Menuju konten utama

Kenaikan TBA Pesawat dan Kembang kempis Maskapai Penerbangan

Ada dua opsi bagi pemerintah untuk memulihkan dunia penerbangan. Pertama, menaikkan TBA. Kedua, menurunkan biaya-biaya yang timbul dalam komponen tiket.

Kenaikan TBA Pesawat dan Kembang kempis Maskapai Penerbangan
Sejumlah pesawat udara terparkir di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (20/4/2022). ANTARA FOTO/Fauzan/wsj.

tirto.id - Revisi kebijakan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat penerbangan domestik tengah didorong oleh maskapai pelat merah, Garuda Indonesia. Salah satu pertimbangannya, TBA yang berlaku saat ini tidak menutup biaya operasional penerbangan. Apalagi sejak lima tahun terakhir belum ada penyesuaian tarif dilakukan oleh pemerintah.

Terakhir, tepatnya pada 2019, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai regulator menurunkan TBA tiket pesawat rute domestik sebesar 12 hingga 16 persen.

Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KM 106 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Namun, sejak saat itu belum ada lagi penyesuaian TBA.

"Kita menunggu TBA tiket pesawat dinaikkan," ujar Dirut Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra kepada Tirto, Jumat (5/7/2024).

Dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI, Irfan mengeluhkan belum adanya penyesuaian TBA. Ia menyebut TBA yang berlaku saat ini tidak mengikuti perkembangan dinamika di industri pesawat, yakni penyesuaian tarif yang harus mengikuti harga avtur hingga nilai tukar rupiah.

Menurutnya, urgensi penetapan perbahan TBA penting untuk segera dilaksanakan. Pasalnya, telah menyebabkan pendapatan perseroan terus menurun sejak Februari 2023.

Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional, Gatot Rahardjo, melihat keinginan Garuda Indonesia dan maskapai lainnya untuk mendesak pemerintah merevisi TBA sangat wajar. Karena menurutnya saat ini biaya-biaya yang merupakan komponen tiket sudah naik tinggi dibanding 2019, terutama karena dipengaruhi oleh kurs dolar.

"Kurs dolar memengaruhi harga avtur, biaya sewa pesawat, harga sparepart dan lain-lain yang kalau diakumulasi kira-kira 70 persen dari seluruh biaya itu," kata Gatot kepada Tirto, Jumat (5/7/2024).

Naiknya biaya komponen tiket saat ini bahkan diperkirakan Gatot sudah melebihi tarif yang dijadikan patokan pemerintah saat menentukan TBA pada 2019. Karena secara ekonomi, biaya lebih besar dari pendapatan (dari TBA), alhasil membuat maskapai rugi.

Sekretaris Indonesia National Air Carriers Association (INACA), Bayu Sutanto, mengatakan pihaknya sudah sejak 2022 mengusulkan kepada pemerintah untuk merevisi TBA. Dorongan itu dilakukan karena nilai kurs dolar AS dan harga avtur berbeda jauh atau lebih mahal daripada harga dan kurs saat TBA ditetapkan di 2019.

"Ya, seharusnya Kemenhub paham bahwa sesuai ketentuan di PM 106/2019, nilai TBA semestinya devaluasi setiap tiga bulan atau sesuai kenaikan harga avtur dan kurs-nya," kata Bayu kepada Tirto, Jumat (5/6/2024).

KEDATANGAN VAKSIN COVID-19 TAHAP KE-48

Petugas kargo membongkar muat vaksin COVID-19 AstraZeneca di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Kamis (2/9/2021). ANTARA FOTO/FAUZAN/rwa.

Sementara pengamat penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman, mengatakan kenaikan TBA memang seharusnya ditinjau ulang setiap tiga sampai enam bulan. Alasannya, seluruh komponen tarif pembentuk seperti kurs dolar AS sudah naik dari Rp14.000 ke Rp16.000. Sementara avtur dunia pun sudah naik dari 80 dolar AS per barel menjadi 110 dolar AS per barrel.

Dengan kenaikan ini, maka biaya operasi maskapai Low Cost Carrier (LCC) naik 30 persen dari 2019 hingga saat ini. Sedangkan maskapai saat ini hanya diberikan kenaikan 10 persen melalui fuel surcharge dan 10 persen dari basic fare maskapai.

"Dampaknya adalah potensi pendapatan maskapai di peak season terbatas dan diakibatkan harga tiket di low season mau tidak mau naik 30 persen sejak 2019. Selain itu, konsumen juga dibebankan kenaikan PSC bandara," ungkapnya.

TBA Harus Naik Jika Maskapai Ingin Pulih

Gerry melanjutkan, jika pemerintah ingin maskapai di Tanah Air pulih dan ingin tiket di low season bisa lebih terjangkau, maka TBA harus disesuaikan (naik minimal 30 persen dibanding 2019). Ini perlu dilakukan agar maskapai punya ruang gerak dan di low season bisa memberikan tiket lebih terjangkau melalui subsidi silang dengan peak season.

"Butuh diingat juga TBA 2019, 10 persen itu sama dengan TBA 2016. Kalau kita compare dengan 2016, kondisinya lebih menyedihkan lagi. Harga avtur waktu itu hanyalah 55 dolar AS per barrel, dan kurs masih Rp13.500," ujar.

Jadi, imbuh Gerry, jika mengacu kepada pergerakan biaya sejak TBA 2016, seharusnya TBA sekarang adalah 66 persen lebih tinggi dibanding TBA 2016. Maka, sudah menjadi urgensi bagi pemerintah untuk tahun ini menyesuaikan TBA paling tidak naik 30 persen dari 2019.

"Jelas [mendesak], maskapai sudah tertekan. Pada larikan kapasitas ke rute internasional karena harga bebas tanpa TBA dan tarif batas bawah (TBB)," katanya.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Adita Irawati, mengatakan sejauh ini pihaknya sedang mengkaji untuk mengubah ketentuan tarif TBA pesawat. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan mengubah harga tiket pesawat setelah memperoleh persetujuan.

"Memang benar demikian (sedang dikaji untuk TBA direvisi)," ujar Adita saat dihubungi Tirto.

Kajian untuk mengubah TBA diketahui merujuk atas usulan dari maskapai penerbangan melalui Indonesia National Air Carrier Association (INACA). Usulan untuk merevisi tarif tersebut salah satunya adalah dorongan akan tren pelemahan nilai tukar rupiah.

Selain itu, revisi atas tarif batas atas, sekaligus juga tarif batas bawah, ditujukan untuk menghindari terjadinya praktik predatory pricing. Kebijakan menyesuaikan harga dapat menjaga iklim usaha sehat antarmaskapai penerbangan.

PENERBANGAN PERDANA MASKAPAI PELITA AIR

Petugas memeriksa kesiapan pesawat Airbus A320-200 maskapai Pelita Air sebelum melakukan penerbangan perdana di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (28/4/2022). ANTARA FOTO/Fauzan/tom.

Opsi yang Bisa Diambil Pemerintah

Lebih lanjut, Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional, Gatot Rahardjo, mengatakan setidaknya ada dua solusi yang bisa diambil pemerintah. Pertama harus menaikkan TBA, sehingga pendapatan maskapai minimal menyamai atau melebihi biaya yang dikeluarkan. Konsekuensinya memang harga tiket menjadi naik dan kemungkinan ada protes dari masyarakat.

Opsi kedua adalah menurunkan biaya-biaya yang timbul dalam komponen tiket. Misalnya menurunkan harga avtur, menghapus pajak-pajak, bea masuk dan lain-lain, memudahkan proses impor pesawat, spareparts, memisahkan PSC airport dari tiket atau mensubsidi PSC, menghapus atau mensubsidi biaya kebandarudaraan dan navigasi penerbangan.

"Dengan opsi ini akibat yang timbul TBA dan harga tiket tetap bahkan bisa turun, tetapi ada pengeluaran dari pemerintah untuk subsidi dan berkurangnya penerimaan pemerintah dari pajak," katanya.

Namun, kata Gatot, pemerintah bisa mengambil keuntungan dari trickle down effect dengan berkembangnya penerbangan. Misalnya pariwisata meningkat, perekonomian meningkat karena konektivitas transportasi bertambah.

Apalagi sebenarnya di seluruh dunia sektor penerbangan adalah trigger untuk peningkatan sektor lainnya. Sehingga di negara lain sektor penerbangan dan transportasi mendapat dukungan kuat dari pemerintah.

"Sekarang tinggal pemerintah mau memilih yang mana? Kalau dibiarkan terus-menerus begini, maskapai bisa mati dan nanti yang terkuat yang bertahan hidup terus jadi monopoli. Yang susah ya masyarakat dan pemerintah sendiri," pungkasnya.

Terlepas dari berbagai opsi di atas, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, melihat akan ada dampaknya ke inflasi kalau memang TBA naik. Hanya saja tingkat kenaikan inflasinya tergantung seberapa jauh para maskapai merespons dengan menaikkan harga tiketnya.

"Tapi, dampak ke inflasi umum perkiraan saya tidak akan besar karena kontribusi pengeluaran untuk jasa transportasi udara di dalam keranjang inflasi relatif rendah," ujarnya kepada Tirto, Jumat (5/7/2024).

Baca juga artikel terkait NEWS PLUS atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi