tirto.id - Dorongan para relawan dan beberapa partai politik membuka jalan Sudirman Said untuk maju di Pilkada Jakarta 2024. Namanya belakangan memang muncul sebagai salah satu sosok yang dipertimbangkan. Isu tersebut, kian santer setelah timnya sempat berkonsultasi ke KPU untuk maju melalui pencalonan independen.
“Sebenarnya semua orang tahu ya jalur independen tantangannya itu terlalu besar. Jumlah KTP yang mesti dihimpun tuh 618 ribu. Itu tidak mudah,” kata Sudirman saat berbincang di acara Podcast Tirto: For Your Politics.
Tidak ingin para relawannya kecawa, Sudirman membuka opsi maju melalui jalur partai. Menteri ESDM periode 2014-2016 itu, bahkan tengah aktif membuka komunikasi politik dengan beberapa partai seperti Nasdem, Demokrat, dan lainnya.
“Saya hanya menyampaikan bila saya dianggap memenuhi syarat dan dibutuhkan dan saya sanggup memenuhi apa-apa yang mereka harapkan, itu saya bersedia dipertimbangan sebagai salah satu calon. Dan itu yang sedang kami coba terus jajaki,” terang dia.
Mantan Executive Co-Captain Timnas AMIN ini juga sudah memiliki berbagai gagasan jika dipercayai maju di Pilkada Jakarta. Jika Jakarta ingin jadi kota global, kata dia, maka harus ada reform, baik secara fisik maupun pemerintahan.
Selain berbicara soal gagasan yang akan ia bawa untuk Jakarta, kepada Tirto, Sudirman menceritakan harapannya soal koalisi di pilkada kali ini. Menurut dia, pilpres telah berakhir, sehingga momen pilkada bisa menjadi momen untuk membuka lembaran baru dengan koalisi yang baru.
Apa saja gagasan yang dibawa Sudirman Said menuju Pilgub Jakarta? Partai mana saja yang telah berkomunikasi terkait pencalonannya? Berikut petikan wawancaranya dengan Tirto.
Kesibukan setelah pilpres apa?
Saya kembali ke akademik. Saya punya beberapa kewajiban mengajar. Saya juga senang menulis. Kebetulan lagi selesaikan disertasi. Ingin diselesaikan dalam waktu dekat.
Tapi sambil mengerjakan tadi, teman-teman mendorong saya untuk, "ayo pikirin apa ke depan". Namanya aktivis, kan, tidak pernah berhenti berpikir dan beraktivitas untuk publik dan masyarakat.
Setelah pilpres masuk headline berita soal niatan maju Pilkada Jakarta. Kenapa memilih Jakarta? Kan sebelumnya nyalon di Jawa Tengah bersama Ida Fauziyah.
Banyak yang dari masa pilpres dulu bertanya apakah Anda minat kembali ke Jawa Tengah untuk maju lagi setelah pilpres nanti? Saya cuma mengatakan: Jawa Tengah sudah pernah. Saya berpikir mungkin yang di Jateng sebaiknya orang yang punya basis politik kuat.
Ini, kan, proses belajar bagi saya. Saya bersyukur waktu di Jateng pendatang baru saya tidak punya pengalaman politik praktis. Tapi masyarakat masih memberi suara lumayan hampir 42 persen dalam keadaan tidak punya pengalaman, tidak punya uang, bukan dari partai politik, tapi alhamdulillah dapat segitu.
Karena itu, saya mengatakan kalau wilayah lain boleh kita pikirkan. Kebetulan dalam perjalanan seperti ada satu kesepakatan teman-teman relawan dari partai kemarin bekerja sama dan partai-partai yang dulu pernah bekerja sama di berbagai kesempatan, termasuk yang waktu di Jateng PKS, PKB, Gerindra, dan PAN.
Kemudian pada waktu saya bantu Pak Prabowo, kan, juga banyak partai-partai berkomunikasi. Pun kemarin waktu saya mengurus Pak Anies [Baswedan] ada tiga partai plus Demokrat. Karena kan pernah intens dengan Demokrat.
Jadi teman-teman itu secara baik berseloroh maupun serius omongan sepintas itu memberi ruang 'kalau Anda ada minat dan tertarik kita coba jajaki'. Saya menemui proses ini dengan sungguh-sungguh karena harus menghormati mereka. Kita tahu jalannya masih panjang.
Berarti ini sebelum pilpres obrolan-obrolan ini?
Iya sebelum selesai pilpres. Mungkin Oktober-November [2023]. Dan begitu selesai pilpres tentu saja makin intens karena dianggap chapter pilpres sudah selesai terus masuk babak baru yakni pilkada.
Kemarin sempat konsultasi dengan KPU terkait maju dari jalur independen, itu proses bagaimana sampai akhir tidak jadi menggunakan jalur independen?
Sebenarnya semua orang tahu ya jalur independen tantangannya itu terlalu besar. Jumlah KTP yang mesti dihimpun tuh 618 ribu. Itu tidak mudah. Tapi ada sekelompok relawan yang menemui saya kemudian minta izin, ‘pak boleh tidak kami diajak ke KPU kemungkinan masuk jalur independent.’ Saya bilang silahkan aja. Tapi kita tahu, kan, bahwa itu tidak mudah. Tapi mereka sudah punya 300-an ribu KTP.
Itu dalam waktu berapa lama tuh 300an ribu KTP?
Mereka rupanya sudah kerja cukup lama. Mungkin juga bisa untuk masuk lain, tapi kemudian kan tiba-tiba muncul nama saya. Jadi saya mengizinkan mereka dan saya mengapresiasi pada upaya mereka. Dengan satu harapan, waktunya cukup nanti untuk sampai pada jumlah yang ditetapkan sampai Mei ini.
Nah, ternyata hanya beberapa hari, kan, waktu itu. Terus saya mengatakan, ya kalian sudah berusaha. Kalau memang teman-teman bersungguh-sungguh ingin saya maju, ya jalur yang berikutnya adalah lewat jalur partai. Yang tadi saya katakan kebetulan mereka juga terbuka lah. Baik diucapkan lewat publik maupun lewat obrolan di belakang layar.
Sudah ada Nasdem sama Demokrat yang secara terbuka menyampaikan, membuka pintu nih buat Mas Sudirman. Nah, komunikasinya seperti apa sih?
Saya tidak bisa klaim partai apa pun yang pasti. Tapi itu bisa semata-mata stetment publik gitu ya. Kita hormati itu, kita hargai. Tentu ujungnya adalah apakah keterbukaan yang disampaikan lewat publik itu akan berujung pada keputusan formal.
Menuju keputusan formal itu, kan, ada yang bottom-up, ada yang dari bawah, dari DPP-nya barangkali kemudian sampai ke DPP-nya, sampai akhirnya ke Majelis Tinggi kalau di Demokrat, kalau PKS Majelis Suro, kalau di Partai Nasdem, misalnya Deman Pembina dan sebagainya.
Jadi kita biarkan itu proses. Tapi setiap kali ada undangan untuk berkomunikasi, misalnya saya ditanya tentang kesungguhan, kesiapan, dan sebagainya. Saya datang dan selama ini karena tadi saya jelaskan semuanya, kan, teman lama. Jadi bukan mulai dari nol ya. Tidak seperti beli SPBU kan.
Jadi istilahnya ada tabungan sosial, ada sosial capital yang terus dipupuk dan alhamdulillah mereka membuka pintu. Tapi saya menghormati sepenuhnya proses internal pertimbangan-pertimbangan lain.
Saya hanya menyampaikan bila saya dianggap memenuhi syarat dan dibutuhkan dan saya sanggup memenuhi apa-apa yang mereka harapkan, itu saya bersedia di pertimbangan sebagai salah satu calon. Dan itu yang sedang kita coba terus jajaki.
Ada partai lain enggak selain Nasdam dan Demokrat, mungkin yang rutin berkomunikasi?
Kalau ngobrol hampir semua partai kami punya jalur ya komunikasi. Tapi untuk sampai pada kemungkinan pada pencalonan itu, kan, pasti masing-masing punya orientasi. Misalnya saya mendengar Koalisi Indonesia Maju yang kemarin memenangi pilpres sudah punya calon. Terus tentu saja kita menjaga. Kalau sudah punya calon kita jangan mengganggu suasana kebatinan mereka.
Tapi kan katanya politik ini sangat dinamis. Ada istilah sebelum janur kuning melengkung anggap saja masih terbuka. Jadi kita terus jaga komunikasi. Kita masih punya beberapa waktu.
Pak Sudirman sempat bilang kalau misalkan untuk di Jakarta ini jangan yang berseberangan dengan pemerintahan ke depan? Ini juga terkait dengan komunikasi dengan Gerindra.Apakah ada kemungkinan dapat dukungan nanti di Pilgub Jakarta?
Saya ingin menjelaskan latar belakang kenapa kalimat itu saya keluarkan. Pertama, saya pernah bertemu dengan seorang tokoh senior namanya Pak Bambang Sowo. Beliau teman diskusi waktu masa-masa pergolakan reformasi segala macam. Dan selama saya jadi menteri juga saya sering sowan untuk belajarlah. Kan beliau orang berpengalaman.
Jadi kami cukup dekat secara pikiran gitu. Dan menjelang Pilkada DKI saya datang meminta pandangan. Itu kata-kata beliau, akan jadi presiden yang kurang baik kalau pemimpin DKI tidak sejalan dengan pimpinan nasional. Mengapa begitu? Karena yang akan maju waktu itu adalah Pak Anies yang baru saja diberhentikan oleh Pak Joko Widodo, kan. Jadi kita ingin dapat pandangan-pandangan yang sifatnya wisdom lah.
Nah, itu saya kemudian meyakini. Saya kira baik juga pandangan itu, karena apa? Kan bayangkan secara seremoni saja kan sering sekali presiden, wakil presiden, gubernur DKI itu bersama-sama. Tapi secara pekerjaan juga banyak sekali kaitan antara yang dikerjakan di DKI dengan di pemerintah pusat.
Belum lagi kebijakan. Belum lagi anggaran. Anggaran itu DKI adalah anggaran nomor 4 atau nomor 5 terbesar seluruh instansi pemerintah. Jadi kalau misalnya nomor 1 Kementerian PU, mungkin pertahanan, mungkin polisi. Itu 3, 4, atau 5 DKI sebelum kementerian lain.
Jadi hubungan keuangannya juga sangat ketat. Tidak ada seluruh kantor pemerintahan ada DKI. Tidak ada kebijakan atau tindakan yang tidak akan melibatkan diskusi antara pemerintah pusat dan pemerintah DKI.
Jadi pandangan Pak Bambang tadi sangat masuk akal. Dan karena itu kita mengupayakan waktu itu supaya gimana caranya mendapat satu green light supaya Pak Anies ini tidak dihalangi. Dan alhamdulillah selama 5 tahun rasanya ada sedikit-sedikit friksi, tapi kebanyakan in line. Karena itu saya katakan bahwa siapa pun gubernur DKJ ke depan, itu akan elok kalau tidak dalam posisi berseberangan dengan pemerintah ke depan. Itu normatifnya.
Tapi ada kebutuhan teknis. Kebutuhan teknis adalah Jakarta akan mengalami transisi dari ibu kota menjadi daerah khusus Jakarta yang disebut sebagai kota global, pusat perekonomian, pusat jasa, dan sebagainya. Dan ada 15 kewenangan khusus yang harus diterjemahkan dalam PP, dalam berangkali Perpres, dalam peraturan daerah, segala macam.
Jadi kembali di luar yang tadi saya uraikan akan ada kebutuhan koordinasi yang sangat ketat. Sangat dekat erat kaitannya dengan pusat dan daerah. Makanya saya mengatakan sebaiknya juga tidak dalam posisi berseberangan.
Kembali pada pertanyaan tadi, apakah ada kemungkinan di-endorse Gerindra? Belum tahu, yang jelas, kan, Gerindra kan katanya sudah punya calon. Tapi saya menyampaikan pada beberapa teman akan baik minimal tidak ada satu sikap menghalangi. Kan mungkin saja ada satu blok. Dan saya punya harapan, saya sudah kemukakan berulang-ulang, Pak Prabowo ini akan menjadi presiden yang akan membiarkan pilkada itu berjalan dengan lebih fair.
Kalau berjalan fair, maka siapa pun boleh masuk dan siapa pun yang terpilih akan membuat semua pihak menjadi lebih tenang termasuk masyarakatnya. Jadi saya ingin melihat Jakarta itu dibangun dengan bobot teknokrasi yang lebih kental daripada pertengkaran politik. Itu yang saya ingin saya dorong.
Setelah pilpres, apakah ada komunikasi dengan Pak Prabowo? Karena kemarin kan di pilpres berseberangan ya?
Saya pribadi belum sempat bertemu langsung, tapi saya bertemu dengan sejumlah teman lama yang kebetulan ada di sekitarnya Pak Prabowo dan saya sampaikan niat, saya sampaikan pesan-pesan ini, saya sampaikan pandangan soal DKI ke depan, DKJ ke depan. Mudah-mudahan itu disampaikan dan menjadi perbincangan.
Toh yang saya tawarkan adalah ajakan bersatu membangun Jakarta, bukan pesan untuk terus-menerus ada dalam titik-titik yang berbeda. Mengapa itu diperlukan? Iya tadi saya bilang chapter pilpres sudah selesai, sekarang masuk pilkada, dibuka lembaran baru.
Saya berharap koalisi ke depan itu bukan koalisi yang meneruskan koalisi pilpres, sehingga polarisasi makin tajam. Tapi koalisi yang dibangun atas dasar siapa yang punya ide kurang lebih sama nih. Kemudian duduk sama-sama untuk koalisi itu.
Ketika nanti dipercaya memimpin Jakarta, seperti apa bayangan Mas Sudirman untuk daerah khusus Jakarta ke depan?
Kalau Jakarta mau jadi kota global kebetulan, itu artinya memerlukan reform. Baik secara fisik maupun secara governance, tata kelola gitu. Dan reform itu tidak mungkin pemerintah mengejarkannya sendirian. Tetapi memerlukan kolaborasi tiga pilar ya.
Pilar pertama state atau negara, pilar kedua korporasi, pilar ketiga adalah civil society. Nah, rasanya dalam perjalanan yang barusan dikatakan tadi, saya sedikit banyak punya pengetahuan bagaimana mereka berpikir, bagaimana mereka bertindak. Ini bisa jadi bekal untuk merangkai kolaborasi tadi.
Kita harus libatkan korporasi sebagai pelaku ekonomi utama, pelaku pembangunan yang utama. Pemerintah harus menjadi bukan hanya regulator, tapi fasilitator. Nah, civil society-nya bagaimana? Ini kampus, media, orang-orang yang pengamat-pengamat yang kritis, kemudian juga para pemikir, independen, lembaga riset. Ini harus menjadi sumber ide.
Bayangkan kalau tiga-tiga ini bisa diorkestrakan. Yang punya ide bertemu dengan regulator, kemudian bertemu dengan pelakunya, para pemilik atau pengelola kolaborasi itu sangat baik. Nah, itu mungkin bisa saya tawarkan sebagai saya punya eksposur pada ketiganya, dan insyaallah bicara dengan ketiga sektor itu lebih mudah diterima.
Nah, yang kedua, menjadi kota transisi atau kota yang sangat rumit ini, ini penuh paradoks menurut saya Jakarta. Jakarta adalah tempat tinggalnya orang-orang paling kaya. Tempatnya perusahaan-perusahaan paling besar, paling profitable. Teknologi paling maju ada di sini. Pikiran terbaik ada di Jakarta.
Tapi di sisi lain juga kita menyimpan banyak sekali masalah-masalah sosial. Kemiskinan paling akut ada di Jakarta. Daerah paling kumuh ada di Jakarta. Bahkan menurut teman-teman di pemda itu, indeks kekumuhan Jakarta itu paling tinggi di Indonesia. Karena mencapai 22 persen. Jadi setiap 5 rumah itu satu masuk kategori kumuh.
Saya sering menceritakan bahwa di wilayah tertentu, di Cilincing sana, di Warakas, Tambora itu, anak-anak nanggung itu malam hari keluar meninggalkan rumahnya untuk main bola gitu. Karena rumahnya sempit, bukan mereka hobi banget olahraga. Sampai malam-malam dia berolahraga. Tapi pengertian pada orang tuanya. Orang tuanya sedang melakukan ‘ibadah’ sehingga dia mengerti kemudian dia keluar. Itu cerita yang sangat menyentuh.
Air bersih, itu tidak semua warga Jakarta memperoleh air bersih dengan baik. Harus beli. Dan belinya itu dibandingkan dengan air yang tersambung dengan pipa, dengan kran itu 8 kali lipat. Jadi kalau dengan air kran atau air pipa itu hanya 100 ribuan per bulan, dia mesti keluarkan 700-800 ribuan sebulan. Sementara yang mendapatkan pipa biasanya orang lebih mapan. Sementara yang harus beli pikulan, orang-orang yang penghasilannya sangat rendah.
Jadi paradoks ini menjadi tantangan bagi kita. Kalau kita mau jadikan kota global. Apa relevansi dari apa yang saya alami? Saya pernah membangun atau ikut dalam membangun kembali Aceh Nias yang sangat berat pasca tsunami. Tidak ada apa-apa. Dan kita merasakan bagaimana denyut rakyat.
Jadi itu juga sama. Caranya kolaborasi. Dari pemerintah, donor-donor internasional, sampai pada NGO-NGO. Waktu itu kita memulai dengan mengelola 728 lembaga internasional di Aceh. Bukan sesuatu yang mudah. Tapi alhamdulillah dalam waktu 4 tahun Aceh terbangun kembali dengan baik.
Sisi lainnya, mungkin ini saya agak ngaku-ngaku nih.Saya ini anak desa yang nyaris SMP saya tidak tamat. Karena kesulitan hidup. Kemudian diberilah keringanan oleh sekolah.Karena ibu saya, bapak saya almarhum saya umur 9 tahun. Jadi berat sekali hidup kami. Karena ibu saya rajin datang ke kepala sekolah.Akhirnya dibolehkan terus sampai SMA. Dan saya merasa paling tinggi saya sekolah SMA. Tapi oleh negara, saya diberi beasiswa, dapat kuliah S1, dapat S2, segala macam.
Jadi saya merasakan miskin itu seperti apa sih? Susah itu seperti apa? Nah, barangkali itu bisa menjadi dasar secara batin untuk sungguh-sungguh bagaimana mengentaskan yang paling bawah itu. Kalau kita hitung ada tiga lapis di Jakarta. Paling tinggi, kemudian menengah, kemudian paling bawah itu.
Paling tinggi itu hanya memerlukan pemerintah enggak ganggu mereka. Konsistensi kebijakan, segala macam. Yang menengah mungkin perlu fasilitas kehidupan seperti transportasi, sarana perumahan itu disediakan dengan harga terjangkau. Nah yang bawah ini memerlukan intervensi dari negara.
Secara pribadi saya dientaskan oleh negara, oleh pembayar pajak. Dari paling bawah itu menjadi bagian dari kelas menengah. Kemudian sekarang bisa bergaul dengan orang-orang di top level. Nah insyaallah perjalanan itu akan menjadi bekal. Ketika kalau saya dipercaya sebagai pemimpin di sini atau pemimpin DKJ. Bisa berdialog, berkomunikasi dengan semua level itu dan untuk kepentingan maju bersama. Saya yakin orang-orang yang paling kaya di Jakarta juga tidak nyaman melihat sebagian warga kita kumuh. Dan itu adalah masalah sosial yang sewaktu-waktu bisa muncul letupan.
Jadi saya dengan perjalanan yang saya miliki, insyaallah bisa menyebatani tiga lapis itu. Dan tadi dengan pengalaman bekerja di perusahaan, di BUMN, di pemerintahan. Mudah-mudahan ini baunya sudah nanda-nanda promosi. Tapi tidak apa-apa gitu.
Apakah ada gagasan spesifik? Atau misal yang seharusnya, yang selama ini mungkin belum dilakukan. Atau sudah dilakukan tapi belum masif untuk mengentaskan kemiskinan?
40 persen warga Jakarta memerlukan atensi dari pemerintah. Termasuk tadi beasiswa, KJP Plus, peninggalannya Pak Anies, bansos, dan segala macam. Nah bagaimana mengadress atau mengangkat mereka? Pertama tadi benar sekali, pendidikan adalah eskalator yang paling nyata.
Membedakan, mohon maaf, saya dan teman-teman yang terus tinggal di kampung saya itu karena saya dapat kesempatan memperoleh pendidikan yang baik. Jadi pendidikan harus menjadi prioritas.
Beberapa minggu lalu saya diskusi soal pendidikan. Misalnya soal jumlah kelas. Tentu saja yang SD berebut mencari SMP terbaik, yang SMP berebut mencari SMA terbaik. Lalu, lulusan SMA sangat susah mencari perguruan tinggi. Karena jumlah kelasnya juga makin ke atas makin sedikit. Belum lagi biaya gitu.
Jadi pertama-tama mesti diluruskan bahwa jumlah kelas di SMP yang tersedia harus bisa menampung seluruh tamatan SD. Jumlah kelas di SMA harus menampung tamatan SMP. Baru kita bisa mengatakan pemerataan pendidikan. Sukur-sukur sampai ke perguruan tinggi.
Apakah semua orang harus sampai sarjana? Enggak juga. Tapi bila masyarakat membutuhkan itu, sarananya tersedia dan harganya terjangkau. Itu dari segi fasilitas.
Dari segi biaya, kita sekarang lagi menghadapi isu mengenai kenaikan uang kuliah tunggal. Itu juga merasakan masyarakat. Kita harus empati pada ibu-ibu yang sambil bekerja mencari nafkah dia masih mikirin anaknya untuk sekolah.
Kenapa saya sebut ibu-ibu? Karena banyak ibu-ibunya mengalami beban ganda. Karena itu jangan membiarkan rumah tangga ibu-ibu itu kesulitan mencari sekolah buat anaknya. Nah itu satu.
Jadi kalau mau ngomong kesehatan mereka, pertama pendidikan, tentu kesehatan. Kesehatan, rupanya tidak seluruh kelurahan itu sudah memiliki puskesmas. Padahal puskesmas itu kesehatan primer yang membuat orang begitu ada masalah, langsung ke puskesmas. Dan kalau di puskesmas bekerja di atasi, maka beban yang dihulurnya itu lebih ringan. Rumah sakitnya lebih ringan. Ini juga satu aspek yang perlu dibangun, diteruskan.
Nah yang lain-lain, kalau kita tidak bisa mengangkat income mereka, mungkin kita bisa membantu mereka mengurangi beban. Sekarang saya kira baik sudah transportasi publik itu akses kepada Jak Lingko gitu. Itu harus diperluas. Kemudian beban-beban tadi, Jakarta termasuk baik untuk mengcover seluruh warga dengan jaminan kesehatan. Tapi kalau kita bisa tingkatkan saranan kesehatan akan baik.
Nah yang lain-lain, usaha kecil, segala macam. Kota ekonomi akan sangat baik kalau pemain besarnya tersambung dengan pemain menengah dan kecil. Nah ini adalah kesempatan bagi small business, bagi UMKM untuk masuk ke dalam pasar modern. Tersambung dengan digitalisasi, dapat akses untuk permodalan dan pemasaran.
Jadi ini hal-hal seperti ini kalau itu bisa kita kerjakan dengan tadi knowledge base, science base. Kita panggil orang-orang terbaik, mikirin ini semua. Hal-hal seperti ini kalau kita bisa kerjakan kita panggil orang-orang terbaik mikirin ini semua, itu rasanya tumbuh bersama. Itu akan lebih indah daripada yang di ketinggian terus naik, tapi yang bawah makin ketinggalan.
Kuncinya apa? Kuncinya serumit apa pun seperti yang kami alami di Aceh adalah kredibel atau pemimpin yang dipercayai oleh warga. Begitu pemimpin yang dipercayai warga, itu orang-orang pintar akan mengatakan saya akan ikut. Dan Jakarta punya begitu banyak orang-orang pandai yang bisa diajak selesaikan masalah-masalah tadi.
Tapi kemacetan dan polusi udara masih jadi isu yang dibicarakan. Apakah ada cara yang akan ditempuh masalah kemacetan dan polusi?
Ini menarik karena dalam satu diskusi, teman-teman yang bergerak di transportasi mengatakan begini, sebetulnya transportasi publik itu tidak serta-merta mengatasi kemacetan. Karena apa? Yang bikin macet itu kan mobil pribadi.
Selama mobil pribadi masih nambah terus, tentu saja karena mereka lebih sejahtera atau mereka lebih mudah dapat kredit segala macam. Atau harga mobil beberapa menurun, dapat subsidi, itu pasti ya. Nah, tapi yang mesti kita hargai dari perbaikan transportasi publik adalah semakin banyak orang-orang yang punya akses dan menggunakan itu.
Generasimu saya kira mereka daripada repot-repot parkir mobil di mana gitu, parkirnya mahal segala macam. Yang punya mobil menuju ke stasiun, terus taruh sana naik MRT kalau memang sudah ada akses, naik Trans Jakarta. Itu sedang jadi tren.
Tapi mungkin kita perlu waktu sampai pada orang betul-betul secara rasional memilih lebih untung mana nih, atau lebih nyaman mana gitu. Apalagi kalau nanti sudah budaya-budaya membaca barangkali, ngapain stream mobil seharian gitu ya? Kenapa enggak duduk di bus atau duduk di kereta? Sambil baca.
Saya punya pikiran agak besar untuk menyelesaikan persoalan ini secara terintegrasi, yaitu peremajahan kota dengan cara menata kampung-kampung kumuh yang pusat kegiatannya diorientasikan pada tempat-tempat stasiun atau istilahnya transit development itu, TOD, Transit Oriented Development. Jadi yang dibangun adalah kawasan di mana mereka punya tempat transit, yaitu stasiun kereta, stasiun MRT, stasiun bus, segala macam.
Kenapa disebut sebagai penyelesaian terintegrasi? Saya membayangkan begini, ambillah satu contoh wilayah yang paling kumuh gitu ya. Sebagai contoh, ambil satu RW atau satu kelurahan barangkali.
Memang yang harus terjadi adalah warganya sendiri diajak bicara. Jadi bukan pemerintah sebagai penguasa datang mengatakan, saya mau benahikan kampung ini. Itu serta-merta akan mendapat penolakan. Tapi biarkan warga itu berembuk dengan aktivis-aktivis sosial di sekitarnya untuk merancang apa yang bisa kita kerjakan untuk memperbaiki perkampungan ini.
Seperti kampung Aquarium misalnya. Itu contoh-contoh Pak Anies yang sangat berhasil dan bisa kita copy di berbagai tempat. Ketika itu sudah terjadi, saya bayangkan warga akan bersepakat tinggal di hunian sementara selama itu dibangun. Tentu pemerintah mesti menyediakan.
Kemudian dibuatlah kampung yang lebih terorganisir. Yang tadinya flat, satu lantai, tapi empet-empetan sekarang naik menjadi tiga, empat. Tergantung kesepakatan warga mau berapa lantai. Tentu nanti ada cara membaginya lah.
Di situ karena direorganis menjadi naik menjadi lebih tinggi, maka ada ruang untuk lahan hijau, ada ruang untuk taman, ada ruang untuk ruang publik. Kalau ada yang wafat, ada tempat melayat bersama. Kalau ada yang menikah, bisa jadi tempat, punya tempat resepsi. Sampai pada urusan-urusan kebutuhan para ibu, segala macam itu.
Nah, ini kenapa saya sebut sebagai game changer. Karena pada waktu nata, tentu saja akan menimbulkan gerakan ekonomi. Konstruksi, suplai bahan bangunan, tenaga kerja, keuangan, segala macam. Tapi juga akan membuat kultur akan berubah. Yang tadinya kultur tinggal bersedia, empet-empetan di satu tempat, sekarang kultur punya rumah susun, lebih toleran.
Maka saya tekankan tadi, pengorganisasian sosial harus lebih matang. Kenapa juga disebut game changer? Nanti kaitannya dengan transportasi. Coba bayangkan kalau orang-orang itu tinggal di satu tempat yang dekat dengan stasiun. Mereka tidak perlu naik motor jauh-jauh dengan jalan kaki sampailah ke stasiun bus atau stasiun LRT. Apalagi nanti kan disambungin dengan Timur Barat, segala macam.
Rasanya beban jalan untuk kendaraan pribadi akan menurun. Sementara orang-orang juga lalu lintas untuk pergi ke tempat-tempat yang jauh, sedikit akan menurun karena pusat aktifitas akan bisa disiapkan. Jadi termasuk dari puskesmas.
Alangkah baiknya, bila gubernur mendatang, orang yang betul-betul fokus memperbaikkan problem itu. Karena tadi 5 tahun tidak cukup. Apakah ente mau ngomong ingin 10 tahun? Enggak juga. Tapi kalau kita fokus sampai selesai, kita bisa bikin contoh-contoh di berbagai tempat. Kemudian mungkin menyiapkan who's next gitu. Supaya yang berikutnya juga ada keberlanjutan.
Nah kalau nanti pemimpinnya baru 2 tahun, 3 tahun kerja kemudian sudah mulai bersiap-siap mau kampanye. Itu dia akan cenderung membuat atraksi-atraksi yang bisa dipotret, kemudian dijadikan bahan kampanye gitu. Itu yang saya pribadi ya, kalau saya katakan dengan jujur bahwa belum tentu saya mendapatkan tiket dari partai.
Apalagi belum tentu saya dipilih. Tapi saya ingin melihat calon pemimpin yang nanti akan kita pilih di Jakarta umpamanya saya tidak ikut kontestasi ingin mengarahkan atau memilih yang bersedia seperti itu.
Karena sayang betul nih, kesempatannya besar dikasih Undang-Undang Nomor 2 2024. Kewenangannya 15 poin itu sangat istimewa gitu. Itu kalau tidak sampai menghasilkan historical achievement lah. Dan duitnya ada, Jakarta punya duit, orangnya ada, SDM-nya ada, regulasinya memungkinkan yang dibutuhkan adalah orkestrator yang bisa mengelolainya semua.
Jadi emang kalau misalkan nanti terpilih, enggak akan ada niatan untuk maju pilpres seperti pemimpin sebelumnya gitu?
Saya mau fokus di Jakarta. Dan saya kalau ada kesempatan lebih baik, saya menyiapkan siapa yang menggantikan. Yang bisa meneruskan apa-apa yang sudah kita kerjakan. Dan alhamdulillah, di mana pun saya bertugas, saya punya kebiasaan gitu. Jadi menyiapkan pemimpin selanjutnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz
Penyelaras: Rina Nurjanah