tirto.id - Rudi Fitriyanto khawatir jika kabar kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan nonsubsidi akan benar-benar terjadi pada Juli nanti. Sebab, pekerjaan sebagai terapis bekam dan akupuntur yang digelutinya membuat dia harus sering berpindah untuk menyambangi rumah para pelanggannya.
Artinya, jika ada kenaikan harga BBM, maka ongkos Pertalite untuk motor bebeknya akan semakin besar. Di sisi lain, dengan membuka praktik di kota kecil seperti Purworejo, membuat dia kesulitan untuk menyesuaikan tarif terapi dengan kenaikan harga bensin jika benar dilakukan.
“Tarif sekali terapi Rp50 ribu-Rp100 ribu. Buat bensin saja sekali beli Rp30 ribu buat dua harian karena tempatnya (pelanggan) jauh-jauh, terus jalannya naik-turun. Kalau naik (harga BBM), ya tambah sedikit pendapatannya. Enggak cucuk (sebanding),” kata laki-laki 59 tahun itu, saat dihubungi Tirto, Rabu (26/6/2024).
Itu karena meski dalam sehari dirinya bisa mendapat 3-4 pelanggan, tapi dia masih harus menafkahi istri dan tiga anaknya yang berada di rumah. Belum lagi, saat ini harga berbagai kebutuhan pangan pokok juga semakin melonjak.
“Jadi tambah kerasa kalau harga bensin ikut naik, apalagi kalau yang naik yang subsidi,” imbuhnya.
Senada dengan Rudi, Susilo Widi atau yang karib disapa Adi juga khawatir akan harga BBM di tengah pelemahan rupiah yang masih terus terjadi dan kini disusul dengan terus menggeliatnya harga minyak mentah dunia. Pasalnya, ia setiap hari mengendarai kendaraan pribadi untuk mencapai kantornya yang berada di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan itu. Adi biasa memakai BBM jenis Pertamax.
“Kalau (harga BBM) sampai naik, ya mending naik KRL. Kebayang sih kayak apa padatnya, tapi daripada beli bensin mahal-mahal, mending buat jajan anak,” kata warga Citayam itu, kepada Tirto, Kamis (27/6/2024).
Kekhawatiran Rudi dan Adi itu bukan tanpa sebab. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sejak awal tahun hingga akhir Mei 2024, rupiah telah mengalami pelemahan hingga 6,58 persen (year to date/ytd) ke posisi Rp16.431 per dolar Amerika Serikat (AS). Sementara pada perdagangan Kamis (27/6/2024), rupiah dibuka di level Rp16.421 per dolar AS, turun 8 poin atau 0,05 persen dibanding penutupan perdagangan kemarin yang sebesar Rp16.413 per dolar AS.
Di sisi lain, harga minyak mentah masih terus mengalami volatilitas dengan tren cenderung naik. Mengutip CNBC, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS untuk kontrak Agustus berada di posisi 80,90 dolar AS per barel, naik 7 sen atau 0,09 persen atau 12,9 persen sejak awal tahun. Kemudian, harga minyak Brent untuk kontrak Agustus ada di level 85,25 dolar AS per barel, menguat 24 sen atau 0,28 persen atau melonjak 10,66 persen sejak awal 2024.
Melihat kondisi saat ini, yaitu tren pelemahan rupiah terus terjadi dan harga minyak mentah dunia naik, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menilai, harga BBM memang sudah seharusnya mengalami penyesuaian. Apalagi, dengan kebutuhan konsumsi sebesar 1,6 juta barel per hari, Indonesia hanya mampu memenuhi realisasi produksi siap jual (lifting) sekitar 500-600 ribu barel per hari saja. Artinya, sisanya yang mencapai 1,1 juta barel per hari harus dipenuhi oleh pasokan impor.
Sebagai Informasi, pada triwulan I 2024, capaian lifting minyak bumi hanya 567 ribu barel per hari. Capaian itu meleset dari target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 yang sebesar 635 ribu barel per hari.
“Kalau impor kan pakai harga internasional, USD biasanya. Di tambah lagi, harga di market kan kita enggak bisa kontrol. Artinya, beli bahan bakunya sudah naik. Sehingga ujungnya jualan produknya pasti harus naik,” jelas Komaidi saat dihubungi Tirto, Kamis (27/6/2024).
Di Indonesia, kebijakan soal harga BBM subsidi memang diatur pemerintah, sehingga pemerintah yang berhak memutuskan kenaikan harga bahan bakar seperti solar subsidi dan BBM jenis Pertalite. Namun, untuk BBM non-subsidi, khususnya bagi produsen BBM non-BUMN (Badan Usaha Milik Negara) kebijakan harga diserahkan kepada perusahaan.
“Mereka sudah melakukan adjustment. Seperti Shell, BP, Vivo, itu kan mereka sudah melakukan penyesuaian,” ujar dia.
Komaidi sepenuhnya sadar, untuk menaikkan harga BBM, khususnya BBM subsidi seperti pedang bermata dua. Pasalnya, setiap kenaikan harga minyak mentah, akan menaikkan pendapatan negara. Pada saat yang sama, belanja negara karena subsidi dan kompensasi energi juga akan melonjak.
Di saat rupiah tertekan dan harga minyak mentah dunia melonjak, maka pemerintah bisa saja memilih untuk tidak menaikkan harga BBM. Namun, dengan opsi ini pemerintah harus menambah anggaran subsidi dan kompensasi. Artinya, jika menempuh jalan ini, pemerintah harus menambah utang.
“Ini posisi sulitnya ada di sini. Jadi yang diperhatikan pemerintah kan bukan hanya di energinya saja, tapi juga all sektor, artinya juga di daya beli masyarakat. Yang paling sulit bagi pemerintah itu, komposisi pertumbuhan ekonomi kita, PDB kita sekitar 55 persen itu dari konsumsi. Jadi kalaupun dilakukan (penyesuaian), kemungkinan juga besarannya akan ter-manage,” imbuh dia.
Sementara itu, ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, menilai, tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM subsidi pada Juli 2024. Sebab, meski harga minyak dunia cenderung naik hingga mencapai 80,72 dolar AS per barel, namun besaran tersebut masih lebih rendah dari dari ICP (Indonesia Crude oil Price) yang ditetapkan dalam APBN 2024.
Begitu juga inflasi masih terkendali yang pada Mei kemarin mencapai 2,8 persen secara tahunan (year on year/yoy). “Berdasarkan indikator tersebut, pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM subsidi pada Juli 2024,” kata Fahmy kepada Tirto, Kamis (27/6/2024).
Menurut Fahmy, jika harga BBM subsidi dinaikkan, maka sudah pasti akan memicu inflasi yang menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Pada akhirnya, kondisi itu akan mendorong turunnya daya beli masyarakat dan memperburuk perekonomian nasional. Apalagi, saat ini tren pelemahan rupiah belum diketahui kapan akan berakhir.
“Bahkan berpotensi menyulut krisis ekonomi lantaran terjadinya pelemahan rupiah terhadap dolar AS, dibarengi inflasi yang meroket,” lanjut dia.
Terkait BBM non-subsidi, Fahmy menyebut, sudah seharusnya pemerintah menyerahkan harga BBM jenis ini kepada PT Pertamina (Persero) Tbk sepenuhnya. Pemerintah tidak perlu membayar kompensasi kepada Pertamina pada saat harga BBM non-subsidi di tetapkan di bawah harga keekonomian.
“Pemerintah seharusnya tidak perlu menahan lebih lama lagi harga BBM non-subsidi. Serahkan saja keputusannya kepada Pertamina untuk menetapkan harga BBM non-subsidi sesuai dengan harga keekonomian,” ujar dia.
Dihubungi terpisah, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang meninjau kemungkinan menaikkan harga BBM non subsidi. Sedangkan harga BBM subsidi sepenuhnya tergantung pada keputusan pemerintah.
“Saat ini masih kami review dengan mempertimbangkan perubahan MOPS (Means of Platts Singapore) dan kurs. Untuk BBM bersubsidi harganya ditentukan oleh pemerintah,” kata dia singkat, dalam pesannya kepada Tirto, Kamis (27/6/2024).
MOPS atau Argus adalah biaya perolehan atas penyediaan BBM jenis bensin dan minyak solar dari produksi kilang dalam negeri atau impor sampai terminal BBM.
Pernyataan Irto itu diamini Anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Saleh Abdurrahman. Menurut dia, harga BBM non-subsidi merupakan domain dari masing-masing badan usaha. Hanya saja, saat ingin menaikkan harga, badan usaha perlu melapor kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Nah, jika ada badan usaha yang menaikkan dan ada yang tidak, tentu berdasar perhitungan masing-masing badan usaha. Faktor-faktor yang berpotensi menaikkan atau menurunkan harga BBM JBU (Jenis BBM Umum) adalah perkembangan harga minyak dunia, nilai tukar rupiah, perkembangan ekonomi domestik,” beber Saleh, kepada Tirto, Kamis (27/6/2024).
Dalam Konferensi Pers APBN KiTA, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, menjelaskan sampai saat ini tidak ada pembahasan antara pihaknya dengan Kementerian ESDM untuk menaikkan harga BBM subsidi pada Juli 2024. Meski laju pelemahan rupiah terus memberi tekanan kepada belanja subsidi BBM, tapi perkembangan harga ICP masih sesuai dengan prediksi pemerintah.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada Mei 2024, harga rata-rata minyak mentah Indonesia ditetapkan sebesar 79,78 dolar AS per barel. Kemudian, konsumsi BBM subsidi pun masih sedikit, yakni sebesar 5,57 juta kilo liter (KL) hingga Mei 2024, turun 1 persen (yoy) dari realisasi tahun lalu.
“Secara keseluruhan, kita melihat subsidi masih bisa kita pantau dalam range yang sudah disiapkan dalam APBN kita. Selain itu, kita juga mengetahui bahwa untuk subsidi ini, APBN sudah disepakati oleh DPR dan pemerintah untuk bisa bersifat fleksibel menyesuaikan kebutuhan subsidinya ini,” kata Isa.
Yang Perlu Dilakukan Pemerintah
Sebagai antisipasi, Komaidi menilai, pemerintah seharusnya bisa lebih menggenjot produksi minyak dalam negeri. Dengan begitu, ketergantungan terhadap minyak impor akan semakin berkurang.
“Kemudian secara paralel tepat sasaran. Artinya, penyaluran subsidinya harus tepat sasaran, jangan sampai kita sudah mengalokasikan cukup besar, tapi kemudian yang menikmati orang-orang yang mampu. Khawatirnya, yang kaya makin kaya, karena dapat subsidi, yang miskin karena tertekan dari berbagai sisi, barang lain ikut naik, subsidinya kecil, makin miskin. Ini kan enggak pas,” kata dia.
Di sisi lain, untuk mencegah potensi krisis ekonomi di Indonesia, pemerintah sebaiknya menaikkan harga BBM non-subsidi sesuai harga keekonomian. Namun sebaliknya, pemerintah harus tetap menahan harga BBM subsidi, setidaknya hingga Desember 2024.
“Kalau Pemerintahan Joko Widodo nekat menaikan harga BBM subsidi pada Juli 2024, tidak diragukan lagi kenaikan harga BBM subsidi itu akan menjadi beban bagi pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto,” kata Fahmy Radhy.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz