Menuju konten utama

Mustafa Layong: Pers Wujud Kedaulatan Rakyat, Bukan Alat Politik

Negara harus memberikan keamanan terhadap para seluruh media dan jurnalis bukan hanya kepada yang berpihak kepada pemerintah.

Mustafa Layong: Pers Wujud Kedaulatan Rakyat, Bukan Alat Politik
Header Wansus Mustafa Layong. tirto.id/Tino

tirto.id - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa Layong, membahas soal kekerasan dan teror terhadap jurnalis. Meski belum bisa mengungkap pelaku teror terhadap beberapa media dan jurnalis, dia mengatakan kekerasan terhadap jurnalis paling banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, Mustafa mengatakan, dalam tiga bulan belakangan, pada 2025, LBH Pers telah menerima 35 laporan dari jurnalis yang mengalami kekerasan. Dia memprediksi pada 2025 ini, kekerasan terhadap jurnalis akan meningkat dari sebelumnya. Pada 2024, katanya, ada 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

“Sepanjang 2025 atau mungkin tiga bulan pertama ya, memang kita melihat sangat banyak kasus yang terjadi. Serangan terhadap jurnalis, baik yang dilakukan oleh aktor negara, dalam hal ini teman-teman kepolisian, kemudian militer, kemudian pejabat publik, dan pengusaha itu ada. Jadi bervariasi, tapi memang yang mendominasi justru aparat penegak hukum,” kata Mustafa kepada Tirto.

Dia juga membahas soal teror yang dialami oleh media Tempo beberapa waktu lalu, yang dikirimi paket berisikan kepala babi dan paket tikus mati sebanyak enam ekor. Dia mengatakan, serangan tersebut, dibarengi dengan adanya serangan narasi bahwa Tempo merupakan antek asing yang sengaja menyerang pemerintah.

Mustafa juga menyebut, teror itu dikirimkan kepada jurnalis perempuan Tempo karena dianggap lebih rentan untuk mendapatkan intimidasi. Padahal, menurutnya, serangan teror tersebut, ditujukan kepada Tempo sebagai media yang selalu kritis terhadap pemerintah.

Sementara itu, dia juga menyinggung soal adanya media yang mengambil jalur damai dengan pelaku saat jurnalisnya mengalami kekerasan, bahkan dimanfaatkan untuk menggaet iklan. Katanya, hal tersebut sangat disayangkan.

Mustafa berharap, media pers di Indonesia tetap menjadi bentuk kedaulatan rakyat, bukan malah menjadi kendaraan politik atau pun humas pemerintah. Terlebih, negara juga harus memberikan keamanan terhadap para seluruh media dan jurnalis bukan hanya kepada yang berpihak kepada pemerintah.

Berikut obrolan Tirto dengan Mustafa Layong di Podcast For Your Politic.

Apakah masih banyak laporan dari rekan-rekan jurnalis di masa libur lebaran ini?

Kami H-1 (lebaran) masih banyak yang ngontak, karena memang menjelang lebaran sampai setelah lebaran itu kasus-kasus silih ganti ya, sangat banyak kekerasan terhadap Pers. Bukan hanya kekerasan langsung, tapi juga serangan terhadap berdasar melalui regulasi. Kita tahu mungkin ada Perpol ya, Perpol 3 tahun 2025 itu juga sempat menjadi perhatian kita, yang membuat kita tidak libur juga.

Bagaimana LBH Pers memandang kekerasan atau teror yang dialami oleh jurnalis di sepanjang 2025 ini? Seperti teror kepala babi kepada Tempo dan kekerasan dari ajudan Kapolri di Stasiun Tawang, Semarang.

Sepanjang 2025 atau mungkin tiga bulan pertama ya, memang kita melihat sangat banyak kasus yang terjadi. Serangan terhadap jurnalis, baik yang dilakukan oleh aktor negara, dalam hal ini teman-teman kepolisian, kemudian militer, kemudian pejabat publik, dan pengusaha itu ada. Jadi bervariasi, tapi memang yang mendominasi justru aparat penegak hukum.

Khususnya, banyak sekali serangan kekerasan saat teman-teman wartawan melakukan liputan ya. Demonstrasi khususnya, waktu kejadian penolakan RUU TNI, hampir semua daerah yang ada demonstrasi pasti ada jurnalis yang jadi korban. Seperti, dipukul, dianiaya, HP-nya dirusak, dihapus rekamannya, dan lain-lain. Nah ini yang sangat kita sayangkan ya.

Padahal, sebenarnya aparat penegak hukum harus jadi orang yang mengayomi, yang melindungi, dan menjamin pers ini bisa bekerja dengan aman, tapi justru dia sebagai pelaku. Kita melihat itu sebagai salah satu catatan buruk ya.

Kembali ke pertanyaan tentang teror kepala babi. Nah, kenapa teror kepala babi ini menjadi sangat besar? Selain karena yang diserang kemudian adalah salah satu media yang sangat kritis terhadap pemerintah melalui bocor alus, bukan hanya pemerintah ya, bahkan secara luas kekuasaan dan oligarki. Kemudian, ada serangan teror kepala babi yang terjadi di hari yang sama saat Tempo itu diserang narasi.

Jadi ada demonstrasi di hari yang sama. Demonstrasi ini dimotori oleh kelompok masyarakat, mengaku masyarakat sipil ya, organisasi yang mengatakan bahwa Tempo ini antek asing. Anggotanya Soros lah. Kemudian minta Dewan Pers untuk menghentikan penerbitan bocor alus.

Di hari yang sama, dikirimlah paket kepala babi itu di hari Rabu, tapi memang tidak langsung heboh karena paket itu dibuka di besoknya, di hari Kamis tanggal 20 oleh Cica (salah satu jurnalis Tempo yang menjadi host bocor alus politik). Nah saat kita kemudian menerima informasi itu, ternyata itu adalah kepala babi yang telinganya sudah tidak ada, akhirnya kita melakukan pelaporan ke polisi.

Sayangnya, itu ada tanggapan yang kurang baik dari istana, katanya dimasak aja, dimakan aja. Dalam konteks warga negara mengatakan itu mungkin biasa-biasa saja ya. Tapi ini perwakilan negara yang harusnya memberikan perlindungan yang nggak perlu ikut bercanda juga. Nah kemudian kenapa ini menjadi sangat krusial menurut kita? Karena serangannya tidak hanya satu itu, serangan digital itu sangat banyak. Bahkan, Cica juga mengalami serangan digital.

Apakah teror ini ditujukan untuk Cica atau untuk bocor alus?

Sebenarnya dua hal ya, serangan itu kita melihat sebenarnya ke bocor alus, karena secara luas bocor halus sebagai kendaraannya Cica dan tim, untuk kemudian menyajikan berita-berita hasil liputan investigasi Tempo. Sebenarnya hanya perubahan bentuk saja, karena ini kan sebenarnya hasil liputan yang ditayangkan di majalah.

Kemudian kenapa Cica? Kami memandang bahwa memang jurnalis perempuan itu lebih rentan daripada jurnalis laki-laki. Sebelumnya, di tahun lalu Agustus dan September itu Hussein salah satu host bocor halus juga mengalami teror, bahkan terornya lebih parah. Karena dia Agustus dibuntuti, kemudian saat ingin berbelok kaca mobil dia dipecah oleh orang yang tidak diketahui, kita sudah laporan, tapi ya sampai sekarang belum ada proses juga.

Kemudian, September terjadi lagi, di Depok dia mau ngurus SIM, kemudian dia parkir mobil dekat pos polisi, mobilnya dipecahin lagi. Kita merasa menganggap bahwa itu bukan pidana biasa ya, bukan pencurian karena nggak ada barang apapun yang hilang, emang murni untuk meneror Hussein. Setelah itu, nggak ada perubahan dari apa yang dilakukan bocor alus, tetap pada prinsipnya, tetap pada daya kritisnya. Tidak ada yang berubah walaupun diserang kiri kanan.

Kemudian, kita melihat bahwa kenapa Cica? mungkin anggapannya bahwa jurnalis perempuan ini lebih rentan, lebih mudah diintimidasi. Tapi, kita bersyukur Cica cukup kuat untuk kemudian bisa melawan dan tidak takut dengan teror itu. Sayangnya, proses penegakan hukum terhadap kasus ini juga masih terhambat, belum ada progres yang baik, sama dengan kasus-kasus sebelumnya.

Jadi Tempo ini cukup banyak kita dampingi, pernah diretas, websitenya diubah bentuknya, kita lapor. Kemudian, prosesnya sampai sekarang belum ada. Hussein, dua kali kita laporan, pelakunya belum ditangkap. Sekarang, Tempo diteror lagi, bukan hanya kepala babi ya, dua hari setelahnya, setelah kita laporan ada lagi, itu teror tikus, tikus yang dipenggal, enam ekor lagi. Enam ekor ini kalau kita cocokologi ya, mencocok-cocokkan, host Tempo itu ada enam orang, kita menganggap bahwa ini ditujukan kepada masing-masing host.

NGABUBURIT BUKU FOTO JURNALISTIK

sejumlah pehobi fotografi yang tergabung dari berbagai komunitas fotografi surabaya mengamati buku foto yang digelar saat ngabuburit buku foto di kantor antara biro jawa timur, sabtu (11/6). kegiatan tersebut diadakan bertujuan untuk mengisi waktu menunggu berbuka puasa serta menjalin silahturahmi antara fotografer dari berbagai komunitas. antara foto/zabur karuru/foc/16.

Selain dari Tempo, apakah LBH Pers juga menerima laporan dari media lain yang mengalami hal serupa?

Kalau untuk (teror) yang langsung diarahkan ke kantor, untuk beberapa tahun terakhir memang Tempo. Tapi, kan sebelumnya di 90-an ada kita pernah dengar suara Indonesia. Dia bahkan diteror dengan kepala orang, itu sangat parah, tapi kan kita berharap jangan sampai itu terjadi, itu sudah sangat parah. Sehingga, tidak boleh lagi kemudian ya kan hanya kepala babi, gak boleh, jangan sampai ketika kita membiarkan kepala babi nanti ada hal yang lebih gawat.

Bagaimana proses penanganan kasus pembakaran terhadap rumah jurnalis? Kemudian, juga ada pembunuhan terhadap jurnalis belum lama ini.

Ini menarik sebenarnya ya, teror itu kan sebenarnya salah satu bentuk serangan tahap awal. Jadi kalau kita melihat banyak kasus belakangan ini, bahkan yang dulu-dulu, kasus pembunuhan itu tidak pernah langsung dieksekusi dalam bentuk pembunuhan, selalu diawali dengan langkah-langkah yang lain. Misalnya pendekatan dengan cara baik-baik, atau diberikan uang. Ini saya kasih uang, tolong jangan liput, kalau gak berhenti, baru kemudian masuk teror, didekati keluarganya, orangnya, wartawannya didekati, dibuntuti, biar dia merasa bahwa dia diawasi oleh orang. Kemudian, kalau itu tidak berhasil juga, dan masih kritis, biasanya itu akan berlanjut pada proses yang lebih fatal.

Seberapa serius sebenarnya ancaman-ancaman ini, untuk Indonesia ke depan?

Sangat serius, karena jurnalis ini kan sebenarnya pembela HAM. Kenapa jurnalis dianggap sebagai pembela HAM? Karena jurnalis sebagai orang yang sedang memperjuangkan hak asasi manusia, hak asasi warga negara. Dalam konteks untuk mencari, memperoleh informasi. Karena, konstitusi kan memberikan hak kepada setiap warga negara untuk memperoleh, mengolah, dan menyebarkan informasi. Sayangnya, tidak semua warga negara punya akses terhadap informasi, banyak informasi yang ditutup-tutupi.

Misalnya kasus korupsi, misalnya apa yang dikerjakan Tirto, Tempo, misalnya dalam investigasinya, itu warga pada umumnya gak bisa dapat tuh, dokumen-dokumen yang disembunyikan di bawah laci pejabat tuh, gak bisa didapat. Nah hanya jurnalis lah yang bisa membuka itu, ketika jurnalis atau media dibatasi atau bahkan diteror, maka sebenarnya yang diteror warga negara, hak warga negara. Karena, kita tahu negara atau orang-orang yang jahat pasti akan menyembunyikan informasi.

Apakah LBH Pers sudah tahu siapa yang melakukan teror?

Kita tidak mau menyebut nama ya, karena nanti dituduhnya adu domba, seperti kata Pak Presiden, katanya teror itu hanya bentuk adu domba. Dari pertemuan dengan media kemarin, kita dengar kan bareng-bareng Presiden Prabowo bilang bahwa teror kepala babi itu bentuk adu domba. Cuma ya kita berharap Pak Presiden kita sebagai warga negara berhak dong minta ke Presiden jangan bikin rumor pemerintah punya alat namanya kepolisian, untuk mengungkap faktanya. Jadi bukan katanya-katanya, tapi kepolisian harusnya bisa nangkep tuh pelakunya untuk membuktikan ini bener-bener adu domba atau bukan.

Apakah kejadian ajudan Kapolri yang menoyor jurnalis mencerminkan sikap Kapolri?

Pertama, kalau secara kita memperhatikan gaya komunikasi Pak Sigit ya, Pak Kapolri, jadi saya rasa Kapolrinya punya tidak semacam itu ya, tidak punya perspektif yang seperti itu, yang kemudian menganggap jurnalis adalah lawan. Tapi kalau kita melihat apa yang dilakukan anak buah dari Kapolri, yang kita ketahui bahwa dia adalah ajudan, orang terdekat yang selalu ada di sekelilingnya, ya kita kemudian bisa mengimajinasikan bahwa jangan-jangan yang didiskusikan di ruang-ruang pimpinan ini, ya seperti ini.

Misalnya, pers hanya mengganggu, jadi kalau dia mau liputan, usir aja, misal ya, pers itu bahaya, jadi kalau lagi mengusir pendemo, jangan sampai ada pers yang merekam, itu kan bahaya. Harusnya kan kehadiran pers mengawasi dan mengontrol aktivitas aparat ini tidak abuse, tidak disalahgunakan, bukan justru dianggap sebagai lawan. Nah, ketika misalnya banyak ajudan-ajudan yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis, maka harus ditindak tegas, tidak boleh kemudian dinormalisasi cukup dengan minta maaf.

Kejadian intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dari pimpinan instansi negara ini, bukan yang pertama kali. Sebelumnya, ajudan dari Pak Agus, Panglima TNI, juga melakukan hal yang sama, engintimidasi, mengancam wartawan, ‘saya tandain lo, gue hajar lo’ misalnya seperti itu. Ini kan cukup mengkhawatirkan ya, apakah diskusi-diskusi para pimpinan ini seputar ini, sampai bawahan-bawahan ajudannya itu merasa bahwa jurnalis ini harus diintimidasi, harus dihalangi bekerja, itu kan bahaya.

Apa sanksi yang seharusnya diberikan kepada pelaku kekerasan terhadap jurnalis?

Kalau kita mengacu ke undang-undang pers, ancamannya 2 tahun, 2 tahun penjara. Jadi, barang siapa secara melawan hukum, melakukan penghalang-halangan, menghambat terlaksananya hak jurnalis untuk melakukan haknya untuk mencari, mengolah, dan menyebarluaskan, itu diancam 2 tahun penjara. Apa yang dilakukan Ajudan ini? Ya itu menghalangi kerja-kerja teman-teman jurnalis, khususnya Antara yang ingin mengambil gambar, kemudian ditoyor, diintimidasi, itu kan menghalangi kerja jurnalistik. Bukan hanya sekedar minta maaf, ya kita berharap ada sanksi minimal-minimalnya adalah etik yang tegas dari Kapolri.

Berapa jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis?

Nggak bisa dihitung ya, sangat banyak kasus yang sudah kita tangani. Tapi setidaknya tahun ini, 3 bulan pertama ini, ada 35 kasus sebenarnya yang kita dapat, laporannya terjadi di semua daerah, mulai dari kekerasan fisik, intimidasi, sampai pembunuhan.

Yang paling parah berarti pembunuhan ya?

Ya, pembunuhan jurnalis di Samarinda, jurnalis perempuan.

Itu finalnya hasilnya apa yang di Samarinda?

Sekarang lagi ditangani di Dimkom Militer, karena pelakunya militer.

Bagaimana LBH Pers menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis ini?

Laporan misalnya, kalau dia di Jakarta, kita akan langsung turun mendampingi, seperti misalnya kasusnya teman-teman Tempo, kita melakukan pelaporan ke kepolisian, ke Mabes Polri waktu itu. Kemudian kalau kasus di luar Jabodetabek biasanya kita jadi kuasa hukum bersama tim advokasi di daerah. Jadi kita punya banyak jaringan-jaringan advokat di daerah. Kita biasanya support untuk advokasi di Jakarta, misalnya melakukan pengaduan ke LPSK, Komnas Perempuan, Komnas HAM, seperti itu.

Laporannya dari tahun ke tahun meningkat atau menurun?

Fluktuatif, tapi tidak pernah di bawah 50, tahun lalu itu hampir 60 kasus. Nah, kayaknya tahun ini akan lebih banyak. Karena baru 3 bulan pertama sudah 35 kasus yang kita catat.

Ilustrasi Kontributor Pers

Ilustrasi Kontributor Pers. foto/IStockphoto

Apakah kekerasan terhadap jurnalis ini akan terus berulang?

Ya, nah serangan atau kekerasan terhadap Pers itu saya rasa juga jadi sejarah yang terus berulang. Jadi kita tidak bisa melihat bahwa, oh masa reformasi ini sudah lebih baik daripada Orde Baru, ternyata tidak, ternyata tidak lebih baik. Walaupun memang di awal kita merasa bahwa pernah di masa yang cukup bebas, tapi kita melihat kondisi sekarang kan makin lama, kebijakan-kebijakan itu semakin mengekang.

Jadi kalau kita bisa ilustrasikan ini seperti kayak kondisi merebus katak atau boiling frog syndrome. Nah, misalnya kondisinya gini, ada ilustrasi katak yang direbus di air, kemudian dipanaskan secara perlahan kan. Katak ini kan punya pertahanan tubuh yang unik kan. Dia bisa menyesuaikan tubuhnya dengan kondisi lingkungan. Jadi ketika dia dimasukkan di air dingin, kemudian dipanasi pelan-pelan, dia nggak sadar bahwa dia sedang direbus. Tapi ketika dia sadar bahwa ini berbahaya untuk dia, sudah terlambat. Karena air itu sudah mendidih dan dia sudah tidak bisa keluar.

Nah, saya rasa kita ada di masa itu, kita sedang masuk di era reformasi yang kita anggap oh ini air dingin, nyaman untuk kita dibanding misalnya orde baru, tapi perlahan-perlahan ada undang-undang ITE, undang-undang penyiaran mau diubah, undang-undang persnya akan diambil alih oleh undang-undang PDP, kemudian ada RKUHP yang sudah disahkan juga akan berlaku di 2025. Kemudian, ada undang-undang cipta kerja yang menghancurkan merampas hak-hak pekerja.

Kemudian, ada undang-undang KPK yang sudah diubah dan makin buruk. Kemudian, ada pembahasan undang-undang TNI yang bermasalah, yang kemudian memberikan hak TNI untuk melakukan pengawasan digital. Pengawasan digital apa coba isinya? Kemarin kita dapat informasi kan pengawasan digital untuk kemudian mengawasi konten-konten yang membahayakan keamanan negara. Menerjemahkan keamanan negara itu gimana? Selama ini bermasalah di lingkungan pemerintah. Semua yang mengkritik negara bisa jadi dianggap mengancam stabilitas negara dan itu bisa diawasi.

Kemudian, ada pembahasan RUU Polri yang sama juga akan menguatkan kekuatan Kepolisian melakukan pengawasan di dunia cyber. Itu sama juga. Kemudian menambah kewenangan-kewenangan penyidikan dan lain-lain. Kemudian ada RKUHAP rancangan revisi undang-undang kitab undang-undang hukum acara pidana yang isinya juga bermasalah. Karena pertama ada pembatasan untuk live streaming media. Media nggak bisa lagi nanti lakukan live streaming tanpa izin dari pengadilan. Selama ini kan cukup izin ke hakim kan? Nanti harus izin ke pengadilan. Kalau nggak diizinkan ya nggak boleh. Terus gimana? Kita melakukan pengawasan terhadap fair trial? Nggak ada. Kemudian, dihilangkan frasa pengadilan terbuka untuk umum. Jadi dia akan hanya terbuka saat saksi dan putusan, selebihnya nggak jelas.

Kemudian upaya memperluas upaya hukum, upaya paksa, Polisi bisa melakukan penyitaan kiri-kanan, nggak tahu pengawasannya gimana, kita ibarat ada di fase air yang sudah mulai mendidih, dan kita tidak sadar bahwa ada di dalam air rebusan. Tapi nanti kita pada masa kita sadar bahwa kita sedang direbus, kita sudah terlambat. Negara sudah semakin kuat dan sipil makin lemah. Karena kan sebenarnya kita mau kekuatan negara dan sipil ini kan setara, saling mengawasi. Sekarang kita masuk pada kondisi dimana negara makin kuat, sipil makin lemah, sehingga nggak bisa melakukan pengawasan, salah satu pengawasan sipil kan pers.

Ketika pers sudah dilemahkan melalui Ciptaker juga dilemahkan, jurnalisnya makin sulit mendapat kesejahteraan misalnya. Kemudian secara keamanan juga nggak diberikan jaminan. Kemudian secara ekonomi dibangkrutkan. Misalnya nggak ada jatah iklan untuk pers-pers yang kritis. Dan teror dimana-mana. Kalau pers mati, ya lengkaplah penderitaan kita. Nggak ada lagi pengawasan terhadap negara. Harusnya kan pengawasan itu dilakukan oleh legislatif. Tapi ya kita tahu sekarang legislatif, ya mereka juga. Dia sebagai politisi, dia juga sebagai pejabat, kita nggak tahu.

Apakah terkekangnya para jurnalis berkaitan dengan hukum di negara kita yang belum berpihak kepada korban?

Sebenarnya hukumnya sudah beberapa sudah dibuat dengan sedemikian rupa ya. Cuman memang terkadang perspektif dari aparat penegak hukum ini yang juga perlu dibenahi. Satu, kami anggap, ambil contoh ya terkait misalnya undang-undang pers. Undang-undang pers ini kan cukup baik sebenarnya untuk melindungi kemerdekaan pers. Dia dibuat sedemikian rupa sehingga tidak bisa ada intervensi dari luar. Dewan pers hadir menjadi lembaga independen yang sangat independen. Bahkan ketua Dewan Pers atau semua pimpinan Dewan Pers, itu dipilih oleh komunitas pers itu sendiri. Nggak ada campur tangan dari pemerintah.

Kemudian undang-undang pers juga memberikan perlindungan di Undang Pasal 18 terkait larangan untuk menghalangi kerja jurnalistik. Tapi, kembali lagi sayangnya, ketika kita melakukan pelaporan di kepolisian, kayaknya polisi yang menerima laporan nggak tahu bahwa ada pasal itu.

Berarti, seharusnya pelaku kekerasan terhadap jurnalis bisa mendapatkan hukuman yang lebih berat? Bukan hanya meminta maaf?

Nah, ini menarik contohnya ya, kasus waktu kita melaporkan kasus teror Kepala Babi, Tempo ya, ke Mabes Polri. Pertama, kenapa kita lakukan pelaporan ke Mabes Polri? Karena kita pertama, Hussein, host bocor alus, yang diteror pertama kali di Agustus, itu kita laporkan ke Polres. Tidak jalan. Kemudian September, kita laporkan ke Polda. Tidak jalan juga. Akhirnya kita memilih, ah kayaknya harus di Mabes nih, biar jalan. Biar diproses kasusnya. Kita lapor lah ke Mabes Polri.

Apa yang kita dapat? Adalah tim piket, adi kalau kita melakukan pelaporan ke kepolisian, ada namanya piket konsultasi. Jadi sebelum diterima, konsultasi dulu, ini pidana atau bukan. Jadi kita melaporkan itu, awal-awal dianggap, oh ini pidananya dimana. Ya kan, harusnya mereka sebagai penyidik yang bisa melihat pidana atau bukan.

Aksi protes kekerasan terhadap Jurnalis di Ternate

Seorang jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate meletakkan kartu identitas wartawan ketika berunjuk rasa di depan Kantor Wali Kota Ternate, Maluku Utara, Selasa (25/2/2025)ANTARA FOTO/Andri Saputra/Spt.

Mengacu pada undang-undang pers?

Itu harusnya, kita kasih tau, ini ada undang-undang pers, tapi mereka nggak tau, undang-undang pers ini apa unsurnya. Kita sudah belajarin lagi, misalnya, oh ini unsurnya penghalang-halangan, kemudian terhadap hak-hak, itu nggak ditangkap dengan baik. Jadi kita debat hanya seputar ini pidana pers atau bukan, sampai dari jam 10 kita laporan, sampai jam setengah 5 baru diterima,jadi cukup panjang prosesnya.

Padahal, ini tingkat mabes Polri yang seharusnya, dan faktanya memang tim-tim di dalamnya itu lebih menguasai dibanding mungkin di daerah. Gimana kalau kita berkasus di daerah? Gimana kita harus berdebat dengan mereka? Yang tidak memahami undang-undang pers, yang di Mabes Polri saja kadang tidak memahami kehadiran undang-undang pers, gimana yang di daerah? Ini yang kita harap sebenarnya ada perbaikan mekanisme di kepolisian.

Apakah hal tersebut mencerminkan ketidakseriusan dari kepolisian untuk menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis?

Pertama, sebenarnya kenapa kita melakukan pelaporan di kepolisian? Kita percaya polisi itu ada untuk melindungi dan mengayomi warga negara. Tapi sayangnya ketika kita melapor, kita nggak dapat itu. Jadi kita dorong nih, polisi lebih serius lagi untuk mengungkap. Di awal-awal ini mungkin karena desakan publik dan viral, hari pertama kita laporan langsung ada tim Polri datang ke Tempo. Beberapa hari, dua hari, kemudian ada panggilan pemeriksaan. Bahkan tim Polri yang datang ke kantor Tempo untuk memeriksa saksi. Kita menganggap ini cepat nih langkahnya. Kita senang dong. Kemudian dua hari berikutnya pemanggilan lagi saksi. Jadi sudah ada enam saksi yang diperiksa untuk kasus Tempo ya. Kasus Kepala Babi. Tapi di awal-awal panas, sekarang belum ada info lagi. Nah kita kemudian menganggap, wah ini jangan sampai hanya panas di depan nih, di awal nih. Tapi setelah itu hilang, menguap, seperti itulah.

Jadi kita kemudian kayak dejavu dengan kasus Hussein. 2024 kita dejavu dengan kasus Haris, wartawan Tirto yang dianiaya saat liputan 2019 RKUHP, sampai sekarang juga tidak ada kejelasan kasusnya.

Bagaimana seharusnya perusahaan pers melihat kekerasan jurnalis ini? Kemudian, apa yang harus dipersiapkan?

Nah ini juga salah satu hal yang patut jadi perbincangan. Bahwa sejatinya perlindungan terhadap wartawan itu pertama-tama adalah kantor media. Jadi yang wajib melakukan perlindungan itu kan sebenarnya kantor media, organisasi, dan pemerintah, dan penegak hukum. Nah sayangnya banyak kasus yang kita hadapi justru yang menghambat proses penegakan hukum itu kantor media.

Pertama, kantor media tidak support, misalnya dia bentuknya pasif, wartawannya kena kasus, ya sudah tidak mengambil tindakan apa-apa. Tidak mengambil tindakan apa-apa, dibiarkan wartawannya bekerja atau mencari keadilan sendiri, tidak difasilitasi pengacara, tidak diberikan dukungan apapun. Itu kadang terjadi. Di sisi lain, wartawan ini tetap diwajibkan untuk cari berita. Di tengah dia harus sibuk mengurus proses hukumnya.

Otomatis jurnalisnya akan menyerah sendirinya karena dia capek kan. Tidak dihargai dan dia harus tetap bekerja. Kemudian yang kedua, bisa jadi justru medianya yang menghambat. Medianya kemudian ada pertemuan dengan pelaku, kemudian berdamai, dan jurnalisnya diminta untuk ya berdamai saja. Kami sering dengar dan mendapat kasus yang seperti itu. Bahkan misalnya barter iklan, ya sudah damai saja nanti kita akan beriklan. Itu bahaya. Bahaya untuk kemerdekaan pers. Menganggap semua bisa diselesaikan dengan cara seperti itu. Itu banyak.

Sangat disayangkan yang harusnya kantor ini yang harus melindungi jurnalisnya justru dia melanggengkan kekerasan itu. Dan memanfaatkan malah itu dosa yang lebih besar. Jadi jurnalisnya jadi korban, dia yang dapat uang, dapat cuan. Jurnalisnya tidak dapat berita, jurnalisnya dianggap wah ini tidak kompeten. Jurnalisnya sudah bekerja secara serius, dapat kekerasan tidak disupport. Kalau justru dimanfaatkan untuk dapat iklan, itu kan sangat sayang.

Apakah media lain harus seperti Tempo yang tetap kritis meski mendapatkan teror?

Salah satu yang membuat sebenarnya jurnalis kuat menghadapi teror adalah support dari lingkungannya, support dari jaringan masyarakat sipil, support dari keluarga, dan yang paling penting adalah dukungan dari kantor. Apa yang terjadi di Tempo yang membuat teman-teman Tempo masih sangat kuat walaupun serangannya misalnya individu ya? Karena ada support dari kantor. Yang melakukan pelaporan ke Mabes Polri ya langsung Pemred. Karena kita menganggap bahwa serangan itu bukan ke Cica saja. Itu yang pertama. Serangan itu ke Tempo, ke jurnalis-jurnalis Tempo, redaksi Tempo yang diserang. Maka yang bertanggung jawab adalah yang jadi korban utama adalah Tempo itu sendiri.

Kemudian yang kedua, kita tidak mau korban jurnalis perempuan kembali menjadi korban lagi. Dia menjadi sorotan, kemudian dia, serangan itu hanya tertuju ke dia gitu. Padahal serangan ini bukan hanya ke dia.

Seberapa sulit media di daerah menangani teror yang dialami?

Ya kalau pertama di daerah kadang memang tidak terlalu banyak disorot. Kemudian yang paling sering terjadi yaitu perdamaian. Di luar proses hukum, damai, barter iklan, dan lain-lain gitu.

Kalau sejauh ini berarti ada komunikasi dari LBH Pers, kemudian AJI juga, kemudian Dewan Pers atau mungkin Komnas HAM juga itu sejauh apa mas? Menanggapi isu-isu dan kasus-kasus?

Setiap ada kasus kita selalu koordinasi ya. Karena kita tidak bisa menyelesaikan satu kasus sendiri. Pasti harus ada support dari semua jaringan. Termasuk AJI, kemudian lembaga negara yang memang diberi mandat untuk mengawal penegakan hak asasi manusia seperti LPSK, kemudian Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan tentu kalau terkait kasus Pers ya Dewan Pers yang harus terlibat. Sementara LBH Pers memang sebagai support untuk kemudian memberikan bantuan hukum. Bantuan hukum secara cuma-cuma pada teman-teman. Selain itu melakukan kampanye dan riset.

Bagaimana tanggapan dari Komnas HAM atas kekerasan terhadap jurnalis ini?

Kalau Komnas HAM selama ini memang support memberikan rekomendasi, kemudian pernyataan-pernyataan sikap, kemudian ikut mengawal proses penegakan hukum, koordinasi dengan kepolisian, kejaksaan, seperti itu. Memang tetap pada prosesnya yang memiliki kewenangan penyidik dan jaksa penuntut umum dan tentu hakim.

Apa tantangan yang dihadapi LBH Pers saat membantu jurnalis?

Tantangannya ya, keseriusan negara sih untuk menyelesaikan ini. Karena kalau pemerintah tidak kemudian hadir benar-benar memberikan support terhadap satu kasus, ya pasti akan sulit diungkapkan. Apalagi ketika pelakunya diduga adalah bagian daripada alat-alat negara. Itu sangat susah. Bahkan kita tidak jarang mendengar bahwa di lingkungan istana mengatakan bahwa kita mendukung Pers, kita menghormati kemerdekaan Pers, tapi Pers yang tidak menyebarkan hoax, Pers yang tidak mengganggu stabilitas negara, Pers yang cinta tanah air, Pers yang ini dan itu.

Jadi bebas, tapi tidak boleh. Jadi agak sedikit ini ya, maksudnya akhirnya definisi-definisi itu dibuat oleh mereka. Kalau kita mengacu ke Tempo, gimana tuh? Apakah Tempo dianggap sebagai media yang menyebar hoax, yang bikin gaduh dan lain-lain, dan kemudian tidak berhak untuk dapat jaminan perlindungan? Kan itu yang kemudian opininya menyebar kemana-mana. Maksudku, kita butuh ketegasan dari pemerintah untuk memberikan perlindungan, tidak memberikan penjelasan-penjelasan.

Bagaimana tanggapan LBH Pers terkait dengan media yang diminta oleh pemerintah untuk memberitakan yang baik-baik saja?

Jadi sebenarnya kan narasi bahwa media harus memberitakan yang baik-baik, atau media enggak boleh mengganggu stabilitas negara, media enggak boleh nyebar hoax, sebenarnya itu hanya pengulangan dari sejarah-sejarah. Kita sudah sering dengar pembatasan atau penghalangan kerja kriminalistik di masa Orde Baru kita tahu ada SIUP, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, kemudian itu digunakan untuk membredel banyak media, termasuk Tempo, kemudian ada majalah Detik dulu, itu dibredel karena dianggap mengganggu stabilitas negara. Kemudian Orde Lama, apakah aman? Enggak juga.

Orde Lama juga melakukan hal yang sama. Orde Lama dulu, kalau tidak salah di tahun 1957, pemerintah melalui Angkatan Darat itu mengeluarkan kebijakan SOB. SOB itu Staat van Ooghlegenblad, itu bahasa Belanda. Artinya kurang lebih adalah negara dalam keadaan perang atau pencegahan.

Itu banyak tuh media-media kemudian dibredel karena alasan itu tadi. Dianggap dia mengganggu stabilitas negara. Dia dianggap mencemarkan nama baik. Dibredel lah. Nah itu kemudian berlanjut, kemudian banyak media-media berbahasa Belanda dibredel, berbahasa Cina dibredel. Kemudian sekarang, apakah tidak ada yang seperti itu? ada. Kita lihat kan sekarang narasi-narasinya gimana tuh di lingkungan-lingkungan istana. Media, ya jangan nyebar ini dong. Jangan ganggu stabilitas negara dong.

Kita pernah ada pengalaman pemerintah melakukan pemblokiran internet di Papua. Alasannya sama. Alasannya adalah untuk menjaga stabilitas negara. Karena waktu itu kan isu tentang isu Papua ya. Yang diskriminasi Papua menyebar kemana-mana. Jadi untuk menghentikan gangguan stabilitas negara, dilakukan pemadaman secara luas. Yang tidak terukur. Jadi semua terdampak. Akses informasi gak ada tuh di Papua. Itu terjadi. Dan kita gugat. Pemerintah dianggap melakukan perbuatan melawan hukum. 2019. Nah sekarang banyak.Kita lihat undang-undang ITE isinya apa. Iya kan? Undang-undang ITE. Isinya dilarang melakukan pencemaran nama baik. Kita bebas menyampaikan informasi, berpendapat, tapi jangan mencemarkan nama baik. Kan sama kan isinya. Maksudnya intinya sama. Kita bebas tapi jangan. Itu yang berbahaya.

Apa harapannya untuk pers kedepannya?

Iya, sangat banyak ya harapan. Pertama, sebenarnya memang kita harap Pers tetap pada ruhnya. Jadi Pers itu ada, sebenarnya bukan untuk dirinya ya. Pers itu adalah wujud dari kedaulatan rakyat. Jadi kita tidak mau, satu sisi adalah jangan sampai Pers menjadi kendaraan politik. Kita tidak mau Pers justru ada untuk kemudian jadi humas negara pemerintah. Tapi Pers yang benar-benar sebagai wujud kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat apa? Yaitu untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bukan sebagai tim hore. Pemerintah membangun bendungan yeay selamat-selamat. Bukan itu.

Tapi apakah pembangunan bendungan itu bermanfaat untuk warga? Atau justru kemudian menggusur warga yang ada di sekitar gitu. Kita berharap Pers itu untuk kemudian bisa mengawal pemerintah untuk kepentingan publik, untuk kepentingan warga negara. Kita berharap negara memberikan perlindungan yang paripurna kepada Pers. Tidak ada lagi intimidasi yang bahkan mungkin, jangan sampai ya, jangan sampai dimotori oleh pemerintah atau kekuasaan atau oligarki atau siapapun. Dan negara punya tanggung jawab untuk memberikan keamanan. Karena kalau yang jadi masalah kan sekarang impunitas di mana-mana. Negara kita menganggap abai atau melakukan pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi berulang-ulang. Itu kejahatan negara terhadap warga negara. Karena kan bagaimanapun negara itu wajib melindungi warga negaranya. Ketika melakukan pembiaran terhadap serangan-serangan itu ya berbahaya.

Apakah ini gara-gara negara juga masih berpikir bahwa jurnalis itu tidak sepenting itu untuk dilindungi?

Ya, enggak tahu. Itu tanya ke Pak Presiden.

Baca juga artikel terkait JURNALIS atau tulisan lainnya dari Auliya Umayna Andani

tirto.id - News
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Anggun P Situmorang