Menuju konten utama

Ironi BUMN: Jadi Penggerak Ekonomi Sekaligus Beban Negara

Saat ini adalah momentum tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi seberapa besar kontribusi BUMN pada perekonomian nasional.

Ironi BUMN: Jadi Penggerak Ekonomi Sekaligus Beban Negara
Logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terpasang di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (2/7/2020). ANATAR FOTO/Aprillio Akbar/nz

tirto.id - Sudah sewajarnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberikan andil besar bagi republik ini. Sebagai entitas bisnis yang sebagian besar modalnya dimiliki oleh pemerintah melalui penyertaan secara langsung dari kekayaan negara dipisahkan, BUMN wajib berkontribusi besar ke perekonomian nasional dan kebutuhan hajat hidup masyarakat. Ini tentunya sejalan dengan tujuan daripada Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Sesuai mandatnya di dalam pasal pasal 2 UU 19 Tahun 2003, tujuan dari pendirian BUMN adalah memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional dan penerimaan negara pada khususnya; memberikan manfaat untuk kebutuhan hajat hidup masyarakat; perintis kegiatan usaha yang belum dilakukan oleh swasta; menggendong koperasi dan UMKM; serta mencari atau mengejar keuntungan.

“Jadi, mencari profit itu hanya sebagian kecil. Sebagian besar untuk mendukung perekonomian nasional,” ujar Pengamat BUMN dari Datanesia Institute, Herry Gunawan, kepada Tirto, Rabu (3/7/2024).

Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute, Achmad Yunus, mengatakan BUMN sejatinya didirikan sebagai amanah dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 untuk memastikan negara menguasai sektor produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. BUMN juga diharapkan menjadi penopang fiskal sekaligus menyumbangkan APBN melalui setoran dividen.

Jika menelisik laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada tahun anggaran 2023 BUMN setoran dividen untuk negara sebesar Rp82,1 triliun. Jumlahnya bertambah sekitar Rp41,5 triliun atau tumbuh 102,13 persen dibanding realisasi tahun anggaran sebelumnya dan mencapai level tertingginya dalam 10 tahun terakhir. Tahun ini pun setoran dividen ditargetkan mencapai Rp85 triliun.

“Maka, ketika BUMN-BUMN di luar sektor-sektor yang penting dan menyangkut hidup orang banyak tidak memberikan kontribusi pada APBN (kinerja keuangan buruk) untuk apa dipertahankan?,” ujar Yunus mempertanyakan kepada Tirto, Rabu (3/7/2024).

Saat ini, kata Yunus, adalah momentum tepat bagi pemerintah untuk evaluasi seberapa besar kontribusi BUMN pada perekonomian nasional. Karena faktanya memang tidak semua BUMN ada saat ini dalam kondisi sehat dan menguntungkan.

Lihat saja pada akhir tahun lalu, Kementerian BUMN setidaknya sudah membubarkan tujuh perusahaan pelat merah lantaran memiliki kinerja yang buruk atau financial distress dan highly over-leverage. Sementara untuk tahun ini, terdapat 21 BUMN dan satu anak usaha BUMN yang berstatus titip kelola dan sedang mendapatkan penanganan oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) atau PPA. Dari daftar BUMN yang berstatus titip kelola tersebut, terdapat empat perusahaan memiliki peluang kembali bangkit dan enam perusahaan kemungkinan akan dihentikan.

Kendati ada beberapa yang tidak sehat dan terancam dibubarkan, namun menurut Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, BUMN over all masih punya kontribusi positif buat negara. Ini bisa dilihat dari laporan konsolidasi keuangan 2022 dan 2023, di mana angka total revenue dan total profit masih bertumbuh positif.

“Demikian juga jumlah setoran pajak, belanja capex dan serapan tenaga kerja yang signifikan,” ujar Toto kepada Tirto, Rabu (3/7/2024).

BUMN Beban Negara?

Anggota Komisi VI DPR RI, Luluk Nur Hamidah, mengatakan persoalan BUMN saat ini memang harus dilihat secara komprehensif. Sebab, banyak dilema terkait dengan BUMN yang terus menerus merugi. Pada akhirnya dipaksakan dan dibubarkan karena hanya akan menjadi beban negara.

“[Banyak] BUMN yang terus menerus merugi ini akhirnya tentu jadi beban,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (3/7/2024).

Menurut Luluk, beberapa BUMN-BUMN merugi dan sudah dibubarkan memang ada kecenderungan mereka offside dari core bisnis awalnya. Banyak dari mereka tergoda bikin anak, cucu, bahkan cicit perusahaan. Maka ketika terjadi masalah, dampak rambatannya kemana-mana.

“Tapi mesti dilihat apakah ini karena BUMN-nya benar-benar sudah tidak punya kesanggupan untuk survive, karena tidak cocok dengan perkembangan zaman misalnya, atau karena manajemen yang salah, lemahnya pengawasan, dan perilaku rente yang menggurita,” jelas dia.

Masalah lainnya, kata Luluk, selama ini pemerintah juga terlalu ‘baik hati’ memberikan BUMN suntikan PMN yang sebenarnya itu juga menjadi beban bagi negara. Pada tahun ini saja, DPR RI menyetujui pemberian PMN kepada 17 BUMN sebesar Rp27,49 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Rincian PMN tunai sebesar Rp12,99 triliun dan non tunai Rp14,50 triliun.

“Harusnya pengajuan PMN hanya bisa diterima jika ada alat ukur yang jelas jika PMN tidak akan disalahgunakan, dan ada peta jalan yang jelas, clear dan bertanggung jawab. Ngapain mengajukan PMN kalau misal kita yakin hal tersebut tidak akan menyelamatkan,” kata dia.

Menurut Luluk, jika pilihan opsinya adalah peleburan, maka lebih baik itu dilakukan kepada BUMN-BUMN yang tidak sehat. Ketimbang, kata dia, harus mengajukan PMN tapi ujung-ujungnya tetap merugi dan tidak memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional.

“Jangan terlalu lunak pada BUMN yang banyak masalah. Itu saja,” pesan dia.

Dalam hal penyertaan modal, Toto Pranoto sendiri melihat memang masih terdapat BUMN yang rugi meski sudah terima PMN. Faktor utama penyebabnya adalah ketidakmampuan BUMN menyesuaikan diri dengan model persaingan yang lebih ketat, kelemahan dalam pengawasan BUMN, atau juga komitmen AKHLAK yang masih belum optimal.

“Beberapa case BUMN rugi atau sudah terima PMN tapi masih rugi memang terjadi,” ujar dia.

Herry Gunawan turut menambahkan, PMN dalam bahasa pembukuan negara disebut sebagai investasi pemerintah. Artinya kekayaan negara yang diinvestasikan di BUMN. Tujuannya, antara lain untuk menggerakkan ekonomi.

Tapi yang jadi soal, kata Herry, justru PMN untuk mendukung BUMN yang mengalami kerugian. Dengan kata lain, PMN ditujukan untuk menghidupi BUMN yang sakit. “Terkait dengan hal ini, menurut saya, tentu sangat keliru,” ujar dia.

Seharusnya, kata Herry, PMN itu melekat dengan program yang ingin didorong oleh pemerintah, kemudian menggunakan ‘kendaraan’ BUMN yang ditugaskan. Maka pantas saja Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sempat kecewa, karena lebih dari 60 persen BUMN yang disuntik PMN berpotensi bangkrut.

“Kementerian BUMN harus bertanggung jawab terhadap masalah ini, karena mereka yang mengajukan PMN. Sebab mereka pada akhirnya menjadi beban negara,” pungkasnya.

Tirto sudah menghubungi Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, untuk mendapatkan keterangan secara utuh perihal kondisi BUMN saat ini. Termasuk juga perihal menjadi beban bagi negara. Namun, hingga artikel ini dirilis, Arya Sinulingga belum merespons pertanyaan kami.

Lebih Baik BUMN Sedikit

Lebih lanjut, Toto Pranoto, justru mendorong pemerintah untuk menutup atau likuidasi BUMN yang secara kesehatan finansial sudah buruk dan prospek bisnisnya sudah redup (terlalu banyak kompetitor di bisnisnya). Artinya ke depan Indonesia akan punya lebih sedikit BUMN, tapi dengan tingkat kesehatan dan daya saing lebih kuat.

Menurut Toto, langkah ini juga sejalan dengan peta jalan yang dibuat oleh Menteri BUMN, Erick Thohir. Di mana, untuk periode 2024–2034 Erick Thohir menginginkan rencana konsolidasi perusahaan pelat merah, termasuk memangkas perusahaan jumlah BUMN hanya menjadi 30 saja.

“Lebih [baik] sedikit BUMN tapi dengan tingkat kesehatan dan daya saing lebih kuat,” pungkasnya.

Kementerian Keuangan bersama Kementerian BUMN sebelumnya memang berencana mengelompokkan perusahaan-perusahaan BUMN menjadi empat kuadran dan didasarkan pada kondisi kesehatannya. Kuadran 2 akan dihuni oleh BUMN-BUMN yang dapat menciptakan nilai strategis sekaligus penciptaan kesejahteraan, kuadran 1 adalah BUMN yang memiliki nilai strategis, kuadran 4 adalah BUMN yang dapat menciptakan surplus, dan kuadran 3 BUMN non-core yang memiliki kinerja minim.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, menjelaskan untuk BUMN di kuadran 2 yang memiliki profitabilitas dan kemampuan tinggi menjadi agen pembangunan, diharapkan dalam peta jalan BUMN ini bisa tetap dimiliki pemerintah. Meski begitu, bisa dilakukan privatisasi agar lebih maksimal dalam berkompetisi dengan perusahaan swasta.

Selanjutnya, peranan pemerintah akan menjadi lebih dominan kepada BUMN-BUMN di kuadran 2. Sebab, BUMN di kuadran ini menjadi alat bagi pemerintah untuk melaksanakan penugasan, seperti untuk menyalurkan subsidi.

“Untuk BUMN yang mengalami performance tidak bagus karena mandat pembangunan, tapi juga bisa saja karena kompetensi profesionalisme atau tata kelola dan integritas yang compromise, ini perlu dilakukan penyehatan. Maka kita juga melakukan restrukturisasi dan juga koreksi,” ujar dia dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Senin (1/7/2024).

Untuk BUMN yang dapat berkompetisi secara sehat di kuadran 4, mayoritas saham tidak harus dimiliki oleh pemerintah. Dalam hal ini, langkah-langkah seperti privatisasi, holdingisasi, dan penggabungan juga dapat dilakukan untuk memposisikan BUMN-BUMN ini agar lebih kuat menarik investor atau menanamkan investasi.

“Sedangkan yang non-core, ini teoritis seharusnya pemerintah tidak masuk, tidak memiliki. Karena ini sebetulnya dari sisi mandat pembangunannya kecil sekali dan performance-nya tidak bagus. Mungkin juga karena mismanagement yang sudah lama dan sebetulnya sektor tersebut tidak lagi menjadi sektor yang strategis atau penting,” ucap dia.

Untuk BUMN ini, lanjut Sri Mulyani, BUMN tidak harus dimiliki pemerintah. Sebaliknya, untuk menghindari kerugian negara yang semakin besar, BUMN ini dapat ditutup dan likuidasi.

“Kami akan menggunakan tools (pengelompokan) ini di dalam berkomunikasi dengan Kementerian BUMN untuk terus menunjukkan dan meningkatkan konsistensi di dalam pengelolaan BUMN-BUMN di Indonesia. Jumlahnya 76 BUMN, sebagian karena sudah terjadi holdingisasi,” kata dia.

Baca juga artikel terkait BUMN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang