tirto.id - Pemilu telah usai, namun Zita Anjani masih berkeliling mengunjungi sejumlah wilayah di Jakarta. Walaupun dirinya sudah tercatat sebagai caleg DPRD Jakarta terpilih asal Dapil Jakarta 5. Usut punya usut, Zita berkehendak maju dalam Pemilihan Gubernur Jakarta pada November 2024. Jika Zita benar-benar bisa masuk dalam surat suara, maka dia menjadi perempuan kedua setelah Sylviana Murni yang maju dalam Pilgub Jakarta.
Aktivitas tersebut sebagai bentuk niatan Zita maju dalam Pilgub Jakarta, terkonfirmasi oleh Bendahara Umum Perempuan Amanat Nasional (PUAN), Mira Dallima Andini, yang sehari-hari mendampingi Zita di lapangan. Di antara target masyarakat yang ditemui Zita dalam proses perjalanannya menuju Pilgub Jakarta adalah pengurus dan juga wali murid siswa/siswi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di sejumlah wilayah di Jakarta. Mira menjelaskan, Zita dikenal dekat dengan lingkungan PAUD terutama saat menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Jakarta.
“Untuk tim relawan berjalan saja, mengalir dan simpatisan juga sudah banyak. Mbak Zita, kan, sudah banyak penggemarnya terutama Bunda PAUD," kata Mira saat dihubungi Tirto, Rabu (12/6/2024).
Meski berupaya meraih suara dari masyarakat Jakarta dengan berkeliling di banyak wilayah, Mira menyebut keputusan Zita maju dalam pilgub ada di tangan Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan. Zita menunggu arahan dari ketua umum yang juga ayahnya tersebut. Hal itu mengingat PAN tak bisa maju sendiri dalam Pilgub Jakarta, karena hanya memiliki 10 kursi di DPRD Jakarta.
“Sambil berjalan saja, dukungan mengalir, dan Mbak Zita tetap menunggu arahan ketua umum saja bagaimana baiknya,” kata Mira. Tirto sudah beberapa kali menghubungi Zita Anjani melalui nomor pribadinya, namun belum ada respons hingga artikel ini tayang.
Selain Zita yang turun sendiri ke lapangan, PAN mengerahkan kadernya yang memiliki latar belakang pesohor layar kaca untuk membantu dalam proses mendongkrak elektabilitas. Ketua Dewan Pakar PAN, Drajad H. Wibowo, menyebut nama seperti Eko Patrio, Pasha Ungu hingga Uya Kuya.
“Semua kader PAN akan membantu, baik selebritas ataupun bukan,” kata Drajad dalam keterangannya.
Di sisi lain, Eko Patrio yang juga menjabat sebagai Ketua DPW PAN Jakarta menambahkan, pihaknya berambisi untuk menjodohkan Zita dengan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep yang juga Ketua Umum PSI di Pilgub Jakarta. Meski berharap dan telah berusaha, di sisa waktu menuju hari pendaftaran Pilgub Jakarta, Eko menyerahkan sepenuhnya kepada Zulkifli Hasan terkait keputusan akhir.
“Saya sih berharap DPP mengaminkan apa yang diinginkan oleh DPW DKI Jakarta seperti yang disebutkan tadi, bisa juga dengan Kaesang, bisa juga dengan Rano Karno, tapi kita dari internal Mbak Zita Anjani,” kata EKo Patrio di Kantor DPP PAN.
Sebelum Kaesang yang masuk bursa politik Pilgub Jakarta, nama Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie, sempat mencuat untuk diusung. Saat dihubungi Tirto, Grace mengaku terbuka dengan segala pilihan dalam proses Pilgub Jakarta. Namun dia berharap tetap ada kader politik perempuan yang berani dan mendapat kendaraan partai maju di Pilgub Jakarta.
“Harapannya bisa membuat kebijakan yang lebih pro perempuan dan anak-anak,” kata Grace.
Para Perempuan yang Mundur Perlahan dari Arena Pilgub Jakarta
Sejumlah nama tokoh politik perempuan lintas partai sempat mencuat untuk diusung dalam Pilgub Jakarta. Namun, berjalannya waktu mereka lantas pudar seiring dinamika politik menuju pendaftaran kandidat cagub dan cawagub ke KPU Jakarta. Seperti mantan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, terhapus namanya dari daftar usulan bakal cagub DPD PDIP Jakarta. Padahal, perempuan yang akrab disapa Risma itu masuk daftar delapan nama yang dipertimbangkan PDIP untuk didorong maju di Pilkada Jakarta.
Hal itu dikarenakan PDIP Jakarta lebih memilih Anies Baswedan, sosok rival mereka di Pilgub Jakarta 2017. Bersama Anies ada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Prasetyo Edi Marsudi hingga Andika Perkasa.
“Salah satunya yang terjaring itu nama Anies Baswedan. Ada Pak Ahok, ada Pak Prasetyo Edi Marsudi, ada Pak Andika Perkasa,” kata Sekretaris DPD PDIP Jakarta, Pantas Nainggolan, Senin (3/6/2024).
Jika Risma masih berambisi maju dalam Pilgub Jakarta, setidaknya dia perlu berdoa agar Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, untuk mau mengubah aspirasi itu kepadanya di menit-menit akhir jelang pendaftaran Pilgub Jakarta yang akan ditutup pada 29 Agustus 2024.
Nasib serupa juga dialami Ida Fauziyah. Sosok Menteri Ketenagakerjaan tersebut terhapus dalam daftar pencalonan yang diusulkan oleh DPW PKB Jakarta. Ketua DPW PKB Jakarta, Hasbiallah Ilyas, mengaku tak ada masalah dengan kandidasi perempuan sebagai cagub maupun cawagub. Dia beralasan konstituennya di akar rumput lebih dominan untuk meminta Anies Baswedan agar didukung dalam pilgub.
“Jakarta ini butuh calon petahana. Pak Anies ini kan petahana," kata Hasbiallah.
Selain Ida dan Risma yang sempat diajukan untuk maju dalam kontestasi Pilgub Jakarta, ada nama Okky Asokawati dari Nasdem dan Rahayu Saraswati dari Gerindra yang harus ikut tersisih. Okky sempat disebut oleh Sekretaris Jenderal Partai Nasdem, Hermawi Taslim, namun di tengah proses perjalanan, Okky mundur hingga tersisa nama Anies Baswedan, Ahmad Sahroni, dan Wibi Andrino.
“Saya rasa Kakak Sahroni lebih tepat ya,” kata Okky dalam pesan singkatnya.
Sedangkan Rahayu sendiri mengungkapkan bahwa dirinya menyerahkan sepenuhnya keputusan pencalonan sebagai kepala daerah di Jakarta kepada partainya. Nama Rahayu di internal Gerindra tidak sendiri untuk dicalonkan sebagai bakal calon. Ada Ahmad Riza Patria, Adnan Taufiq, dan Agung Subyakto.
“Kalau misalnya ditanya apakah saya ada keinginan atau tidak, saya secara publik sudah selalu menyampaikan bahwa tidak ada ambisi politik, tetapi sebagai kader harus siap ditugaskan dimana pun,” kata Rahayu.
Pudarnya harapan perempuan untuk menjadi gubernur Jakarta, selaras dengan hasil survei Katadata Insight Center yang dilakukan pada 3-9 Mei 2024, tercatat tak ada nama politikus perempuan dalam daftar tersebut. Hanya Tri Rismaharini di urutan keenam dengan elektabilitas 3 persen. Di atas Risma ada Basuki Tjahaja Purnama, Anies Rasyid Baswedan, Ridwan Kamil, Ahmad Sahroni dan Sandiaga Salahuddin Uno.
Pilgub Rasa Pilpres, Persulit Perempuan Maju Pencalonan
Di Jakarta, perempuan sulit menjadi gubernur. Kesulitan sudah terjadi sejak proses penjaringan bakal calon. Saat proses pertarungan pilgub belum dimulai. Pemerintah melalui KPU tidak bisa membantu perempuan agar ada jalan afirmasi sehingga masyarakat maupun partai politik selaku pihak yang bisa mengusung calon gubernur dan wakilnya mau melirik perempuan.
Padahal, kepemimpinan perempuan di Jakarta menjadi hal yang diperlukan sebagai bentuk penyegaran birokrasi setelah puluhan tahun selalu dipimpin laki-laki dan memiliki pengalaman kelam terkait politik identitas di 2017. Riset Cakra Wikara Indonesia menyebut, kepemimpinan perempuan akan lekat dengan pemenuhan kebutuhan perempuan dan anak serta sejumlah kelompok marginal yang jarang tersentuh dalam setiap pembentukan kebijakan. Dalam riset yang sama, kepemimpinan perempuan akan berorientasi pada tata kelola dan pembenahan birokrasi.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiatri, menyampaikan ada stigma publik bahwa Pilgub Jakarta menjadi barometer politik nasional. Bahkan ada yang mengistilahkan dengan 'Pilgub rasa Pilpres'. Istilah-istilah tersebut yang membuat perempuan makin terjauhkan dalam proses kandidasi untuk menuju kursi gubernur Jakarta.
Aisah juga menjelaskan dibanding dengan kota/kabupaten dan provinsi lain yang lebih terbuka dengan perempuan dalam proses pencalonan kepala daerah. Jakarta lebih sulit menjadi provinsi inklusif secara gender dalam regenerasi politik kepala daerahnya. Jakarta masih dikenal sebagai batu loncatan menuju kursi presiden, walaupun secara undang-undang sudah tak lagi menjadi ibu kota. Namun Jakarta masih menjadi pusat bisnis dan wajah Indonesia di mata dunia.
“Kita tahu DKI Jakarta kan memang menjadi titik pusat politik begitu ya. Bahkan ada asumsi bahwa Jakarta adalah loncatan politik sebelum mengikuti pilpres di periode selanjutnya. Jadinya bobotnya berat banget begitu," kata Aisah.
Dia juga menyalahkan partai politik yang seharusnya menjadi kawah candradimuka dan sekolah kaderisasi politik tak mampu menyiapkan kader perempuannya untuk maju di Jakarta. Padahal, secara kelembagaan pengurus partai di Jakarta dinilai lebih maju daripada daerah lainnya. Secara sumber daya manusia dengan keadaan edukasi Jakarta yang lebih maju juga dinilai lebih siap apabila ditunjuk untuk maju dalam kontestasi pilgub.
"Jadi seharusnya partai punya banyak perempuan-perempuan yang menjadi kader potensial untuk dicalonkan, tapi ternyata tidak. Artinya partai gagal melakukan fungsi rekrutmen dan kaderisasi untuk level pilkada,” kata Aisah.
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Kurniawati Hastuti Dewi, menambahkan pengurus pusat partai politik terlalu banyak ikut campur dalam pengambilan kewenangan calon kepala daerah membuat perempuan sulit masuk dalam proses penjaringan. Padahal, menurutnya proses penjaringan kepala daerah di akar rumput banyak memasukkan kandidat perempuan untuk diusung.
Akibatnya, karena tidak ada afirmasi politik sebagaimana dalam proses pemilihan legislatif, kandidat perempuan selalu gagal saat berupaya memperoleh restu dari pengurus pusat partai. Padahal, dalam proses memperoleh restu atau surat rekomendasi agar bisa maju Pilkada, perlu ada dorongan lobi dan daya tawar dalam proses negosiasi politik yang menurut Hastuti masih belum banyak dikuasai oleh perempuan.
“Di sinilah menurut kami salah satu yang menjadi titik krusial, karena kan memang kalau dalam kandidasi calon kepala daerah enggak ada affirmative action mulai dari pencalonannya, berbeda dengan di legislatif," kata Hastuti.
Oleh karenanya, Hastuti menilai dalam proses pencalonan kepala daerah di sejumlah wilayah bilamana yang diusung adalah perempuan dari kalangan penguasa atau yang memiliki jaringan terhadap struktur partai. Bukan disebabkan oleh meritokrasi atau penilaian terhadap prestasi maupun riwayat kinerja dari perempuan sang calon kepala daerah.
“Mungkin ada baiknya misalnya partai politik itu membuat sebuah ketentuan yang lebih pro perempuan begitu. Misalnya kayak di AD/ART-nya atau aturan partai politik internal itu kayak ya memang membuat endorsement bagi perempuan potensial untuk maju sebagai kader calon kepala daerah gitu,” kata Hastuti.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menyebut masih ada masyarakat di Jakarta yang mempersepsikan perempuan sebagai kelompok kelas dua bila menjadi pemimpin. Walaupun secara penghasilan warga Jakarta lebih tinggi dari provinsi lainnya, namun stigma terhadap kepemimpinan perempuan masih lekat tak terlepaskan. Hal itu yang menyebabkan kursi gubernur dan wakilnya sulit diisi oleh perempuan.
“Tapi pandangan terhadap perempuan ya tidak berubah, hampir sama dengan masyarakat-masyarakat tradisional yang menganggap perempuan itu warga negara kelas kedua yang dinilai minim kemampuannya dalam soal sosial dan politik,” kata Adi.
Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta, Astri Megatari, mengungkapkan pihaknya tak bisa berbuat banyak untuk mengintervensi agar partai politik mengusung perempuan di Pilgub Jakarta. Dia menyerahkan kewenangan hal itu kepada KPU RI karena memiliki wewenang dalam pembentukan regulasi.
“Kalau untuk regulasi kewenangan di KPU Pusat mas,” kata Astri.
Komisioner KPU RI Divisi Teknis dan Logistik, Idham Holik, menegaskan, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota tidak mengatur mengenai afirmasi politik bagi pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Meski demikian, Idham mengungkapkan pihaknya selaku penyelenggara pemilu memiliki tanggung jawab moral untuk mengingatkan agar partai politik adil secara gender saat mencalonkan kepala daerah. Idham kerap menerima saran dan kritik mengenai ketiadaan calon gubernur di Jakarta dari kelompok aktivis maupun masyarakat sipil dengan narasi yang sama seperti yang disampaikan oleh Aisah dan Adi. Namun, Idham menegaskan bahwa pihaknya hanya bisa mengingatkan tanpa paksaan.
“Dari sisi moral responsibility, KPU akan menyampaikan ini kepada para peserta, kepada partai politik yang memenuhi persyaratan dapat mengusung bakal pasangan calon. Jadi secara tanggung jawab moral ini akan disampaikan sebagai bentuk keadilan politik," kata Idham.
Selain dari sisi regulasi, upaya untuk membukakan jalan bagi perempuan menuju kursi kepemimpinan di Jakarta telah dilakukan Sylviana Murni. Mantan calon wakil gubernur di Pilgub Jakarta 2017 ini sempat mendorong beberapa aparatur sipil negara perempuan di lingkungan Pemerintah Daerah Jakarta untuk maju dalam kontestasi politik. Terutama bagi mereka yang telah berpangkat eselon. Menurut Sylvi mereka para pemimpin kedinasan layak mengambil peruntungan di kursi gubernur Jakarta dengan segala pengalaman yang telah dimiliki.
“Di sinilah kita harus fight. Ya artinya begini, saya sudah punya pengalaman 31 tahun di Pemprov DKI Jakarta. Saya sudah mengikuti 7 gubernur, artinya kesempatan itu memang terbuka luas,” kata Sylvi yang juga anggota DPD RI.
Sylvi tak ingin terlalu menyalahkan dengan minimnya afirmasi politik dari pemerintah dan ketidakberpihakan partai politik kepada perempuan untuk maju dalam Pilgub Jakarta. Dia lebih mendorong kepada perempuan-perempuan di wilayah tersebut untuk saling mendukung satu sama lain.
Dikutip dari data KPU RI, pemilih perempuan di Jakarta dalam Pemilu 2024 sebanyak 4.172.296 orang dan lebih banyak dibanding pemilih laki yang berjumlah 4.080.601 pemilih. Keseluruhan jumlah pemilih tersebut, termasuk juga 61.747 pemilih disabilitas, akan menggunakan hak pilihnya di Jakarta.
“Makanya ada perempuan dukung perempuan. Supaya apa? Supaya kita jangan protes terus,” kata dia.
Apakah Masyarakat Jakarta Menolak Perempuan jadi Pemimpin?
Pada 2017, saat mendampingi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam Pilgub Jakarta, Sylviana Murni selalu mengidentikkan diri sebagai tokoh asli Betawi dalam setiap kampanyenya. Saat itu dia rutin menemui tokoh-tokoh dari Badan Musyawarah (Bamus) Betawi. Sayangnya, perolehan AHY dan Sylvi harus kandas dalam putaran pertama dengan 936.609 suara atau 17,05 persen.
Menurut Ketua Bamus Betawi, Riano Ahmad, majunya Sylvi di Pilgub Jakarta telah menunjukkan bahwa masyarakat Betawi menerima kehadiran kelompok perempuan untuk menjadi pemimpin. Walaupun dalam prosesnya gagal di tengah jalan.
“Mungkin kita tahu kontestasi di 2017 kemarin kita lihat ada salah satu cagub yang berpasangan dengan calon wakil gubernurnya perempuan. Cuma, lagi-lagi belum beruntung," kata Riano.
Dia membantah jika dalam masyarakat Betawi terdapat aturan bahwa perempuan dilarang menjadi pemimpin. Riano menegaskan dalam adat dan kultur Betawi, laki-laki dan perempuan diperlakukan hak dan kewajibannya secara sama.
“Karena itu sudah harga mati bahwa mau laki-laki atau wanita itu mempunyai hak yang sama,” kata dia.
Menurut dia, politik di Jakarta telah inklusif dan terbuka secara gender. Dia juga membandingkan politik Jakarta dan sejumlah negara parlementer di Eropa yang mempersilakan politisi perempuannya untuk bersuara seperti laki-laki tanpa ada batasan.
Akan tetapi, dia enggan dibandingkan dengan provinsi lain seperti Jawa Timur yang pernah dipimpin perempuan. Menurut dia, sosok mantan gubernur Khofifah Indar Parawansa secara posisi bukan lagi skala daerah namun nasional.
“Kalau Ibu Khofifah itu kan notabene adalah tokoh nasional turun ke provinsi," kata Riano.
Kelompok masyarakat lain yang memiliki pengaruh dalam politik Jakarta adalah Presidium Alumni (PA) 212. Karena kelompok ini mayoritas diisi oleh bekas pentolan Front Pembela Islam yang dekat dengan Anies Baswedan dan mendukung gerakan memenjarakan Ahok karena kasus penistaan agama.
PA 212 melalui Sekretaris Majelis Syuro, Slamet Maarif, mengungkapkan bahwa kepemimpinan perempuan di Jakarta hanya dapat terjadi dalam keadaan tertentu. Bahkan dia menyebut peluang tersebut sangat kecil. Bahkan, dalam organisasinya dan sejumlah kelompok masyarakat di Jakarta, gubernur seharusnya dipimpin seorang laki-laki.
“Masih yakin laki-laki lebih pas pimpin Jakarta dan sesuai saran guru-guru orang Jakarta," kata Slamet.
Jakarta Pernah Punya Pemimpin Perempuan?
Ternyata, wilayah Batavia saat belum menjadi Jakarta pernah memiliki pemimpin perempuan. Hal itu disampaikan oleh Ketua Komunitas Sejarah Kecapi Batara, Diyah Wara Restiyati. Dia menyebut ada tokoh pemimpin perempuan bernama Nyonya Gan Jie yang meninggalkan tradisi penyajian delapan teko di pinggir jalan untuk pejalan kaki yang saat ini diteruskan oleh Pantjoran Tea House.
“Malah ada perempuan yang pernah jadi pemimpin Komunitas Tionghoa di Jakarta, menjabat sebagai kapiten karena menggantikan jabatan suaminya yang meninggal,” kata Diyah.
Menurut dia, apabila dibandingkan dengan wilayah lain di luar Jakarta, masyarakat Betawi belum pernah memiliki pemimpin perempuan dalam sejarahnya. Menurut dia, wilayah lain seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur masih memiliki unsur sejarah peninggalan masa sebelum Republik Indonesia berdiri sehingga masih terjaga tradisi adanya kepemimpinan perempuan di era kerajaan sebelumnya.
"Sejarah mencatat ada pemimpin perempuan sebelum adanya wilayah-wilayah tersebut. Jadi bukan hal yang aneh apabila perempuan memimpin," kata Diyah.
Sedangkan Jakarta sendiri yang lekat dengan etnis Betawi masih tergolong pendek secara usia sejarah, sehingga tak memiliki preferensi yang banyak terkait politik masa lalu dibanding daerah lainnya. Di lain pihak, secara historis bicara kepemimpinan dalam etnis Betawi, maka laki-laki lah yang wajib atau harus menjadi pemimpin.
“Kultur yang maskulin ini terus dipelihara dan semakin menguat ketika rasa kecintaan dan kebanggaan menjadi satu bagian dari etnis Betawi yang saya harus akui maskulin," kata Diyah.
Catatan: Artikel ini adalah bagian dari kolaborasi antara Tirto, Konde, IDN Times, Kompas.com, dan Harian Fajar.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz