Menuju konten utama

Rakyat Butuh Pendidikan Murah, Bukan Candaan Receh Pak Muhadjir

Kelakar Menko PMK Muhadjir Effendy soal menaikan biaya wisuda tidak seharusnya terlontar saat biaya kuliah masih tinggi.

Rakyat Butuh Pendidikan Murah, Bukan Candaan Receh Pak Muhadjir
Menko PMK Muhadjir Effendy berjalan saat akan memimpin jalannya Rapat Tingkat Menteri Evaluasi Pelaksanaan Ibadah Haji 1444H di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Selasa (6/6/2023). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

tirto.id - Di tengah polemik biaya selangit masuk perguruan tinggi yang belum menemui titik terang, pejabat kita ternyata masih sempat-sempatnya berseloroh.

Kelakar kali ini datang dari mulut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menteri Koordinator PMK), Muhadjir Effendy, yang menyatakan agar Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menarik biaya tinggi kepada mahasiswa saat wisuda.

Alasannya, kata eks Mendikbud itu, orang tua tak akan protes di momen wisuda. Sebab pada momen itu, orang tua sedang bahagia sebab buah hatinya menamatkan perguruan tinggi.

“Wisuda itu tarik yang tinggi karena enggak ada orang tua akan protes walaupun mahal, karena gembira anaknya mau wisuda bayar berapapun dikasih,” kata Muhadjir dalam RDPU Panja Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI dengan tokoh masyarakat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (2/7/2024).

Muhadjir berseloroh bahwa keluarga wisudawan/wisudawati tetap bakal datang ke acara wisuda anaknya meski harus membeli undangan. “Kalau perlu biar satu truk keluarganya akan datang, enggak apa-apa, tapi harus beli undangan. Beli undangan, dibayar, datang. Itu, kan, orang senang diminta apapun pasti mau,” ucap dia.

Candaan Muhadjir tak ayal memantik gelombang protes dari masyarakat. Di tengah ketidakjelasan langkah pemerintah membenahi biaya kuliah yang tinggi, pejabatnya malah berkata agar ongkos wisuda digenjot. Pemerintah dinilai tidak peka terhadap nasib rakyat yang masih sulit mengakses perguruan tinggi akibat biaya yang meroket.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai pernyataan Muhadjir tentu akan menyakiti hati masyarakat. Padahal, karena uang kuliah tunggal (UKT) perguruan tinggi negeri (PTN) semakin mahal, sudah banyak orang tua yang terjebak utang.

Bahkan, kata Ubaid, ketika mahasiswa sudah lulus pun beberapa orang tua masih tetap membayar tagihan utang yang berjalan. Seharusnya pemerintah memberikan solusi konkret atas tingginya biaya kuliah agar lebih terjangkau oleh masyarakat.

“Nah ini pak Muhadjir malah menambah beban biaya wisuda. Ironis, kenapa pemerintah ini otaknya bisnis mulu, cuan mulu, mana tanggung jawab pemerintah soal mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Ubaid kepada reporter Tirto, Rabu (3/7/2024).

Ubaid turut menyoroti pernyataan Muhadjir soal pemanfaatan pinjaman daring (pinjol) agar mahasiswa mampu bayar kuliah. Menurut Ubaid, ide soal penggunaan pinjol atau pinjaman mahasiswa (student loan) hanya akan menambah sengsara nasib mahasiswa.

“Tuntutan mahasiswa soal UKT yang kemarin ramai adalah mahalnya biaya kuliah dan merajalelanya komersialisasi kampus. Masyarakat ingin kampus itu kembali kepada jalurnya yaitu pencerdasan dan pencerahan, serta pemberdayaan, bukan seperti saat ini,” tutur Ubaid.

AKSI MAHASISWA UNSRI

Mahasiswa Universitas Sriwijaya melakukan aksi di halaman Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Palembang, Sumsel,Jumat (4/8). ANTARA FOTO/Feny Selly

Sebagai informasi, polemik biaya UKT perguruan tinggi negeri yang melonjak drastis ada pada Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 2 tahun 2024. Aturan tersebut hanya mengatur biaya UKT untuk kelompok 1 dan 2, sisanya bisa ditetapkan pihak kampus sesuai kebutuhan. Terutama bagi PTN-BH memang memiliki keluwesan otonomi di bidang sumber daya manusia, aset, dan keuangan dibandingkan PTN dengan pengelolaan keuangan badan layanan umum (BLU) dan PTN satuan kerja (satker).

Hal ini sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Dalam Permendikbud anyar tersebut, kampus yang bukan PTN-BH harus mendapatkan persetujuan kenaikan UKT dari Kemendikbud Ristek terlebih dahulu sebelum disodorkan ke mahasiswa.

Sementara untuk PTN-BH peraturan bisa lebih longgar, cukup berkonsultasi saja dengan Kemendikbud Ristek. Hal ini yang membuat besaran UKT bagi mahasiswa baru di sejumlah perguruan tinggi negeri naik berkali-kali lipat serta mengundang gelombang protes yang masif.

Belakangan, pemerintah menunda kebijakan untuk menaikkan biaya UKT di PTN. Kendati demikian, Presiden Joko Widodo tetap menyatakan bahwa tahun depan regulasi ini akan kembali dilanjutkan.

Ubaid memandang, kebijakan penundaan kenaikan UKT di tahun ini tidak berdampak apa-apa pada nasib mahasiswa. Bahkan terbilang masih membebani dan menyengsarakan mahasiswa, karena kembali ke besaran UKT lama yang memang sudah mahal dari awal.

“Jadi pemerintah harus dengar, tuntutan mahasiswa adalah UKT yang murah dan terjangkau untuk semua mahasiswa, baik yang kuliah di PTN maupun swasta. Jadi tuntutannya itu bukan kembali ke tarif UKT tahun lalu, karena lima tahun belakangan ini kenaikan UKT begitu ugal-ugalan,” terang Ubaid.

Tidak Peka Kondisi Rakyat

Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menilai kelakar Muhadjir soal menaikan biaya wisuda tidak menunjukkan kepekaan pada kondisi ekonomi masyarakat saat ini.

Walaupun bercanda, kata dia, karena disiarkan luas ke publik, maka sangat disayangkan pernyataan tersebut keluar dari seorang menteri koordinator.

Apalagi menurut Edi, Muhadjir dulu pernah menjabat sebagai seorang rektor dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

“Kalangan menengah ke bawah yang mana mereka sangat berharap pada kampus negeri [PTN] sebagai sarana mobilitas sosial agar tidak terjerat kemiskinan sehingga yang diharapkan adalah biaya kuliah terjangkau, syukur-syukur bisa gratis dan ada beasiswa,” kata Edi kepada reporter Tirto, Rabu (3/7/2024).

Menyatakan biaya wisuda harus tinggi, kata Edi, jelas memaksa mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah untuk berutang. Padahal biaya wisuda justru harusnya diringankan. Kelakar Muhadjir seakan memberi sinyal kepada Mendikbudristek saat ini, Nadiem Makarim, agar tancap gas memungut bayaran uang kuliah lebih mahal.

“Menko [Muhadjir] mestinya bisa membawa situasi dan melakukan identifikasi masalah serta peluang penyelesaian terkait tingginya biaya kuliah di PTN, terutama PTN-BH dan PTN-BLU yang didorong menjadi PTN-BH,” harap Edi.

Edi memandang, sebagai menteri koordinator seharusnya Muhadjir dapat mendudukkan persoalan biaya kuliah mahal. Termasuk menegosiasikan dengan kementerian-kementerian agar mengalokasikan ulang anggaran pos PTKL atau sekolah kedinasan supaya dioper lebih banyak untuk PTN. Sekaligus dapat meminta Kemendikbudristek agar meninjau ulang anggaran-anggaran mereka.

Bila pemerintah tidak turun tangan dalam bentuk membantu pembiayaan PTN dalam rangka menjadikan biaya kuliah terjangkau, maka jelas pemerintah menganut paham pasar bebas dalam sektor pendidikan. Imbasnya, menjadikan public goods seperti pendidikan menjadi problem individual semata (private goods).

“Harusnya tadi sebagai Menko PMK dapat mengajak duduk bersama beberapa kementerian membahas kenaikan biaya kuliah di PTN. Memetakan masalah, identifikasi akarnya, juga kalkulasi dari potensi positif dan negatif kebijakan yang ada ke depan,” terang Edi.

Header Advertorial Universitas Indonesia

Ilustrasi Mahasiswa UI. FOTO/Universitas Indonesia

Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Cecep Darmawan, memandang pendidikan merupakan ranah publik sehingga tidak seharusnya berorientasi mencari keuntungan. Menurutnya, mengenakan biaya pada acara wisuda mahasiswa memang sudah umum terjadi. Maka, alih-alih menambah biaya semakin tinggi, justru idealnya wisuda digratiskan saja.

“Justru perguruan tinggi itu kalau mau mencari untung bukan dari mahasiswa,” kata Cecep kepada reporter Tirto, Rabu (3/7/2024).

Cecep memandang seharusnya perguruan tinggi mencari tambahan pemasukan lewat riset, kajian, publikasi ilmiah, dan hak paten. Masalahnya, kata dia, belum sepenuhnya perguruan tinggi di Indonesia mampu mencari dana lewat sumber-sumber tersebut.

Menurut Cecep, kelakar Muhadjir soal menaikan biaya wisuda tidak seharusnya terlontar karena kontradiktif dengan keadaan saat ini di mana biaya kuliah masih tinggi.

“Apalagi negeri [PTN] untuk mereka yang wisuda mestinya digratiskan. Karena itu bagian dari penghormatan kami di perguruan tinggi kepada mereka,” ujar Cecep.

Sebatas Bercanda?

Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji, memandang Muhadjir memang hanya bercanda soal ucapan menarik uang lebih tinggi saat wisuda. Indra mengaku sering membersamai Muhadjir, kata dia, memang terkadang Menko PMK itu khilaf saat mengeluarkan pernyataan.

“Di sisi lain kadang-kadang Pak Muhajir itu juga suka lupa kalau beliau itu bukan lagi rektor universitas swasta. Itu dari zaman saya dampingi beliau di Kemendikbud, kadang-kadang suka lupa beliau,” terang Indra kepada reporter Tirto, Rabu (3/7/2024).

Indra memandang memang ada langkah yang keliru dari pemerintah dalam melaksanakan pendidikan tinggi. Padahal pasal 31 ayat 5 UUD 45 menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Implementasi dari mandat itu seharusnya menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat riset. Nyatanya di Indonesia semuanya menjadi pusat pengajaran.

“Kalau pusat riset itu kan berarti ilmunya akan selalu ilmu yang baru. Teknologinya akan teknologi baru karena ada riset-riset baru di sana. Sedangkan kalau pengajaran ilmunya adalah ilmu usang,” jelas Indra.

Padahal, jika orientasi pada riset, berpotensi mendorong temuan dan inovasi-inovasi baru. Hal tersebut bakal berdampak pada pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan rakyat.

“Semuanya berujung pada kesejahteraan rakyat. Yang berikutnya adalah dana-dana [operasional] itu akan munculnya dari dana riset,” lanjut dia.

Dana riset bisa diberikan oleh pemerintah, maupun pihak ketiga yang mana bakal menutup 70 persen anggaran operasional kampus. Baru sisa 30 persen dana operasional kampus bisa dibebankan ke mahasiswa.

Pola ini, kata Indra, diterapkan di perguruan tinggi luar negeri yang berimbas pada biaya murah bagi mahasiswa. Karena yang menjadi fokus utama bagi perguruan tinggi bukan berjualan kepada mahasiswa.

“Tetapi justru bagaimana mendapatkan banyak dana riset. Banyak melakukan kegiatan-kegiatan riset, hasil riset yang baru diajarkan,” ucap Indra.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, turut mengamini bahwa pernyataan Muhadjir Effendy, sebatas bercanda saja. Dia menuturkan pada dasarnya substansi rapat bersama Muhadjir, eks Menteri Pendidikan Mohammad Nuh, Mohamad Nasir, meminta masukan untuk menekan biaya kuliah yang belakangan ini terlalu mahal.

"Hanya mungkin kelihatan yang tertangkap adalah mengenai menaikan biaya wisuda saya pikir tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Karena substansi yang diberikan kepada panja jauh lebih penting daripada becandanya," tutur Dede kepada reporter Tirto, Rabu (3/7/2024).

Baca juga artikel terkait BIAYA KULIAH atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto