tirto.id - Target penurunan angka stunting atau tangkes era pemerintahan Presiden Joko Widodo terancam gagal tercapai sebelum jabatannya rampung. Jokowi memang mematok target penurunan prevalensi stunting dengan capaian yang cukup tinggi. Dia ingin prevalensi stunting berada di angka 14 persen saat periode kepemimpinannya berakhir.
Hingga saat ini, capaian prevalensi stunting di Indonesia sudah sebesar 21,5 persen. Angka ini didapat dari Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Dibanding 2022, berarti prevalensi stunting hanya turun 0,1 persen dari sebelumnya sebesar 21,6 persen. Angka ini tentu masih sangat jauh dari target yang dimau Jokowi. Presiden sendiri semakin menyadari bahwa patokan yang dipasangnya terlalu ambisius.
Kendati demikian, Jokowi tetap optimistis terhadap upaya pemerintahannya mengejar target penurunan angka stunting. Meski terkesan ambisius, Jokowi tetap bertekad menurunkan prevalensi stunting dari 37 persen di periode awal dia menjabat, menjadi 14 persen sebelum turun takhta.
“Ya yang namanya target kita, kan, memiliki target yang sangat ambisius dari 37 melompat ke 14,” kata Jokowi usai melakukan inspeksi di Posyandu Terintegrasi RW02 RPTRA Taman Sawo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (11/6/2024).
Jokowi meminta seluruh jajarannya ikut bekerja sama dalam proses penurunan stunting. Dia menuturkan, masyarakat Indonesia bisa menilai kinerja dan upaya pemerintah nanti di akhir masa jabatan kabinetnya.
“Ini ambisius banget tapi memang kita harus bekerja keras mencapai target, nah nanti akhir tahun kita lihat berapa,” sambung Jokowi.
Wasekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sekaligus Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, memandang, target angka prevalensi stunting 14 persen sudah tidak realistis dengan jangka waktu yang singkat ini. Padahal, sejak awal banyak pakar menduga target ambisius Jokowi itu akan sulit dicapai di tahun ini.
“Ditambah memang implementasi di lapangan itu banyak ragamnya, kadang enggak sesuai yang diharapkan,” ujar Narila kepada reporter Tirto, Selasa (11/6/2024).
Di sisi lain, capaian penurunan stunting yang dilakukan pemerintahan Jokowi memang perlu diapresiasi. Angka stunting di Indonesia turun lebih dari 10 persen sejak dipimpin Jokowi. Namun, berdalih bahwa target prevalensi stunting miliknya ambisius tidak menghilangkan indikasi bahwa program pengentasan tangkes ini masih belum terlaksana secara efektif.
Padahal, penurunan prevalensi stunting masuk dalam program prioritas yang digarap serius. Anggaran untuk stunting nasional mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun. Pada 2023 saja, total anggaran yang dialokasikan untuk penanganan stunting sebesar Rp30 triliun. Program percepatan penurunan stunting tahun ini saja melibatkan 17 kementerian/lembaga, termasuk pihak swasta.
“Perlu dilihat bahwa menurunkan stunting itu butuh intervensi yang komprehensif. Dan yang paling penting kalau mau menurunkan stunting, fokusnya pencegahan,” ujar Narila.
Sama seperti semua penyakit, kata Narila, penanganan stunting juga perlu dilakukan lewat perspektif promotif-preventif dengan deteksi dini yang mumpuni. Stunting sendiri merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, serta stimulasi psikososial yang tak mendukung. Kondisi tersebut ditandai dengan panjang atau tinggi badan anak yang berada di bawah standar umurnya.
Stunting merupakan batu sandungan nyata untuk mencapai generasi Indonesia Emas 2045. Stunting membuat otak anak tidak berkembang sehingga membuat anak sulit konsentrasi, memiliki kecerdasan rendah, dan membuatnya sulit menangkap pelajaran. Kondisi ini juga membuat daya tahan tubuh anak rendah sehingga mudah terserang penyakit.
Bank Dunia pada 2016 menyatakan, negara dengan prevalensi stunting tinggi berpotensi mengalami kerugian ekonomi sebesar 2-3 persen per tahun dari pendapatan domestik bruto (PDB). Maka dengan PDB Indonesia 2023 mencapai Rp20.892,4 triliun, kerugian ekonomi yang dialami Indonesia akibat stunting saja mencapai Rp418-627 triliun pada tahun lalu.
“Investasi juga perlu banget seperti kesehatan dan pendidikan. Bukan hanya alokasi dana yang cukup tapi juga benar implementasi pengeluaran dananya, harus tepat guna,” sebut Narila.
Menurut dia, penanganan stunting belum menyentuh akar masalah yang ada secara holistik. Penanganan tangkes bukan cuma soal intervensi pemenuhan gizi anak. Namun juga soal memperbaiki status ekonomi, status pendidikan, kedudukan perempuan, pengetahuan ibu dan keluarga, hingga perbaikan pola asuh, serta lingkungan hidup.
“Banyak sekali faktor yang butuh diperhatikan agar stunting turun. Jadi kalau enggak komprehensif ya penurunan stunting juga enggak sesuai harapan,” ujar dia.
Narila menyatakan, pembangunan yang digenjot pemerintah Presiden Jokowi seharusnya bukan terfokus soal infrastruktur yang megah semata. Namun juga pembangunan sumber daya manusia Indonesia itu juga perlu menjadi faktor yang penting dilakukan. Di akhir masa pemerintahannya, Jokowi juga diminta agar mengevaluasi pendekatan penanganan stunting yang sudah dilakukan selama ini.
“Evaluasi apakah pendekatan yang dilakukan untuk penanganan stunting sudah benar. Identifikasi hal apa saja yang menyebabkan gagalnya penurunan sesuai target,” ujar dia.
Pembelajaran Mahal
Peneliti dari Global Health Security Griffith University, Dicky Budiman, menyatakan capaian stunting Presiden Jokowi sebetulnya sudah cukup baik dengan penurunan yang signifikan. Namun, belakangan angka penurunan stunting kian berjalan lambat bahkan jalan di tempat. Perlu evaluasi yang komprehensif untuk menemukan masalah yang menghambat program penurunan stunting.
“Ini harus menjadi pembelajaran sangat mahal bahwa pembangunan manusia Indonesia itu, ya antara lain mengatasi stunting. Ketika program pencegahan dan mengatasi stunting ini dilakukan, manfaatnya bukan hanya untuk kelompok-kelompok yang jadi target saja, tapi ini berdampak pada masyarakat secara umum,” ujar Dicky kepada reporter Tirto, Selasa, 11 Juni 2024.
Dicky menilai, penetapan target angka penurunan stunting seharusnya tidak dipatok sesuai besaran yang ambisius belaka. Ambisius memang perlu, kata dia, tetapi target yang realistis dan didukung basis sains kuat akan jauh lebih efektif. Selain itu, target angka yang tinggi semata justru berpotensi melupakan capaian penurunan stunting yang kualitatif.
“Artinya penetapan target ini tidak boleh cuma jadi alat propaganda atau alat kampanye saja, tapi harus dibuat dengan bijak dan rasional. Rasional itu artinya tidak cuma ambisius,” kata Dicky.
Program penurunan stunting disarankan tidak cuma berfokus dari pusat ke daerah. Hal ini sebab kondisi stunting dan sumber daya di daerah berbeda-beda, sehingga penanganan bisa dilakukan dengan memanfaatkan lokalitas. Dicky berujar, pemerintah tidak perlu takut atau malu jika sewaktu-waktu program penurunan prevalensi stunting harus dirombak jika ada evaluasi berbasis saintifik.
“Bisa susun target berbasis kemampuan lokal dan resources yang ada. Ini yang saya kira harus dibangun, karena kalau top-down saja akhirnya yang bergerak di atas. Khawatirnya yang terjadi perubahan hanya di angka,” jelas Dicky.
Sementara itu, Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, menilai dari awal angka penurunan stunting yang dipatok Jokowi memang cukup ambisius. Sebab Badan Kesehatan Dunia (WHO) saja memasang standar minimal untuk prevalensi stunting sebesar 20 persen bagi seluruh negara.
“Masalah stunting bukan cuma masalah kurang asupan, tapi multifaktorial yang mesti ditangani banyak hanya untuk dapat turun 1 persen saja,” ujar Grace kepada reporter Tirto.
Di awal, pemerintah Jokowi memang cukup serius menggarap program penurunan stunting. Namun, pada akhir 2021 ada perubahan fokus intervensi dan pimpinan dari sebelumnya dipegang Kementerian Kesehatan menjadi beralih ke BKKBN. Alhasil, kata Grace, program yang tadinya sudah berjalan berfokus di pengasuhan anak usia dini, menjadi bergeser ke intervensi kesehatan ibu dan remaja putri.
“Pindah fokusnya tidak masalah secara keilmuan kesehatan dan gizi, tapi tentu membuat orang harus adaptasi lagi program, belajar hal baru lagi, koordinasi ulang, padahal support dana mulai menurun,” jelas Grace.
Di akhir periode Jokowi, dia juga melihat fokus pembangunan fisik sektor kesehatan justru berfokus pada perspektif kuratif-rehabilitatif. Padahal stunting seharusnya dibenahi dengan upaya promotif-preventif sebagaimana kondisi penyakit lain.
“Upaya kolaborasi lintas sektor yang gencar di awal penanganan stunting harus dibiasakan lagi dan jangan mati di tengah jalan,” tambah Grace.
Upaya Pemerintah Kejar Target
Pemerintah saat ini tengah melaksanakan program Pengukuran dan Intervensi Serentak Pencegahan Stunting Tahun 2024. Kegiatan ini dilakukan secara nasional di 38 Provinsi, sehingga akan didapatkan data akurat by name by address yang menjadi dasar pemberian intervensi program stunting semakin terarah dan tepat sasaran.
Sasaran pengukuran dan intervensi serentak ini adalah semua calon pengantin, ibu hamil, dan balita yang diharapkan datang ke Posyandu melakukan pendataan, penimbangan, pengukuran, edukasi, validasi, dan intervensi. Untuk itu, kesiapan sarana dan prasarana seperti antropometri yang terstandar, kader yang kompeten, dan tenaga kesehatan juga dipersiapkan dengan baik.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, menyatakan pengukuran dan intervensi serentak pencegahan stunting dilakukan sebagai upaya kejar target mempercepat penurunan stunting 14 persen tahun ini. Menurut dia, upaya ini mencegah kasus stunting baru lebih maksimal dan mendapatkan data yang lebih baik.
“Bulan ini kita harapkan di seluruh Indonesia, seluruh kader posyandu, kader pendamping keluarga dan seluruh jajaran perangkat desa kecamatan sampai tingkat kabupaten kota provinsi bergerak bersama,” ujar Muhadjir lewat keterangan tertulis pekan lalu.
Dia menjelaskan, kunci penanganan stunting adalah kesadaran ibu memantau pemenuhan gizi serta pertumbuhan dan perkembangan anak. Muhadjir meminta para ibu rutin datang ke posyandu untuk melakukan penimbangan agar anak dapat dipantau tumbuh kembangnya.
Apabila berat badan anak tidak naik atau turun, maka bisa segera konsultasi ke petugas kesehatan dan kader posyandu. Terlebih saat ini, dimungkinkan untuk melakukan konsultasi menggunakan layanan pesan singkat daring.
“Kalau sudah tahu timbangannya turun segera lapor. Jangan menunggu didatangi (kader posyandu), harus ada kesadaran sendiri dari ibu,” ungkap Muhadjir.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz