Menuju konten utama

Dekan FK Unair Dicopot Sepihak: Alarm Bahaya Kebebasan Akademik

Pemberhentian sepihak Dekan FK Unair menyalahi prinsip kebebasan akademik. Mengundang polemik dan solidaritas dari rekan sejawat.

Dekan FK Unair Dicopot Sepihak: Alarm Bahaya Kebebasan Akademik
Dekan Fakultas Kedokteran Unair Budi Santoso. instagram/budi_bus_santoso

tirto.id - Sebuah pesan pendek beredar luas di grup WhatsApp (WAG) sejumlah organisasi profesi kesehatan. Penulis pesan itu merupakan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Budi Santoso, yang baru saja diberhentikan oleh pihak kampus, Rabu (3/7/2024).

Budi disebut-sebut diturunkan lantaran bersilang pendapat mengenai kebijakan pemerintah mendatangkan tenaga medis asing. Budi dikenal keras menolak rencana pemerintah mendatangkan dokter dan nakes dari luar negeri untuk bekerja di Indonesia.

Isi pesan yang beredar itu merupakan pengumuman sekaligus salam perpisahan Budi untuk kolega-koleganya. Dalam pesan tersebut, Dia menyatakan menerima pemberhentian tersebut dengan lapang dada dan ikhlas.

“Mohon maaf selama saya memimpin FK Unair ada salah dan khilaf. Mari terus kita perjuangkan FK Unair tercinta untuk terus maju dan berkembang,” demikian petikan pesan yang ditulis Budi, dikutip Tirto pada Rabu malam.

Lewat keterangan tertulis, pada Kamis (4/7/2024), Budi membenarkan bahwa pesan pendek yang beredar adalah tulisannya. Pesan tersebut sebetulnya dilayangkan Budi di grup WhatsApp dosen FK Unair yang berisi sekitar 300 anggota.

“Saya berkewajiban untuk berpamitan,” kata Budi.

Budi turut mengamini bahwa pemberhentiannya diduga berkaitan dengan sikapnya yang menolak kebijakan mendatangkan dokter dan nakes asing. Budi mengaku diminta menghadap Rektor Unair, Mohammad Nasih, pada Senin (1/7/2024), sebelum akhirnya resmi diberhentikan dua hari berselang.

“Karena rektor pimpinan saya dan ada perbedaan pendapat dan saya dinyatakan berbeda, ya keputusan beliau ya diterima [saja],” tutur Budi.

Sementara itu, Ketua Pusat Komunikasi dan Informasi Publik (PKIP) Unair, Martha Kurnia Kusumawardani, membenarkan bahwa Budi Santoso diberhentikan dari jabatannya sebagai Dekan FK Unair. Dia beralasan pemberhentian Budi karena kebijakan internal dan demi menguatkan kelembagaan Fakultas Kedokteran Unair.

“Dengan ini, kami humas Universitas Airlangga menyatakan bahwa pemberitaan tersebut benar adanya,” kata Martha saat dihubungi Tirto, Kamis (4/7/2024).

Pemberhentian Budi tak ayal mendapat respons keras dari sesama kolega akademika dan juga organisasi profesi kesehatan. Pemerintah dituding tersinggung karena Budi lantang menentang rencana Kementerian Kesehatan yang bakal mendatangkan dokter dan nakes dari luar negeri.

Bentuk Pembungkaman

Sejumlah pihak memandang pencopotan Budi dari jabatan Dekan FK Unair merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Pasalnya, pola yang sama juga diduga dilakukan pemerintah ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan (saat ini sudah diresmikan) mendapat gelombang protes yang masif pada tahun lalu.

Pengurus Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Iqbal Mochtar, menyatakan bahwa saat gelombang penolakan RUU Kesehatan pada tahun lalu, sejumlah dokter dan nekes dikabarkan juga mendapat intimidasi. Misalnya, dokter dan nakes yang mengikuti demonstrasi penolakan RUU Kesehatan kala itu diancam bakal dipecat.

“Penolakan yang bertentangan secara terang-terangan itu dipecat. Misalnya, [pemecatan] Prof. Zainal Muttaqin [eks dokter RS Kariadi] yang kuat mengangkat isu RUU Kesehatan,” kata Iqbal kepada reporter Tirto, Kamis (4/7/2024).

Pemerintah saat ini, kata Iqbal, cenderung memakai pendekatan kekuasaan dalam merespons kritik dari yang berseberangan. Alih-alih melihat perbedaan pendapat sebagai spektrum untuk memperkaya khazanah, pemerintah justru melihat silang pendapat sebagai sebuah ancaman.

“Pembungkaman itu adalah cara kekuasaan. Penyebab [pemecatan] Prof. Budi itu dikatakan sendiri oleh rektor bahwa karena tidak setuju dengan narasi mendatangkan dokter asing,” ujar Iqbal.

Iqbal menduga ada campur tangan pemerintah pusat dalam pemberhentian Budi Santoso sebagai dekan FK Unair. Pasalnya, pemerintah merupakan pihak yang paling berkepentingan soal pembentukan aturan mendatangkan dokter dan nakes asing ke Indonesia.

“Maka yang paling berkepentingan dalam narasi mendatangkan dokter dan nakes asing adalah Presiden dan Menkes,” tutur Iqbal.

Ditemui Tirto di Mercure Hotel Simatupang, Jakarta Selatan, Kamis (4/7), Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan, Arianti Anaya, menepis tudingan bahwa Kemenkes terlibat atau turut mengintervensi Unair dalam kasus pemecatan Budi Santoso.

Menurut perempuan yang akrab disapa Ade itu, Kemenkes tidak terlibat dalam pengangkatan atau pemberhentian jabatan dekan di fakultas kedokteran.

“Saya belum tahu, tapi kalau dekan itu ada di bawah Kemendikbud. Kita mesti lihat dulu karena dekan di bawah Kemendikbud,” ujar Ade kepada reporter Tirto.

Lebih lanjut, Ade menyampaikan bahwa pemerintah bakal mengatur regulasi dokter atau tenaga kesehatan asing yang bekerja di Indonesia melalui peraturan pemerintah (PP). Namun, dia belum dapat memastikan kapan aturan turunan tersebut akan dikeluarkan.

“Kami masih menunggu PP-nya. Intinya, kalaupun ada kebijakan pemerintah pastinya untuk kepentingan masyarakat,” terang Ade.

Sebagai informasi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memungkinkan dokter asing berpraktik di Indonesia dalam koridor dan syarat tertentu. Lewat keterangan tertulis, Senin (27/5/2024) silam, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, sempat menyampaikan bahwa keberadaan dokter asing akan memacu peningkatan kualitas dan mempercepat alih ilmu pengetahuan untuk para dokter muda Indonesia.

Mereka akan berlatih dan bekerja bersama dokter-dokter ternama dari mancanegara, mempelajari disiplin kerja mereka, budaya kerja mereka, dan interaksi terhadap pasien.

“Mari kita kurangi banyak bicara yang negatif dan kita tambah banyak bekerja yang positif demi kesehatan masyarakat Indonesia,” ujar Budi saat itu.

Dugaan Keterlibatan Pemerintah

Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Mahesa Paranadipa, menyatakan bahwa Menkes, Budi Gunadi Sadikin, masuk dalam jajaran pejabat pemerintah pusat yang menjadi wali amanat Unair. Menkes masuk sebagai unsur masyarakat bersama Menko Bidang PMK, Muhadjir Effendy.

“Maka jangan salahkan banyak pihak yang menduga ada keterlibatan Menkes di balik pemberhentian Prof. Budi,” kata Mahesa kepada reporter Tirto, Kamis (4/7/2024).

Pemberhentian Budi dari jabatan Dekan FK Unair, menurut Mahesa, menambah panjang daftar perlakuan arogan dan tidak demokratis yang dialami akademisi dan profesional kedokteran. Fenomena ini disebutnya bertambah banyak saat sebelum dan sesudah pengesahan UU Kesehatan.

“Ketidakadilan yang dapat dikategorikan pelanggaran konstitusi pastinya akan mendapat reaksi,” tutur Mahesa.

Menurut Mahesa, polemik tenaga medis dan kesehatan asing tidak hanya menjadi polemik ketenagakerjaan di bidang kesehatan saja. Di bidang pekerjaan lain pun, polemik tenaga kerja asing sudah menjadi isu kontroversial.

Mahesa menegaskan bahwa sektor kesehatan Indonesia tidak pernah antiasing. Buktinya, dunia kedokteran kita selalu berinteraksi dengan isu kedokteran global. Begitupun rencana mendatangkan dokter asing untuk alih teknologi ke Indonesia, merupakan sebuah hal yang wajar dan banyak dilakukan negara lain.

“Tapi, jika mendatangkan dokter asing atau tenaga kesehatan asing yang menyebabkan menghalangi atau mengurangi lapangan kerja bagi dokter warga negara Indonesia tentu ini menjadi isu yang wajar jika dikritisi,” jelas Mahesa.

Menurut Mahesa, semakin banyaknya lulusan dokter dalam negeri menyebabkan lapangan kerja bagi sektor ini akan semakin sedikit, khususnya di kota-kota besar. Kala dokter-dokter lulusan dalam negeri didorong untuk mengisi kebutuhan di daerah, pemerintah malah belum bisa berkomitmen untuk mensejahterakan para dokter itu secara adil dan merata.

“Padahal, profesi dokter seharusnya tidak disamakan perlakuan insentifnya dengan profesi di luar kesehatan,” kata Mahesa.

Sementara itu, pengajar dan praktisi bidang hukum kesehatan, Beni Satria, menyatakan bahwa pemecatan Budi Santoso bakal menimbulkan kekhawatiran di kalangan akademisi kesehatan. Hal tersebut jelas merupakan bentuk pembungkaman terhadap suara-suara kritis yang ingin menyuarakan kepentingan masyarakat.

Dari sisi hukum, kata Beni, pemberhentian Budi Santoso bertentangan dengan asas legalitas dan prosedurnya. Pemecatan tersebut diduga dilakukan tidak sesuai dengan aturan dan mekanisme kepegawaian yang berlaku.

Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2014 tentang Statuta Universitas Airlangga telah menetapkan sejumlah syarat terkait pemberhentian dekan dan wakil dekan. Misalnya, berakhir masa jabatan, meninggal dunia, mengundurkan diri, sakit yang menyebabkan tidak mampu bekerja permanen, sedang studi lanjut, dan/atau dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

“Saya berharap kasus ini tidak lagi terjadi dan beliau ditugaskan kembali. Setidaknya, dapat diselesaikan dengan wajar, transparan, dan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan,” ujar Beni.

Beni meminta agar jangan ada pihak yang mencoba melarang atau pun menghalangi siapa pun menjalankan aksi damai dalam menyampaikan aspirasi dan kritik. Pasalnya, kebebasan berpendapat dan berkumpul dilindungi oleh konstitusi.

“Siapapun yang mau menggunakan haknya untuk menyampaikan pendapat di muka umum, [seharusnya] tidak takut terhadap upaya penghalang-penghalangan tersebut,” terang Beni.

Aksi Solidaritas Sejawat

Pemberhentian Budi Santoso lantas memantik sejumlah aksi solidaritas dari rekan sejawatnya. Misalnya, kelompok Ksatria Airlangga yang menggelar aksi damai dengan mengusung tagar #SaveProfBUSDekanKita dan #SaveDokterIndonesia.

Dari rekaman video yang diterima Tirto, Kamis (4/7/2024), sejumlah poster dan karangan bunga dengan narasi dukungan terhadap Budi Santoso juga terpampang di depan kampus FK Unair.

Muncul pula petisi dari masyarakat dan insan akademis Indonesia yang menolak pemberhentian Budi Santoso sebagai Dekan FK Unair. Beredar juga imbauan dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mengajak seluruh Ketua IDI Wilayah serta seluruh Ketua IDI Cabang untuk memakai pita hitam selama tujuh hari sebagai bentuk solidaritas terhadap Budi Santoso.

Sementara itu, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Serikat Pekerja Kampus (SPK) mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam pemberhentian Budi Santoso. Mereka menyatakan bahwa pencopotan tersebut merupakan bukti nyata bahwa otonomi kampus PTN-BH tidak berjalan dengan baik.

Pasalnya, pimpinan universitas nyatanya masih bisa melakukan pemberhentian secara sepihak dengan berdasar like and dislike. PermenPANRB Nomor 1 Tahun 2023 dinilai telah membawa dampak yang buruk dalam penerapannya.

KIKA dan SPK menilai pemecatan Budi Santoso secara sepihak merupakan tindakan kesewenang-wenangan, maladministrasi, dan yang lebih mendasar, tidak menjaga prinsip kebebasan akademik serta kampus sebagai rumah ilmuwan.

“[Ini] bagian dari pemberangusan kebebasan akademik dan jelas merupakan bagian dari pembungkaman,” tulis KIKA dan SPK dalam pernyataan tertulis.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN AKADEMIK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi