Menuju konten utama

Cegah Impunitas Polisi dalam Kematian Tragis Anak di Padang

Polda Sumbar diduga melakukan pelanggaran prosedur dalam menangkap para anak-anak dan remaja yang dituding hendak tawuran.

Cegah Impunitas Polisi dalam Kematian Tragis Anak di Padang
Ilustrasi Mayat. foto/Istockphoto

tirto.id - Juni datang beriring duka dan tanda tanya bagi orang tua Afif Maulana. Afif, bocah berusia 13 tahun, ditemukan tewas pada pekan pertama Juni di bawah jembatan Batang Kuranji, Kota Padang. Afif ditemukan warga penuh luka, Minggu (9/6/2024) lalu, dengan kondisi tak bernyawa.

Misteri masih menyelubungi kasus kematian Afif. Pasalnya, muncul dugaan anak tersebut tewas lantaran disiksa oleh anggota polisi daerah Sumatra Barat. Hal tersebut didasarkan hasil investigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang dirilis pekan lalu.

Atas temuan ini, pihak keluarga Afif berencana bertemu Komnas HAM untuk menindaklanjuti kejadian yang menimpa buah hati mereka. Direktur LBH Padang, Indira Suryani, mengaku bakal mendampingi audiensi tersebut.

Ia menuturkan, perwakilan dari LBH juga akan audiensi dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam kasus Afif. Sebab, dugaan kekerasan dalam kasus ini melibatkan sejumlah anak di bawah umur.

“Hari ini audiensi dengan KPAI melalui zoom,” ucap dia dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (24/6/2024).

Menurut hasil investigasi LBH Padang, dugaan penyiksaan tak hanya dialami Afif. Ada lima korban anak dan dua orang dewasa lainnya, mengaku mengalami penyiksaan yang diduga dilakukan anggota Sabhara Polda Sumatra Barat. Investigasi LBH Padang melaporkan, anak-anak tersebut ditangkap polisi lantaran dituding hendak tawuran.

Mulanya, sejumlah anggota Sabhara Polda Sumbar melakukan patroli pada Minggu, 9 Juni 2024 pukul 03.30 WIB dini hari. Pada waktu yang sama, korban AM [Afif Maulana] dan korban A mengendarai sepeda motor menuju utara. Pada pukul 04.00 WIB pagi, keduanya didatangi diduga anggota Sabhara Polda Sumbar yang melakukan patroli menggunakan motor dinas berjenis KLX.

Secara langsung, anggota polisi tersebut diduga menendang kendaraan yang ditunggangi korban AM dan korban A hingga jatuh ke kiri jalan. Saat terpelanting, korban AM berjarak sekitar 2 meter dari korban A. Setelahnya, A ditangkap anggota Polda Sumbar dan dibawa ke Kepolisian Sektor Kuranji.

Saat ditangkap, A melihat korban AM sempat berdiri dan dikelilingi sejumlah anggota Polda Sumbar yang memegang rotan. Setelah itu, A tidak pernah lagi melihat korban AM karena diamankan terpisah. Korban AM alias Afif Maulana baru ditemukan warga dalam kondisi mengambang tak bernyawa di bawah aliran jembatan Batang Kuranji, sekira pukul 11.55 WIB siang.

Afif ditemukan dengan kondisi luka lebam di pinggang sebelah kiri, punggung, pergelangan tangan dan siku. Bagian pipi kiri Afif membiru, dan ada luka yang mengeluarkan darah di kepala bagian belakang dekat telinga. Lebih lanjut, Senin (10/6/2024), hasil berkas autopsi jasad Afif pada bagian III menunjukkan tentang cara kematian, di poin 15 tentang kematian tidak wajar sertifikat a quo dilingkar pada bagian belum ditentukan.

Namun, keluarga korban mendapatkan informasi dari anggota Polresta Kota Padang inisial H, bahwa Afif meregang nyawa akibat tulang rusuk patah enam buah dan robek di bagian paru-paru. Merespons kejadian ini, orang tua Afif membuat laporan ke Polresta Kota Padang dengan Nomor: LP/B/409/VI/2024/SPKT/POLRESTA PADANG/POLDA SUMATERA BARAT.

Di sisi lain, korban A dan anak-anak lain yang ditangkap Sabhara Polda Sumbar mengaku juga mendapatkan penyiksaan. LBH Padang melaporkan, korban A mengaku ditendang dua kali di bagian muka, disetrum serta diancam untuk tidak melaporkan kejadian tersebut.

A dan korban-korban lain dibawa ke Polda Sumbar pada Minggu pagi. Hingga pukul 10.00 WIB, A dan korban-korban lain akhirnya diperbolehkan pulang kerumah masing-masing. Hal itu dilakukan setelah mereka mendapat “pelajaran” dan membuat perjanjian tidak melakukan kesalahan yang sama.

“[Di sana] Disuruh jalan jongkok dan berguling-guling sampai muntah, kalau belum muntah belum boleh berhenti,” ungkap Direktur LBH Padang, Indira Suryani.

Merespons hasil investigasi LBH Padang, Kapolda Sumbar Irjen Suharyono, menyatakan sudah memeriksa puluhan saksi terkait kasus dugaan penganiayaan terhadap Afif hingga meninggal dunia. Puluhan saksi tersebut di antaranya adalah 15 anak dan dua dewasa yang ditangkap saat hendak tawuran.

Selain itu, ada saksi dari pihak jajaran Sabhara yang menangkap mereka. Polda Sumbar turut melibatkan Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) menangani perkara ini demi membuktikan ada atau tidaknya penyiksaan yang dituduhkan.

“Ada [saksi dari] 30 orang personel Sabhara Polda Sumbar yang mana pas kejadian itu sedang mengamankan 18 orang pelajar yang tawuran di Kuranji tersebut,” ujar Suharyono dalam konferensi pers, Minggu (23/6/2024).

Dugaan Pelanggaran Prosedur

Anggota Divisi Hukum dari Kontras, Muhammad Yahya Ihyaroza, menduga Polda Sumbar telah melakukan pelanggaran prosedur dalam menangkap para anak-anak dan remaja yang dituding hendak tawuran. Padahal dalam menangani kasus anak berurusan dengan hukum, polisi seharusnya mengedepankan sistem peradilan pidana anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.

“Seharusnya polisi mengedepankan sistem peradilan pidana anak, bukan menunjukkan arogansi atau kesewenang-wenangannya melakukan tindak proses hukum terhadap mereka yang diduga tawuran,” ujar Yahya kepada reporter Tirto, Senin (24/6/2024).

Yahya menilai dalam kasus ini, polisi sudah mengangkangi banyak ketentuan prosedur. Baik aturan yang berlaku di internal Polri, maupun regulasi nasional dan internasional. Seperti melanggar Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM di kepolisian.

Dugaan penyiksaan terhadap korban anak dan dewasa yang ditangkap juga melanggar berbagai regulasi anti-penyiksaan. Seperti dalam Pasal 28 g ayat (2) UUD 1945; Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menjadi UU nomor 12 tahun 2005; Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) menjadi UU Nomor 5 Tahun 1998, serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

“Kami temukan dugaan motif penyiksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap para korban untuk mendapatkan pengakuan dari mereka bahwa memang telah melakukan tawuran,” jelas Yahya.

Kultur kekerasan yang masih dinormalisasi oleh aparat penegak hukum dinilai sebagai salah satu faktor mengapa kejadian brutalitas polisi terus berulang. Berdasarkan catatan KontraS, setidaknya terjadi 308 peristiwa kekerasan sejak Januari hingga Juni 2024 melibatkan polisi.

“Pelaku dari pihak polisi juga cenderung ditindak etika semata atau cuma pidana ringan. Itu menyebabkan praktik impunitas hingga kini masih langgeng dan tidak ada keseriusan,” tegas Yahya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Ruang Anak Dunia (Ruandu) Sumatra Barat, Muharman, menyesalkan kejadian yang menimpa Afif Maulana. Menurutnya, lebih baik jika dibentuk tim pencari fakta yang terdiri dari pihak independen untuk dapat mengungkap fakta-fakta yang menjadi penyebab kematian Afif.

“Hal ini menjadi penting selain untuk mengungkap kebenaran, tentu juga penting untuk membangun transparansi dan akuntabilitas penanganan kasus ini,” kata Muharman kepada reporter Tirto, Senin (24/6).

Agar tidak terjadi simpang siur, kata dia, polisi harus mengandalkan data-data saintifik atau metode criminal scientific investigation dalam kasus ini. Jika ada anggota polisi yang terbukti bersalah dalam kasus ini, harus dihukum sesuai dengan pidana yang berlaku.

“Jika sudah melibatkan anak, maka Undang-Undang 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak harus menjadi dasar dalam memberikan putusan [juga],” ujar Muharman.

Transparan dan Profesional

Pemerhati hak anak, Retno Listyarti, menyayangkan sikap polisi jika terbukti benar bahwa mereka melakukan penyiksaan terhadap Afif dan korban lain. Polisi seharusnya melakukan tindakan sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak.

Retno juga mendesak pelibatan pihak di luar kepolisian dalam pengusutan kasus ini. Dia khawatir, polisi tak bertindak tegas dan transparan karena memeriksa rekan mereka sendiri.

“Jangan jeruk makan jeruk, Polda Sumbar yang lakukan periksa oleh mereka sendiri. Jadi bukan kita tidak percaya, tapi ini kan ada korban anak jadi harus transparan dan benar prosesnya,” ujar Retno kepada reporter Tirto, Senin (24/6).

Polda Sumbar diminta terbuka kepada publik untuk menyampaikan perkembangan kasus Afif Maulana. Polisi, kata Retno, harus mendengarkan keterangan saksi anak yang sempat ditangkap dengan seksama tanpa tekanan. Adapun jika polisi membantah, harus diperkuat dengan alibi yang kuat bukan sekadar menepis tudingan lewat pernyataan.

“Jangan mentang-mentang saksi banyak yang usia anak dianggap tidak benar,” ujar Retno.

Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi, meminta publik dan media terus mengawasi kasus ini. Jika dugaan penyiksaan dilakukan polisi tidak terbukti, dia menilai harus ada penjelasan yang kuat dan meyakinkan dari kepolisian.

“Karena ini menyangkut kepercayaan publik,” kata Seto kepada reporter Tirto, Senin (24/6).

Seto menilai, bila polisi terbukti melanggar hak anak bahkan melakukan penyiksaan, maka anggota yang terlibat harus diseret ke ranah pidana. Hal ini akan menunjukkan bahwa polisi berpihak pada perlindungan hak anak.

“Jika benar terjadi, ada baiknya disarankan anggota [polisi] di lapangan rutin mendapatkan konseling psikologis. Keadaan mental punya faktor mendorong perlakuan ekses aparat saat penindakan,” jelas Seto.

Di sisi lain, pemerintah berjanji bakal turun tangan mengawal kasus Afif Maulana. Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar. Dia mengaku sudah minta jajarannya di daerah untuk melakukan pemantauan.

Saat ini, Nahar mempercayakan pengusutan kasus ini ke aparat penegak hukum. Pihaknya baru akan bertindak lebih lanjut setelah hasil pengusutan polisi sudah diumumkan.

“Karena ini diisukan pelakunya dari petugas [aparat] tertentu, kami koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait memastikan bahwa misalnya prosedur penanganan, lalu kemudian SOP lainnya bisa dijalankan,” kata Nahar kepada wartawan saat sela-sela acara Rakornas PPA di Dyandra Convention Center, Surabaya, Senin (24/6).

Mabes Polri turut melakukan asistensi terhadap jalannya pengusutan kasus ini. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Wisnu Andiko, mengatakan, asistensi yang diberikan berupa petunjuk dan arahan (jukrah). Polri meminta publik tidak beropini sebelum ada titik terang terhadap kasus Afif Maulana.

Baca juga artikel terkait KASUS KEKERASAN APARAT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur & Ayu Mumpuni
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang