tirto.id - Peringatan:Artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi pembaca melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri atau individu lain. Jika Anda merasakan gejala gangguan kejiwaan, atau muncul kecenderungan berupa melukai diri dan individu lain, segera konsultasikan kondisi Anda ke pihak-pihak profesional yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.
Kesehatan mental ibu di masa kehamilan dan pascapersalinan begitu rentan. Perhatian dan pendampingan dari orang terdekat serta dukungan sosial, akan sangat membantu melewati masa-masa itu. Kendati demikian, kesehatan mental ibu kerap diabaikan bahkan di nomor sekian kan oleh orang-orang terdekatnya sendiri.
Kasus polisi wanita di Mojokerto, Jawa Timur, yang membakar suaminya, Sabtu (8/6/2024) lalu, jadi pelajaran penting terkait kesehatan mental ibu pascapersalinan. Briptu FN (28), pelaku kasus ini, disebut kesal dengan tabiat suaminya yang ketagihan bermain judi online. Korban yang juga merupakan anggota polisi, Briptu RDW (27), disebut menghabiskan uang kebutuhan keluarga untuk berjudi.
Di sisi lain, diduga FN mengalami depresi pascapersalinan yang dipicu kondisi sindrom baby blues. FN baru saja kembali masuk kerja setelah selesai cuti melahirkan. Belum lama ini FN melahirkan bayi kembar, sementara anak pertamanya masih berusia 2 tahun. Saat kejadian, anak-anaknya tengah berada dalam pengawasan asisten rumah tangga.
Psikolog klinis, Veronica Adesla, menyatakan bahwa proses persalinan tentu membawa perubahan dalam hidup seorang ibu. Wajar untuk seorang Ibu mengalami beragam emosi perasaan terkait dengan kelahiran seorang bayi dalam hidupnya. Kondisi baby blues sendiri hal yang umum muncul pascapersalinan sebab adanya perubahan hormon yang signifikan dirasakan tubuh seorang ibu.
“Dalam beberapa hari di awal hingga dia minggu pertama setelah melahirkan, seorang Ibu dapat mengalami baby blues dimana muncul perasaan gelisah, tegang, sedih, seperti ingin menangis, atau merasa kewalahan,” kata Vero, sapaan akrabnya, kepada reporter Tirto, Kamis (13/6/2024).
Kondisi baby blues, kata dia, biasanya akan membaik setelah beberapa minggu. Kondisi ini juga akan lebih mudah dilalui dengan adanya dukungan emosional dari lingkungan keluarga dan juga upaya merawat diri oleh ibu sendiri (self-care). Seorang ibu pascapersalinan perlu mendapatkan apresiasi, penghargaan, pelukan, dan kasih sayang dari orang terdekatnya.
“Selain itu seorang Ibu juga butuh waktu untuk merawat diri, seperti mandi dan makan serta beristirahat dengan cukup, sehat dan tenang, sesekali pergi jalan-jalan,” tutur Vero.
Di sisi lain, ketika kondisi baby blues yang dirasakan ibu pascapersalinan menjadi semakin parah, lebih intens dan memburuk, maka harus diwaspadai kondisi depresi pascapersalinan (postpartum depression). Kondisi ini memerlukan diagnosis dan penanganan dari tenaga kesehatan sebab terjadi dalam jangka waktu lebih panjang. Meski demikian, postpartum depression juga tidak selalu diawali kondisi baby blues.
Menurut Vero, beberapa gejalanya seperti banyak menangis, merasa sedih, tidak berharga, tidak kompeten, merasa cemas, gelisah atau pun merasa bersalah. Ibu yang mengalami depresi pascapersalinan juga bisa merasa sangat lelah, lebih emosional atau bahkan tidak bisa merasakan emosi apapun.
“Adanya tuntutan atau tekanan yang datang dari pasangan atau pun anggota keluarga juga mempengaruhi postpartum depression,” ujar Vero.
Sementara itu, Dokter Spesialis Kandungan RS Bunda, Ivan Sini, menyatakan kondisi baby blues terjadi pada satu dari empat ibu hamil. Kondisi ini bisa juga disebut sebagai gangguan adaptasi terhadap proses memiliki keturunan.
“Ini suatu hal yang wajar dan biasanya dengan bantuan social support, kondisi baby blues bisa berkurang,” kata Ivan kepada reporter Tirto, Kamis.
Menurut Ivan, kondisi baby blues memang merupakan salah satu faktor risiko postpartum depression. Maka menjadi tugas bagi orang terdekat untuk mengawasi tanda-tanda depresi pascapersalinan yang bisa dialami seorang ibu.
“Terutama yang dikhawatirkan cukup berat terutama self harming atau bisa menyakiti orang lain. Ini perlu pendampingan dan pemantauan tenaga kesehatan,” ujar Ivan.
Sayangnya, ujar Ivan, kondisi kesehatan mental ibu pascapersalinan memang masih kurang mendapatkan perhatian masyarakat. Padahal dukungan dari pasangan, keluarga, dan sosial sangat berperan penting agar dapat mencegah kondisi baby blues berubah menjadi depresi pascapersalinan.
“Pasangan, keluarga, dan social support sangat penting,” tegas Ivan.
Selain kasus polwan yang membakar suaminya, kasus-kasus lain yang diduga berkaitan dengan kondisi baby blues dan depresi pascapersalinan beberapa kali menjadi sorotan. Misalnya pada September 2023 lalu, viral sebuah video di media sosial yang menampilkan adegan seorang ibu hendak melempar anaknya yang masih bayi ke rel kereta api di stasiun KRL Pasar Minggu, Jakarta. Beruntung petugas stasiun dengan sigap dibantu penumpang lain, berhasil menghentikan kejadian dan dapat menenangkan ibu tersebut. Diduga si ibu mengalami baby blues dalam kejadian ini.
Kasus lain seorang ibu berinisial FM, usia 29 tahun, membunuh bayinya sendiri yang masih berusia tiga bulan, Minggu (1/8/2019) silam, di rumahnya yang berada di Kecamatan Cibeunying Kaler, Kota Bandung. FM mengaku mendapat bisikan gaib yang meminta ia membunuh bayinya sendiri agar bisa masuk surga. Dia juga mengaku belum siap memiliki anak, kondisi FM diduga berkaitan dengan depresi pascapersalinan.
Ada juga seorang ibu berinisial FH (25 tahun) sempat menggegerkan warga Jember karena telah membuang bayi kandungnya yang masih berusia 40 hari ke dalam sumur. Hal itu dilakukan FH, Agustus 2022 silam, di sumur dekat dapur rumahnya yang terletak di Dusun Bregoh, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, Jember.
Menurut pengakuan FH, dia tega melakukan tindakan itu karena tidak tahan dirundung atau diejek oleh orang sekitarnya. Dia diejek karena tidak bisa memberikan bayinya ASI dan dianggap perempuan yang kurang sempurna.
Data global menyebut prevalensi depresi pascapersalinan secara global sekitar 13 persen dengan proporsi kejadian lebih tinggi di negara-negara berkembang sebesar 20 persen. Sementara untuk angka kejadian depresi pascapersalinan di Asia cukup tinggi yakni 26 sampai 85 persen. Di Indonesia, angkanya bahkan mencapai 50-70 persen. Kendati demikian, Kementerian Kesehatan mengakui belum ada data resmi dari pemerintah terkait fenomena ini.
Data global lain menyebut, 1 dari 10 perempuan mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma setelah persalinan. Tiga puluh persen ibu baru yang alami komplikasi kehamilan juga diketahui mengalami PTSD.
Perempuan yang memiliki riwayat bipolar disorder, 40 persen berisiko alami depresi pascapersalinan. Dan mereka yang mengalami depresi pascapersalinan berisiko 10 hingga 50 persen kembali mengalaminya. Sedangkan 1-2 dari 1.000 perempuan sudah mencapai tahap psikosis pascapersalinan, dan 10 persen di antaranya berujung pada bunuh diri atau membunuh bayinya.
Hapus Stigma
Stigmatisasi dan tuntutan yang dihadapi ibu setelah melahirkan juga dapat menjadi faktor terjadinya depresi pascapersalinan. Umumnya perhatian masyarakat juga masih terfokus pada pemulihan kesehatan fisik ibu. Padahal, bisa jadi secara fisik ibu kelihatan baik-baik saja pascapersalinan, namun memiliki gangguan kesehatan mental yang dirasakan.
Penting bagi pasangan dan keluarga menjadi garda terdepan dalam memperhatikan dan mendampingi ibu pascapersalinan. Membebani seorang ibu dengan berbagai ekspektasi dan tuntutan justru membuat adaptasi setelah melahirkan akan semakin berat.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, memandang secara umum masyarakat belum memahami masalah kesehatan mental pada ibu pascapersalinan. Masyarakat belum mengenali seperti apa kondisi baby blues atau depresi pascapersalinan. Di sisi lain, menurut dia, gangguan kesehatan mental perempuan setelah melahirkan juga dapat muncul karena dorongan orang di sekitarnya.
“Tuntutan keluarga serta ekspektasi masyarakat yang diharapkan terhadap perempuan. Seperti Ibu itu harus sabar, kuat, dan mampu memberikan perawatan paripurna untuk bayi yang baru dilahirkan, atau segera kembali ke bentuk tubuhnya,” kata Siti Aminah kepada reporter Tirto.
Dia menambahkan, peran pasangan dan keluarga menjadi penting untuk dapat mengetahui dan mendampingi ibu yang mengalami kondisi baby blues dan depresi pascapersalinan. Hal itu bisa dilakukan oleh suami dengan memberikan dukungan kepada istri, termasuk mencari bantuan profesional untuk menangani kondisi tersebut.
“Bentuk dukungan konkret mencegahnya adalah membangun kesalingan sejak kehamilan, bahu-membahu dalam merawat bayi, saling belajar terus-menerus untuk perawatan dan pengasuhan anak,” ujar dia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menyatakan kondisi melahirkan dan memiliki anak akan berdampak pada fisik, psikologis, dan sosial seorang perempuan. Mengasuh dan merawat anak masih dianggap semata risiko yang mesti ditelan oleh seorang ibu tanpa memperhatikan kondisi kesehatan fisik dan mentalnya.
“Banyak hal yang dipikirkan seorang ibu ketika dia harus menghadapi situasi-situasi pascamelahirkan, apalagi ketika misalnya ekonomi atau situasi ekonominya tidak stabil ini juga akan semakin mempengaruhi atau merentankan perempuan,” ujar Mike kepada reporter Tirto, Kamis.
Masyarakat apalagi orang terdekat, tidak boleh memandang kondisi kesehatan mental ibu yang terguncang pascapersalinan sebagai sesuatu yang berlebihan, lebay, atau bahkan dianggap keanehan. Dia berharap ada sosialisasi yang lebih masif agar masyarakat perhatian dengan kondisi kesehatan mental ibu, terutama yang sedang hamil dan pascapersalinan.
“Sudah banyak ya kasus-kasus [berkaitan depresi pascapersalinan] yang muncul. Nah itu seharusnya ini sudah mulai di apa pemerintah harus [menangani] responsif,” kata Mike.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang