Menuju konten utama

Polemik Pernyataan BKKBN, Terlalu Jauh Mengatur Tubuh Perempuan

Hasto Wardoyo menilai pernyataannya yang tersebar di media banyak terpotong sehingga konteksnya dipahami tidak secara utuh.

Polemik Pernyataan BKKBN, Terlalu Jauh Mengatur Tubuh Perempuan
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo (kiri) berbincang dengan warga akseptor yang hendak memasang alat kontrasepsi jangka panjang jenis implant saat mengunjungi tempat pelayanan Keluarga Berencana di Puskesmas Singkawang Barat 1 di Singkawang, Kalimantan Barat, Senin (17/2/2020). ANTARA FOTO/HS Putra/jhw/wsj.

tirto.id - Semua dimulai dari pernyataan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Hasto Wardoyo. Baru-baru ini, dia menyampaikan bahwa pemerintah berharap setiap perempuan bisa melahirkan rata-rata satu anak perempuan. Hal ini Hasto sampaikan merespons keadaan angka pernikahan yang menurun dari tahun ke tahun.

Menurut Hasto, terdapat atau terjadi perubahan persepsi tentang pernikahan saat ini, yang dianggap tradisi atau budaya yang tidak harus dilakukan. Ada beberapa penelitian, kata dia, menemukan bahwa keinginan menikah mengalami penurunan sehingga Total Fertility Rate (TFR) ada di angka 2,18.

Meski angka TFR di atas masih ideal, Hasto menyebut mitigasi untuk mengantisipasi krisis penduduk tetap perlu diupayakan dari sekarang. TFR alias angka kelahiran total adalah rata-rata anak yang dilahirkan perempuan selama masa usia suburnya (15-49 tahun). Angka ideal TFR yakni sebesar 2,1, artinya dua orang anak yang dilahirkan akan menggantikan kedua orang tuanya.

“Secara nasional saya memiliki tanggung jawab agar penduduk tumbuh seimbang. Saya berharap adik-adik perempuan nanti punya anak rata-rata 1 perempuan. Kalau di desa ada 1000 perempuan, maka harus ada 1000 bayi perempuan lahir,” ujar Hasto lewat keterangan tertulis, dikutip Kamis (4/7/2024).

Tak ayal pernyataan Hasto di atas memantik kegeraman warganet di media sosial. Mereka menganggap pemerintah terlalu jauh mengatur ranah hak kebebasan individu. Ditambah, pemerintah seolah memaksa perempuan untuk hamil dan melahirkan anak perempuan.

Lagi-lagi perempuan dianggap negara memiliki peran sebatas memproduksi lebih banyak jumlah penduduk. Padahal, banyak persoalan layanan kesehatan reproduksi dan kehamilan belum dibenahi.

Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia juga masih tinggi, hingga saat ini, masih di kisaran 305 kematian per 100.000 Kelahiran Hidup. Belum mencapai target yang ditentukan pemerintah yakni 183 per 100.000 KH di 2024.

Peneliti Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Annisa Azzahra, menilai, pernyataan BKKBN merupakan bentuk pemerintah yang melangkah terlalu jauh dalam upaya mengendalikan rahim perempuan. Jika dilihat dari kacamata hak asasi manusia, pernyataan BKKBN adalah upaya kontrol yang melanggar prinsip kebebasan individu, khususnya terkait hak reproduksi.

“Seolah-olah negara-negara merasa berhak untuk ikut campur tangan dalam urusan privat masyarakatnya, warga negaranya. Dalam urusan pernikahan, dalam urusan punya anak atau tidak punya, anaknya berapa, punya anak berjenis kelamin apa,” kata Annisa kepada reporter Tirto, Kamis (4/7/2024).

Hasto Wardoyo

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo. (FOTO/Dok. BKKBN)

Pernyataan BKKBN dinilai mengabaikan otonomi tubuh perempuan sekaligus memperkuat stereotip gender. Pemerintah melakukan intervensi pada tubuh perempuan dengan seolah meminta perempuan untuk selalu melahirkan.

“Ini mengingkari kembali hak atas ketubuhan perempuan untuk menentukan pilihannya sendiri dan mencerminkan ketidakpedulian terhadap reproduksi dan kesehatan perempuan,” ujar Annisa.

Lebih lanjut, Annisa memandang pemerintah ikut campur dalam urusan tujuan pernikahan masyarakat. Padahal, kata dia, saat ini tujuan pernikahan bukan cuma untuk memiliki keturunan atau prokreasi. Ada juga orang menikah untuk mencari kebahagiaan dan stabilitas ekonomi.

“Semua orang berhak untuk memilih untuk menikah ataupun tidak menikah dan tujuannya itu juga kembali lagi ke individunya masing-masing,” terang dia.

BKKBN diminta berfokus pada pemenuhan hak dan layanan kesehatan reproduksi, alih-alih terlalu ikut campur soal ketubuhan perempuan. Di sisi lain, kata Annisa, persoalan orang tidak mau menikah atau kurang ingin punya anak saat ini juga terjadi karena banyak faktor. Seharusnya negara menjamin keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dari setiap keluarga di Indonesia.

“Orang-orang tidak mau punya anak ataupun kurang mau punya anak saat ini minatnya menurun itu kan karena situasi ekonomi dan sosial, bahkan politik di Indonesia yang semakin rumit, yang semakin sulit, semuanya serba mahal,” tutur Annisa.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, memandang kekhawatiran BKKBN soal potensi kekurangan penduduk terlalu berlebihan. Saat ini saja, persoalan soal penumpukan angkatan kerja dan pembangunan yang belum merata bagi penduduk di banyak daerah.

“Masalah soal penduduk saja belum banyak yang terselesaikan, lalu ini juga menjadi sesuatu yang menurut saya misoginis ironis ketika ujung-ujungnya kok malah disuruh melahirkan bayi perempuan,” ujar Mike kepada reporter Tirto.

Keinginan BKKBN, kata Mike, seolah ingin mengembalikan perempuan sebatas mengurusi persoalan domestik. Saat ini padahal sudah banyak perempuan yang progresif berperan di berbagai urusan publik dan memiliki posisi strategis.

Menurut Mike Indonesia sepertinya belum akan sampai pada titik krusial kehilangan jumlah penduduk yang begitu besar. Sebaliknya, penduduk Indonesia masih menumpuk dan juga jauh dari kata sejahtera.

Seharusnya BKKBN merespons banyak hal yang lebih esensial seperti persoalan kesehatan perempuan atau kesehatan ibu dan anak. BKKBN mesti punya terobosan-terobosan mumpuni di persoalan tersebut, karena angka perempuan yang mengalami kanker organ reproduksi masih banyak.

“Atau soal bagaimana misalnya kesejahteraan keluarga atau bagaimana menemukan terobosan-terobosan dalam implementasi keluarga berencana itu lebih penting daripada maksudnya ketakutan [penduduk berkurang],” terang Mike.

Mike menyayangkan pernyataan dari Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, soal perempuan yang diharapkan rata-rata melahirkan anak perempuan. Padahal, kata Mike, Hasto biasanya punya respons yang cukup bijak, misalnya ketika menanggapi soal perkawinan anak yang harus dicegah karena berdampak terhadap kesehatan reproduksi.

“Saya juga jadi kaget ya kenapa akhirnya kok ada pernyataan seperti ini,” terang Mike.

ilustrasi ibu melahirkan

ilustrasi ibu melahirkan. FOTO/iStockphoto

Gagal Memutus Akar Patriarkis

Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menilai pernyataan kepala BKKBN, merupakan perwujudan kegagalan negara dalam memutus konstruksi sosial dari akar penindasan patriarki. Perempuan masih sering dijadikan sebagai objek politik oleh negara untuk berbagai kepentingan.

“Sehingga perempuan harus mengalami ragam lapisan ketidakadilan,” ujar Armayanti kepada reporter Tirto, Kamis (5/7/2024).

Persepektif struktur negara saat ini sangat patriarkis dan bias gender yang melanggengkan ketimpangan gender bagi perempuan lewat kebijakan yang diskriminatif. Berdasarkan data Kemenkumham, Solidaritas Perempuan menilai terdapat 1.441 kebijakan diskriminatif, 7 UU, 274 Perda, 152 kebijakan peraturan daerah dan 8 kebijakan bentuk lainya yang banyak menyasar kelompok rentan, termasuk perempuan.

“Negara telah melakukan kekerasan terhadap ketubuhan perempuan melalui kontrol atas fungsi reproduksi perempuan dan Kontrol atas keputusan perempuan terkait tubuhnya,” ujar Armayanti.

Solidaritas perempuan mendorong BKKBN sebagai struktur negara agar dapat mengambil peran bermakna di dalam mendorong pengarusutamaan gender. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai kebijakan dan program yang menempatkan perempuan sebagai subjek dalam kebijakan maupun program-program pembangunan.

“Melalui kuasanya, negara telah menegasikan bahwa perempuan memiliki kedaulatan politik di dalam menentukan pengetahuan, pengalaman, ruang gerak, hasil kerja, hingga mengekspresikan ketubuhan dalam berkehidupan sosial,” tegas Armayanti.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, menyarankan, BKKBN untuk lebih aktif melakukan intervensi soal kesehatan reproduksi dan keluarga. Menurut dia, justru perlu dikritisi akar permasalahan mengapa saat ini banyak keluarga yang memandang tidak perlu memiliki keturunan atau tak ingin menikah.

“Misalnya khawatir karena layanan kesehatannya sulit, atau aksesnya sulit, biayanya mahal, ini kan juga sebetulnya yang harus diurusi pemangku kebijakan,” kata Wanti kepada reporter Tirto, Kamis (4/7/2024) malam.

Wanti sendiri memandang pernyataan BKKBN tidak keliru sebab memang sesuai dengan konteks tugas dan fungsinya. Mempertahankan populasi penduduk dan menyeimbangkan populasi memang merupakan mandat yang diemban BKKBN oleh negara.

“Logika yang dibangun, kan, satu perempuan dewasa [yang kelak meninggal] akan diganti satu anak perempuan agar jumlah penduduk seimbang. Karena hanya perempuan yang dapat melahirkan,” ujar Wanti.

Wanti menilai pernyataan Hasto Wardoyo bukan dalam konteks memaksa apalagi meminta perempuan untuk melahirkan anak perempuan. Menurut dia, Hasto melontarkan pernyataan dalam konteks berharap, namun sayangnya dipahami keliru oleh banyak pihak.

“Jadi itu harapan dari seseorang yang diamanatkan oleh negara untuk memastikan populasi di Indonesia itu seimbang. Karena kalau sampai tidak seimbang itu menyulitkan, apalagi sampai tidak terjadi kelahiran,” terang dia.

Konpers Hasto Wardoyo

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam konferensi pers di Kantor BKKBN, Jakarta Timur, Kamis (25/4/2024). tirto.id/M. Irfan Al Amin

Klarifikasi Hasto Wardoyo

Dihubungi terpisah, Kamis (4/7) malam, Hasto Wardoyo menepis anggapan bahwa dia meminta atau mewajibkan perempuan melahirkan satu anak perempuan. Hasto menilai pernyataannya yang tersebar di media banyak terpotong sehingga konteksnya dipahami tidak secara utuh.

“Ingat loh ada kalimat ‘rata-rata’ dalam pernyataan saya. Setiap perempuan rata-rata melahirkan satu anak perempuan. Artinya kalau misal ada perempuan tidak memiliki anak perempuan, tapi tetangganya ada dua anak perempuan, ya itu sudah masuk rata-rata,” kata Hasto kepada reporter Tirto.

Hasto menegaskan dirinya tidak bisa juga mewajibkan perempuan melahirkan anak perempuan. Dia hanya berharap misal dalam satu daeran ada 1.000 perempuan, maka agar seimbang diharapkan ada 1.000 kelahiran anak perempuan untuk menggantikan generasi sebelumnya.

“Karena laki-laki, kan, tidak bisa hamil. Konsep penduduk tumbuh seimbang itu satu keluarga itu punya anak 2,1 [TFR],” ujar Hasto.

Dia menyampaikan BKKBN punya tugas agar populasi seimbang. Di sisi lain, kata dia, BKKBN juga tidak abai berperan dalam persoalan reproduksi dan kesehatan ibu dan anak. Misalnya soal sosialisasi kehamilan yang aman dan meminimalisir angka kematian ibu ketika melahirkan.

“Ada ‘4 jangan’ simpelnya dalam mengatasi persoalan kehamilan ini. Yaitu jangan terlalu muda. Dan jangan terlalu sering. Jangan terlalu banyak. Jangan terlalu tua juga ketika hamil. Ini agar ibu dan bayinya sama-sama sehat,” terang Hasto.

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz