tirto.id - Kabar ihwal penutupan industri tekstil dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah sampai ke telinga Jokowi. Ia memberikan atensi lebih dan memanggil para menteri ekonominya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan maraknya industri tekstil yang gulung tikar alias bangkrut.
Sejak Januari sampai awal Juni 2024, setidaknya sebanyak 13.800 pekerja di industri tekstil mengalami PHK akibat penutupan pabrik ataupun efisiensi. Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), sebanyak enam perusahaan tutup dan empat perusahaan melakukan efisiensi.
Keenam perusahaan yang tutup itu adalah PT S Dupantex, Jawa Tengah (PHK 700-an orang), PT Alenatex, Jawa Barat (PHK 700-an orang), PT Kusumahadi Santosa, Jawa Tengah (PHK 500-an orang), PT Kusumaputra Santosa, Jawa Tengah (PHK 400-an orang), PT Pamor Spinning Mills, Jawa Tengah (PHK 700-an orang), dan PT Sai Apparel, Jawa Tengah (PHK 8.000-an orang).
Sementara, empat perusahaan PHK akibat efisiensi adalah PT Sinar Panca Jasa, Semarang (PHK 2.000-an orang), PT Birtarex, Semarang (PHK 400-an orang), PT Johartek, Magelang (PHK 300-an orang, dan PT Pulo Mas, Bandung (PHK 100-an orang).
Tidak ingin terus berjatuhan, dalam rapat terbatas tersebut, pemerintah memutuskan untuk menyesuaikan kembali Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang merupakan perubahan ketiga atas Permendag Nomor 13 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Permendag 8/2024 nantinya akan dikembalikan lagi kepada aturan lama.
Dalam hal ini, pemerintah juga menyepakati diberlakukannya kembali Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk sejumlah komoditas, khususnya tekstil. Langkah ini diharapkan bisa menahan pabrik tekstil tutup hingga membendung gelombang PHK.
“Tadi Pak Menteri Perindustrian (Agus Gumiwang) karena ada masalah seperti ini [meminta] untuk dikembalikan lagi ke Permendag 8 lagi. Tapi tadi disepakati kita pakai instrumen pengenaan untuk TPT dan pakaian jadi, elektronik, alas kaki, dan keramik, tas dikenakan BMTP dan anti dumping,” ujar Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, usai rapat intern dengan presiden di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Dalam perjalanannya, pemerintah tercatat sudah mengutak-atik hampir lebih dari tiga kali mengubah regulasi yang mengatur impor. Mulai dari Permendag 36/2023, Permendag 3/2024, Permendag 7/2024, menjadi Permendag 8/2024 yang sekarang berlaku.
Namun, perubahan regulasi ini tak selesaikan masalah dan justru timbulkan polemik dari penumpukan puluhan ribu kontainer sampai badai PHK industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
“Nah, sementara untuk merumuskan melindungi jangka panjang usulan Kementerian Perindustrian apakah kembali ke Permendag 8 apakah susun aturan baru, nanti kami akan berunding lebih lanjut,” jelas dia.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menambahkan pihaknya siap mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pengenaan BMAD dan BMTP. Tinggal nanti, kata dia, menunggu aturan yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) lebih dahulu.
"Jadi Permenkeu akan keluar berdasarkan permintaan beliau (Menperin) dan Mendag. BMTP dan BMAD seterusnya akan di-follow up berdasarkan permintaan Mendag dan Menperin," timpal Sri Mulyani dalam kesempatan yang sama.
Pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Ernoiz Antriyandarti, melihat Permendag 8/2024 memang perlu segera direvisi dengan saksama. Tujuannya agar industri tekstil dan produk tekstil dalam negeri tidak semakin kehilangan daya saingnya.
“Respons cepat pemerintah terhadap keberatan para pelaku industri terkait kebijakan relaksasi impor patut diapresiasi. Sinergi yang dilakukan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan memberikan angin segar bagi pertekstilan Indonesia,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (26/6/2024).
Untuk mengembalikan daya saing tekstil Indonesia, kata wanita akrab disapa Riris itu, diperlukan proteksi dan penguatan produksi dalam negeri. Karena banyak faktor yang memengaruhi merosotnya daya saing tekstil Indonesia. Selain faktor geopolitik, ketidakpastian di pasar global, dan dominasi Cina, pasar domestik menjadi harapan industri TPT Indonesia.
“Oleh karena itu, peran aktif pemerintah melalui instrumen kebijakan yang tepat dapat memperbaiki utilisasi industri TPT dan menjadi salah satu kunci agar potensinya tidak semakin suram,” ujarnya
Langkah pemerintah untuk menyelamatkan industri TPT pun disambut baik oleh Presiden KSPN, Ristadi. Karena paling tidak kata Ristadi, ada perhatian lebih dari pemerintah dengan kembali diberlakukannya BMAD dan BMTP untuk sejumlah komoditas, khususnya tekstil.
“Saya apresiasi itu, walaupun apakah kebijakan itu efektif atau tidak nanti kita lihat,” jelas dia kepada Tirto, Rabu (26/6/2024).
Alasan Mendesak Permendag 8 Harus Direvisi
Pengamat industri pertekstilan sekaligus mantan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rizal Tanzil, mengatakan Permendag 8/2024 belum cukup untuk memproteksi industri TPT dalam negeri. Dia justru melihat formula awal di Permendag 36/2023 yang ideal untuk melindungi industri tekstil.
“Di mana d idalamnya terdapat peraturan teknis (pertek) yang menjadi filter impor,” jelasnya kepada Tirto, Rabu (26/6/2024).
Menurutnya, Permendag 8/2-24 yang berlaku saat ini, hanya memberlakukan peraturan teknis bagi Angka Pengenal Importir-Produsen (API-P), tetapi tidak memberlakukan pertek pada Angka Pengenal Importir Umum (API-U). Pertek API-U diatur cukup hanya dengan PI (Perizinan Impor) dan LS (Laporan Surveyor), sehingga tidak seimbang perlakuannya dan menyebabkan banjirnya impor.
Dalam pengertiannya, API-P untuk impor barang modal dan barang dan bahan yang tidak untuk dijual kembali (bukan perdagangan), sedangkan API-U duntuk impor barang untuk untuk dijual kembali (bidang perdagangan).
“Permendag 8 itu perlu diperbaharui, setidaknya pada pasal-pasal yang tidak berimbang antara peraturan importir produsen vs importir umum,” ujar dia.
Direktur Eksekutif API, Danang Girindrawardana, menilai problem dari Permendag 8/2024 itu memberikan semua hak impor pada API-U importir umum, tanpa melalui ketentuan pertek dan hanya menggunakan PI dan LS. Sementara untuk industri TPT, wajib pertek.
“Jadi, aturan itu terlalu longgar untuk importir umum non produsen,” jelasnya.
Sementara itu, Ristadi mengatakan, bagi para praktisi di TPT baik pekerja dan pengusaha tentu menginisiasi pemerintah untuk melakukan pembatasan importasi secara serius. Dalam hal ini, pemerintah harus mencari cara bagaimana barang-barang legal impor yang masuk harganya jangan sampai lebih murah dari barang diproduksi dalam negeri.
Ristadi juga mendesak agar pemerintah menutup celah masuknya barang-barang TPT ilegal. Bahkan bila perlu dilakukan pemeriksaan di pintu-pintu masuk pelabuhan dan bandara. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengawasi arus keluar barang asik dari luar negeri dan memfilter produk-produk ilegal.
“Pelabuhan kita kan banyak, maka ditempatkan petugas dari pemerintah untuk awasi arus keluar masuk barang dari luar negeri,” imbuhnya.
Selanjutnya, kata Ristadi, pemerintah juga harus aktif melakukan operasi pasar untuk mengamankan barang-barang ilegal impor di lapangan. Jika memang barang itu punya pedagang kaki lima, pemerintah bisa menoleransi agar barang tersebut bisa dijual dulu sampai habis.
“Tapi dengan catatan dia tidak boleh lagi beli barang ilegal,” katanya.
Selama ada jeda waktu tersebut, produsen tekstil dalam negeri bisa mempersiapkan barang sejenis untuk disuplai ke pasar-pasar domestik untuk dibeli atau dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Sehingga ke depan yang dijual adalah bukan barang-barang impor dari luar negeri.
“Saya kira paling konkret sederhana itu dulu sebetulnya,” tandasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi