Menuju konten utama

Ironi SYL: Mengaku Miskin, tapi Royal ke Biduan & Kolega

Klaim SYL sebagai menteri miskin hanyalah upaya playing victim dan usaha sia-sia mengais simpati. Tak perlu digubris.

Ironi SYL: Mengaku Miskin, tapi Royal ke Biduan & Kolega
Terdakwa kasus pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian yang juga mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan pertanyaan kepada saksi saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (10/6/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

tirto.id - Rangkaian akhir persidangan mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), atas kasus gratifikasi dan pemerasan di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan) ditutup dengan sebuah drama. Gubernur Sulawesi Selatan periode 2008-2018 itu tiba-tiba mendramatisir keadaan dan menarik perhatian dengan menyebut dirinya sebagai menteri paling miskin.

"Saya ini termasuk menteri yang paling miskin,” ujar SYL saat diperiksa sebagai terdakwa di persidangan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (24/6/2024).

Di hadapan majelis hakim, SYL bahkan menyebut bahwa rumah yang dimilikinya di Makassar hanya berupa BTN saat menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan. Itu pun, kata dia, belum lunas dan masih dicicil sampai sekarang.

“Karena saya berharap di akhir perjalanan umur saya yang 70 tahun saya berada di sini dan ini dicicil," kata SYL.

Pekan depan, SYL dan dua anak buahnya, Kasdi Subagyono dan M. Hatta, akan menjalani sidang tuntutan jaksa KPK. Dalam pernyataan penutupnya, SYL pun meminta maaf atas kesalahannya.

"Tetapi saya manusia biasa yang tentu banyak salah dan lain-lain,” tutur SYL.

Pengakuan SYL tersebut jelas bertentangan kenyataan dan dibuat-buat. Pasalnya, dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkannya pada 2022, SYL mencatatkan hartanya mencapai Rp20,05 miliar.

Sebelumnya, pada 31 Desember 2021, kekayaan SYL yang tercatat dalam LHKPN sebesar Rp19,61 miliar. Artinya, harta SYL yang tertuang dalam LHKPN 2022 adalah harta yang telah mengalami peningkatan—tepatnya sebesar Rp442,5 juta—dari tahun sebelumnya.

Pada 2021, SYL tercatat memiliki tanah seluas 990 meter persegi yang diklaimnya sebagai harta warisan. SYL juga membeli rumah seluas 35.921 meter persegi senilai Rp256 juta. Selain tanah dan bangunan, Syahrul juga mengoleksi beberapa kendaraan. Namun, tidak ada perubahan pada koleksi alat transportasi Syahrul antara 2019-2022.

Kendaraan yang dimiliki SYL di antaranya mobil Toyota Alphard (2004) seharga Rp350 juta, mobil Mercedes Benz (2004) seharga Rp250 juta, mobil Suzuki APV (2004) seharga Rp50 juta, mobil Mitsubishi Galant (2000) seharga Rp90 juta, motor Harley Davidson (1986) senilai Rp35 juta, mobil Toyota Kijang Innova (2014) senilai Rp200 juta, dan Jeep Cherokee (2011) senilai Rp500 juta.

Singkat kata, SYL jelas-jelas bukan orang miskin.

SYL ini bukan orang miskin sebagaimana halnya orang-orang miskin gitu ya. Tetapi, [dia] adalah orang yang sangat serakah,” ujar Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, kepada Tirto, Rabu (26/6/2024).

Menghamburkan Uang Hasil Korupsi

Pengakuan miskin yang disampaikan SYL tersebut adalah sebuah ironi. Pasalnya, dia mengaku miskin kala uang hasil korupsinya mencapai total Rp44,5 miliar. Uang sebanyak itu digunakannya untuk kepentingan pribadi, keluarga, bahkan hingga mengalir ke biduan.

Dalam dakwaan SYL, duit hasil korupsi tersebut digunakan untuk kepentingan istrinya sebesar Rp938 juta. Kemudian, untuk kepentingan keluarga sebesar Rp992 juta, keperluan pribadi Rp3,33 miliar, dan kado undangan Rp381 juta.

SYL juga diduga menggunakan uang Kementan untuk renovasi rumah pribadi. Biaya yang dikeluarkan untuk renovasi rumah tersebut adalah Rp52,7 juta untuk perbaikan taman, Rp40 juta untuk CCTV, Rp17 juta untuk gorden rumah, dan Rp48 juta untuk AC, smart tv, dan air purifier.

Tidak hanya itu, persidangan juga mengungkap bahwa SYL sering memberikan uang, tas Balenciaga, hingga membantu membayar cicilan apartemen seorang biduan bernama Nayunda. Penyanyi dangdut itu pun mengaku pernah meminta menjadi pegawai honorer di Kementan.

"Memang ironi. Dia itu adalah birokrat dengan pengalaman kerja puluhan tahun, juga soal pejabat dari tingkat di daerah sampai di tingkat pusat," kata Zaenur.

Strategi Playing Victim SYL

Ahli Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan bahwa para koruptor lazimnya memang selalu berusaha mendramatisasi keadaan untuk menarik perhatian. Apa yang dilakukan SYL pun sebenarnya merupakan strategi playing victim.

SYL berusaha sekuat tenaga merebut simpati orang-orang di sekitarnya dengan penggunaan diksi “miskin”. Hal itu dilakukan dengan cara memelas atau membuat seolah dirinya berada dalam kondisi buruk sehingga orang lain akan mengasihaninya.

Ini tidak mengherankan, sih, karena sudah jamak di mana-mana. Sebaiknya, hakim tidak perlu terpengaruh di luar fakta dalam persidangan,” ujar Herdiansyah kepada Tirto, Rabu (26/6/2024).

Zaenur Rohman menambahkan bahwa apa yang dilakukan SYL memang adalah cara untuk memunculkan rasa simpati dari publik. Selain itu, hal itu juga untuk menunjukkan kepada publik bahwa perbuatan korupnya adalah hal yang “wajar”.

Tetapi publik sama sekali tidak simpati kepada SYL. Karena, SYL ini juga bukan orang miskin sebagaimana halnya orang-orang miskin gitu ya,” jelas dia.

Zaenur menilai bahwa SYL sejak awal persidangan berusaha menyampaikan banyak sekali keterangan yang berisi bentuk-bentuk pembelaan diri. Meski demikian, kebanyakan narasi pembelaan diri itu tidak logis.

Misalnya, SYL mengatakan bahwa pemberian uang sebesar Rp1,3 miliar kepada Ketua KPK, Firli Bahuri, bukan untuk menyetop perkara di KPK, melainkan karena pertemanan. Narasi macam itu tentu tidak logis. Menurut Zaenur, mana ada orang memberi uang sebesar itu sekadar karena “pertemanan”. Lagi pula, mereka bukanlah teman.

Yang kedua, misalnya, berlindung di balik alasan perintah presiden. Mengumpulkan uang atas perintah presiden itu tentu juga tidak logis gitu ya,” jelas Zaenur.

Masih menurut Zaenur, tidak ada detail dari keterangan SYL yang bisa menunjukkan atau menguatkan bahwa itu adalah perintah presiden. Pasalnya, tidak ada keterangan yang bisa digunakan untuk melacak lebih lanjut terkait kapan dan di mana “perintah” tersebut diberikan atau bagaimana bentuk “perintahnya”.

Syahrul Yasin hadirkan dua saksi meringankan

Terdakwa kasus pemerasan dan gratifikasi di Kementerian Pertanian yang juga mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (tengah) menyampaikan pertanyaan kepada saksi saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (10/6/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

Termasuk bentuk-bentuk cara menarik simpati SYL dengan mengatakan dia miskin dan kemudian perbuatan-perbuatan yang dia lakukan juga dilakukan oleh menteri-menteri yang lain. Itu adalah bentuk-bentuk cara untuk menimbulkan rasa simpati pada publik,” jelas Zaenur.

Itulah sebabnya, Zaenur menilai itu semua sebagai upaya sia-sia dari SYL. Sudah gagal mengais simpati, cara-cara itu pun tidak ada manfaatnya sebagai pembelaan dirinya.

Mungkin yang cukup bermanfaat adalah justru keterangan-keterangan SYL itu bisa digunakan untuk mengembangkan kasus-kasus lain,” jelas dia.

Misalnya, keterangan SYL di depan persidangan ini semakin menguatkan sangkaan dari penyidik Polda Metro Jaya bahwa telah terjadi pemberian sejumlah uang kepada Firli Bahuri. Itu jelas merupakan tindak pidana korupsi.

Jika pemberian itu disertai pemaksaan oleh Firli kepada SYL, itu adalah jelas bentuk pemerasan. Jika uang itu diberikan itu untuk mengatur Firli agar KPK tidak menetapkannya sebagai tersangka, itu adalah bentuk suap. Dan jika uang itu sekadar hadiah tanpa ada maksud apa-apa, itu adalah gratifikasi.

Dan tiga-tiganya itu adalah merupakan bentuk tindak pidana. Tinggal nanti mana yang terbukti. Justru di bagian inilah, publik seharusnya meminta akuntabilitas dari penyidik Polda Metro Jaya. Mengapa kasus yang sudah cukup lama, tidak kunjung P21, tidak kunjung dilakukan penuntutan oleh kejaksaan di pengadilan,” pungkas Zaenur.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi