tirto.id - Sadar atau tidak, pola konsumsi makanan kita ternyata bisa berdampak terhadap kerugian ekonomi. Pasalnya, sepertiga dari makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia, hilang atau terbuang di antara proses panen dan proses konsumsi. Fenomena ini dikenal dengan istilah food loss and waste (FLW).
Seturut Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia (2021, PDF) yang disusun oleh Bappenas, timbulan FLW Indonesia pada kurun 2000 - 2019 yaitu sebesar 115-184 kg/kapita/tahun.
Potensi kerugian ekonomi dari FLW tersebut di kurun yang sama pun lumayan besar, mencapai Rp213 hingga Rp551 triliun pertahun. Itu setara dengan 4-5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) kita.
Hitungan kerugiannya pun tak berhenti di situ. Total emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari timbulan FLW itu tercatat mencapai 1.702,9 metrik ton (MT) CO2 EK.
Oleh karena itu, studi Bappenas tersebut memperingatkan bahwa, “Tanpa pengendalian, diestimasikan timbulan FLW Indonesia pada 2045 dapat mencapai 344 kg/kapita/tahun.”
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Suharso Monoarfa, mengatakan bahwa sisa pangan yang masih layak dikonsumsi harus dimanfaatkan secara bijak. Dengan begitu, Indonesia bisa menyelamatkan potensi ekonomi yang hilang sekaligus dapat memenuhi kebutuhan energi dan menurunkan emisi GRK.
"Pada sektor pangan, pengendalian susut dan sisa pangan atau food loss and waste menjadi salah satu intervensi priority yang dapat menekan jumlah timbulan sampah hingga separuh yang ada saat ini dan mencegah risiko kehilangan ekonomi," ujar Suharso dalam Green Economy Expo, di Jakarta, Rabu (3/7/2024).
Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, mengatakan bahwa jenis sampah terbesar saat ini memang adalah sisa makanan. Porsinya sekitar 41 persen dari total sampah yang dihasilkan dan mayoritas sumbernya adalah rumah tangga dan pasar.
“Selain perilaku konsumtif, juga dari sisi manajemen rantai pasok makanan dan pengelolaan pascapanen ini turut juga memengaruhi,” kata Eliza kepada Tirto, Jumat (5/6/2024).
Eliza juga mengatakan bahwa karakteristik komoditas pertanian seperti sayuran dan buah umumnya mudah busuk. Jika proses pascapanennya kurang baik dan petani tidak melakukan penyortiran, komoditas itu akan menjadi sampah ketika sudah tiba di pasar. Terlebih jika selama perjalanan tidak didukung dengan cold chain, bahan pangan akan turun kualitasnya dan berujung tidak layak konsumsi.
“Ini juga akan menjadi timbulan sampah di pasar,” imbuhnya.
Terkadang, lanjut Eliza, sisa-sisa makanan itu datang dari horeka alias sektor industri makanan yang melayani dan menyiapkan makanan dan minuman (hotel, restoran, kafe, dan lain-lain). Ini dikarenakan ada entitas bisnis yang dalam standar operasional atau SOP-nya harus membuang sisa makanannya.
Maka pemerintah daerah (pemda) dalam hal ini perlu melakukan pendekatan kepada pelaku sektor horeka agar menyalurkan makanannya yang masih layak kepada pihak lain yang membutuhkan. Jika mereka bersedia, pemda bisa memfasilitasi untuk menyalurkannya kepada panti asuhan, panti jompo, ataupun pesantren.
“Dengan demikian ini bisa mengurangi food waste,” tutur Eliza.
Sementara itu, pihak konsumen atau rumah tangga perlu diedukasi untuk melakukan perencanaan menu makan keluarga selama satu minggu. Tujuannya adalah agar mereka berbelanja sesuai kebutuhan.
Saat ini, kata Eliza, juga sudah banyak informasi mengenai bagaimana menyimpan bahan makanan agar usia simpannya lebih panjang.
“Sosialisasi mesti masif digaungkan kepada setiap orang untuk berbelanja sesuai kebutuhan,” pungkas dia.
Pemerintah Harus Berani Ambil Sikap
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melihat bahwa titik persoalan food waste itu terletak di pola konsumsi masyarakat. Apalagi, perekonomian nasional kita lebih dari 50 persennya digerakkan oleh konsumsi rumah tangga yang sebagian adalah bahan makanan.
“Jadi, food waste ini kalau di negara lain, di Eropa misalnya, itu bahkan ada denda di restoran,” kata Bhima kepada Tirto, Jumat (5/7/2024).
Seturut pemberitaan Antara, restoran-restoran di negara kawasan Lower Saxony, contohnya Jerman, sudah mulai menetapkan biaya tambahan kepada para pelanggan yang menyisakan makanan. Aturan tersebut diberlakukan sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi jumlah sampah sisa makanan.
Restoran China Fang di Rhauderfehn, misalnya, telah membebankan biaya tambahan 10 euro (sekitar Rp162 ribu) kepada tamunya yang menyisakan makanannya di buffet atau prasmanan. Tujuan dari kebijakan itu bukan demi uang, tapi untuk menghindari sampah makanan.
Menurut Bhima, pemerintah bisa berkiblat ke negara-negara Eropa untuk meminimalisasi timbulan sampah makanan. Sudah seharusnya, kata Bhima, pemerintah berani ambil tindakan tegas dengan mendorong atau mewajibkan seluruh restoran di Indonesia untuk mengenakan denda atau sanksi serupa.
“Jadi, apabila memesan makanan berlebihan kemudian menyisakan makanan yang terlalu banyak, itu restoran bisa dikenakan denda. Atau pengunjung yang mau makan juga bisa dikenakan denda,” katanya.
Pola ini, menurut Bhima bisa dimulai kepada restoran-restoran yang menerapkan All You Can Eat. Selain denda atau sanksi yang diberikan kepada konsumen, mereka yang tidak menghabiskan makanan mungkin bisa di-black list seumur hidup atau tidak bisa kembali lagi makan di restoran tersebut.
“Nah cara-cara itu harus ada tuh. Sehingga apa? Budaya sisa makanan itu bisa ditekan,” kata dia.
Selain denda, pemerintah pusat maupun daerah juga perlu mendorong agar seluruh restoran di Indonesia dapat menyiapkan wadah atau bungkus makanan. Menurutnya, ini penting agar paling tidak bisa menyadarkan masyarakat ketika makanannya tersisa tidak lagi dibuang, tapi bisa dibawa pulang.
“Jadi restoran menyediakan tempat, tapi pengunjungnya memasukkan sendiri sisa makanan ke sana. Itu jadi ada edukasi ya,” jelas Bhima.
Menurut Bhima, beberapa langkah tersebut perlu dipertimbangankan pemerintah untuk menjadi kebijakan. Pasalnya, jika persoalan sampah makanan tidak dipotong di hulunya dari sekarang, ia akan terus jadi kebiasaan dan bisa berdampak kepada beban negara dalam pengelolaan sampah akhirnya.
“Jadi, masalah food waste ini harus sudah berpikir bukan lagi selesaikan masalah di hilirnya, tapi masalah di hulu, terutama kelas menengah yang sebagian masih baru memiliki pendapatan lebih sehingga mereka abai terhadap food waste. Tidak bisa cukup hanya sosialisasi dan edukasi, tapi sanksi langsung,” pungkasnya.
Kolaborasi Bersama Atasi Sampah Makanan
Untuk mencegah potensi ekonomi yang hilang akibat FLW, Bappenas sendiri telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan. Itu semua disusun untuk mendukung pencapaian ketahanan pangan 2045.
Selain itu, Indonesia juga sudah melakukan kerja sama dengan pemerintah Denmark dalam menangani FLW. Penandatanganan dokumen perjanjian kerja sama dilakukan oleh Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati, serta Dubes Denmark untuk Indonesia, Malaysia, Timor-Leste, Papua New Guinea dan ASEAN, H.E. Stan Frimodt Nielsen.
“Pemerintah Denmark akan membantu kita untuk food loss and waste. Di dalam rencana aksi (Renaksi) food loss and waste itu, banyak sekali pekerjaan rumah kita," ungkap Vivi Yulaswati dalam agenda Green Economy Expo 2024, Jakarta.
Sementara untuk menindaklanjuti upaya penanganan sampah makanan, Bapanas turut mendorong sinergi dan kolaborasi yang kuat para pemangku kepentingan terkait pangan. Bapanas sendiri siap bersinergi untuk mengelola FLW.
"[Ini perlu] mengingat Indonesia berada pada peringkat ketiga penghasil sampah makanan terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat dan Arab Saudi," ungkap Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Bapanas, Andriko Noto Susanto, dalam keterangan persnya, dikutip Jumat (5/7/2024).
Menurut Andriko, upaya menurunkan timbulan FLW di Indonesia sangat urgen karena tidak saja berdampak terhadap ketahanan pangan, tapi juga terhadap lingkungan hidup dan ekonomi.
Data Bappenas menunjukkan bahwa Indonesia menghasilkan antara 23 hingga 48 juta ton sampah makanan setiap tahun. Jumlah ini setara dengan kebutuhan pangan untuk 61 hingga 125 juta orang atau 29 hingga 47 persen populasi Indonesia.
Masalah ini semakin mendapat perhatian serius dengan dimasukkannya pengelolaan sampah makanan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Sementara itu, Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, mengatakan bahwa pihaknya lewat Gerakan Selamatkan Pangan tengah melakukan penyusunan regulasi untuk menjawab kondisi faktual di mana sampah pangan merupakan salah satu tantangan di sektor pangan.
"Saat ini, kami tengah melakukan penyusunan naskah urgensi terkait upaya penyelamatan pangan dan regulasinya nanti dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres)," ujar Arief.
Regulasi yang diatur dalam bentuk Perpres tersebut telah melalui kajian yang dilakukan oleh Bapanas dengan melibatkan pakar, praktisi, lintas kementerian lembaga, dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan yang terkait, khususnya dari Kementerian Hukum dan HAM.
"Kami terus berproses secara paralel untuk menyusun payung hukum pengaturan penyelamatan pangan berupa Undang-undang sesuai mandat DPR. Hal ini tentunya agar dapat memayungi regulasi penyelamatan pangan yang kemudian bisa diturunkan dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan di bawahnya yang lebih operasional," ungkap Arief.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi