Dimensi relasi kuasa menjadi salah satu faktor rawan munculnya tindak pidana kekerasan seksual berbasis gender. Hasyim bahkan tak segan memanfaatkan pengaruhnya mengubah peraturan KPU demi memuluskan hasrat pribadinya. Dia menghapus aturan soal pernikahan, pernikahan siri, dan tinggal bersama bagi internal KPU.
Berkaca dari kasus Hasyim, sudah seharusnya komitmen seluruh instansi pemerintah dari berbagai kementerian/lembaga terhadap penanganan dan pencegahan kekerasan seksual digalakkan. Aturan dan satgas kekerasan seksual di instansi pemerintah juga tak boleh sekadar hadir sebagai formalitas belaka, alias cuma jadi macan kertas.
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menyatakan relasi kuasa merupakan salah satu modus dimensi dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual yang selama ini terjadi paling banyak. Modus ini juga bisa terjadi di berbagai instansi, termasuk di kementerian/lembaga pemerintah.
“Ini bisa terjadi di lingkungan lintas, baik itu di instansi pemerintah, di lembaga pendidikan, di perguruan tinggi, di tempat kerja ya,” kata Anis kepada Tirto, Senin (8/7/2024).
Menurut Anis, tindakan asusila yang dilakukan Hasyim termasuk penggunaan dimensi relasi kuasa sebagai modus tindak pidana kekerasan seksual. Anis yang juga saksi ahli pihak DKPP dalam kasus Hasyim ini menilai, seharusnya kasus Hasyim bisa diteruskan ke ranah pidana.
Kelompok rentan, kata Anis, paling rawan menjadi korban modus dimensi relasi kuasa yang berujung pada tindak pelecehan serta kekerasan seksual. Perempuan, kelompok disabilitas, hingga anak-anak seharusnya dijamin aman dari penyimpangan kekuasaan dalam berbagai aktivitas mereka.
“Perempuan menjadi lebih rentan karena adanya relasi kuasa, sebab ada hubungan yang dimanipulasi lewat penyalahgunaan kewenangan oleh atasan kepada bawahan,” tutur Anis.
Anis menyayangkan masih saja ada masyarakat yang memandang tindak kekerasan seksual di lingkup instansi pemerintah dianggap wajar. Pandangan semacam itu abai pada dimensi relasi kuasa yang membuat korban tidak mampu melawan atasan mereka yang menyimpang.
“Jadi tidak bisa sama sekali dikatakan hubungan suka sama suka, tetapi ada relasi yang dibangun karena penyalahgunaan kekuasaan. Bawahan tidak punya pilihan untuk menolak, risikonya akan kehilangan pekerjaan, jabatan, dan tentu berimplikasi pada kehilangan hak ekonomi, sosial, dan budaya,” jelas Anis.
Sementara itu, saat merespons kasus Hasyim beberapa waktu lalu, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Indonesia, Khotimun S, juga menyatakan relasi kerja dengan kedudukan yang tidak seimbang rentan terhadap berbagai bentuk diskriminasi, eksploitasi, manipulasi dan kekerasan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual.
Baik dalam bentuknya yang paling subtil dan halus maupun bentuk-bentuk kekerasan fisik dan psikologis. Bentuk-bentuk manipulasi dan tipu daya kepada korban kekerasan seksual yang sering ditangani oleh LBH APIK adalah pelaku menciptakan suasana batin sedemikian rupa bagi korban.
“Baik dengan dalih menjalin intensitas hubungan kerja atau hal lainnya, rangkaian cerita yang mengandung tipu muslihat dan atau rangkaian kebohongan untuk mendapatkan simpati, janji-janji dan atau seolah-olah akan menikahi, serta komunikasi bersifat seksual,” ujar Khotimun dalam keterangannya, dikutip Senin.
Dalam kasus Hasyim, dia telah menyalahgunakan kedudukan, wewenang, dan kepercayaan sebagai Ketua KPU. Hasyim juga melakukan muslihat atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan korban CAT. Penyalahgunaan wewenang dan tipu daya sudah diatur di Pasal 6 (c) dalam UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Perbuatan Hasyim juga telah berdampak psikologis pada korban CAT. Dampak tersebut antara lain kehilangan rasa kepercayaan diri (self esteem), serta mengganggu pelaksanaan tugasnya sebagai Penyelenggara Pemilu.
Keadaan ini membuat CAT harus mendapatkan bantuan konseling psikologis untuk membantu memulihkan dampak psikologis dari perbuatan Hasyim. LBH APIK Jakarta sudah membantu CAT untuk berkonsultasi dan memperoleh pendampingan dengan salah satu lembaga layanan psikologi.
Atas maraknya kejadian tindak kekerasan seksual yang dilatari dimensi relasi kuasa, LBH Apik meminta agar DKPP, KPU, unsur Penyelenggara Pemilu, serta lembaga publik lainnya untuk memasukkan secara eksplisit bahwa kekerasan seksual baik fisik, non fisik, maupun berbasis elektronik adalah pelanggaran kode etik yang tidak dapat ditoleransi.
Mereka juga meminta disusunnya mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender dalam penyelenggaraan pemilu.
Wajib Cegah TPKS
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menegaskan bahwa seluruh instansi publik, terutama kementerian/lembaga pemerintah wajib memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan tindak kekerasan seksual. Pasalnya, hal ini sudah menjadi mandat dari hadirnya UU TPKS
“Di dalam UU TPKS untuk pencegahan terdapat tata kelola pemerintahan, yang meliputi penyusunan mekanisme (SOP) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, peningkatan kapasitas SDM tentang TPKS sampai pada pemenuhan hak pemulihan korban,” ujar dia kepada Tirto, Senin.
Kekerasan seksual di instansi pemerintah rawan terjadi karena ada dimensi relasi kuasa. Sumber kekuasaan dapat berasal dari gender, usia, kelas sosial, jabatan dan/atau kekuatan finansial. Padahal, menurut Siti Aminah, sudah ada konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
“Pejabat pemerintahan dan lembaga negara memiliki kewajiban untuk menahan diri dan tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan,” tegasnya.
Ketika seorang dipilih sebagai bagian penyelenggara negara, seharusnya mereka berperan secara bertanggung jawab. Termasuk dalam mencegah dan tidak melakukan diskriminasi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Perlu diingat bahwa penyelenggara pemerintahan merupakan representasi negara dengan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga negara. Termasuk hak atas rasa aman serta bebas dari kekerasan dan diskriminasi.
“Yang bisa dilakukan adalah seleksi ketat dalam rekrutmen ASN atau pejabat-pejabat publik, membentuk SOP TKS, dan pemberian sanksi yang tegas terhadap pelaku TPKS,” terang Siti Aminah.
Sementara itu, Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menilai dari terkuaknya kasus Hasyim Asy'ari, sudah saatnya instansi pemerintah membangun mekanisme penanganan dan pencegahan kekerasan seksual yang tidak terpaku pada mekanisme etik. Menurutnya, mekanisme etik cuma membuat pelaku TPKS menerima sanksi administrasi, semisal pencopotan jabatan.
“Seharusnya secara komprehensif mengatur terkait sanksi pidana dan pemenuhan hak-hak korban,” ujar Armayanti kepada Tirto, Senin.
Dia juga mengingatkan, kultur kekerasan seksual sangat didukung oleh victimblaming dan objektifikasi terhadap perempuan. Perempuan yang menjadi korban sering disalahkan atau mendapat stereotipe dari publik atas kekerasan seksual yang dialaminya.
“Kekerasan seksual itu terjadi saat korban tidak menghendaki adanya persetujuan (consent) ketubuhannya,” tegas Armayanti.
Selain membangun mekanisme respons TPKS di instansi pemerintahan, penting juga untuk mengimplementasikan UU TPKS. Salah satunya dengan menjalankan peraturan turunan UU TPKS, baik aturan soal pencegahan, penanganan serta tahapan pemulihan korban.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi