tirto.id - Persamuhan tertutup anggota Ombudsman dengan BP Tapera, Senin (10/6/2024), semakin menegaskan bahwa iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) memang beban bagi buruh. Usai pertemuan, anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, justru menyatakan skema iuran Tapera bakal dikaji kembali dengan kemungkinan sepenuhnya ditanggung pekerja. Padahal, aturan saat ini menyatakan iuran wajib 3 persen peserta Tapera ditanggung pengusaha atau perusahaan 0,5 persen dan dari upah pegawai 2,5 persen.
Ombudsman seakan menambah lumpur dalam kolam yang sudah keruh. Skema iuran Tapera saat ini saja terbukti menimbulkan reaksi penolakan keras oleh masyarakat dan serikat buruh. Beban buruh atau para pegawai bakal semakin besar jika skema iuran justru ditanggung seluruhnya oleh pekerja.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Silaban, mempertanyakan sikap Ombudsman yang tiba-tiba melontarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, sikap Ombudsman justru menunjukkan jelas bahwa pemerintah lebih mendengar keluhan pihak perusahaan atau pemberi kerja dibandingkan teriakan buruh.
“Kita [wajib iuran] 2,5 persen saja buruh sudah marah-marah. Dan malah membebaskan kewajiban pengusaha, itu maksudnya apa Ombudsman? Biar pengusaha pro dengan pemerintah mungkin seperti itu ya,” kata Elly kepada reporter Tirto, Senin (10/6/2024) malam.
Sebelumnya, anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, beralasan hasil kajian pemerintah menunjukkan bahwa kewajiban iuran Tapera jika dibebankan ke pemberi kerja, berpotensi mengganggu pemasukan perusahaan (cashflow). Dengan begitu, BP Tapera tidak berani memaksakan iuran tersebut ditanggung juga oleh perusahaan.
“Seyogianya, iuran Tapera ini tidak melibatkan pengusaha, jadi melibatkan kesadaran pekerja untuk masuk sebagai kepesertaan Tapera,” ucap Yeka dalam konferensi pers di Kantor Badan Pengelola Tapera, Jakarta, Senin (10/6/2024).
Kesadaran untuk semakin menderita mungkin lebih tepat. Pernyataan Ombudsman dan BP Tapera jelas mengabaikan tuntutan buruh yang berkali-kali menyampaikan keberatan atas potongan wajib iuran Tapera. Alih-alih mempertimbangkan masukan dari buruh dan suara pekerja, tampaknya pemerintah lebih terganggu dengan rengekan para pengusaha.
“Pemerintah menyatakan akan meninjau ulang Tapera [saja] kan artinya memang ada yang tak beres,” ujar Elly.
Elly berpendapat, saat ini, memang buruh dan pihak pemberi kerja sama-sama meributkan iuran Tapera yang akan membebani mereka. Akan tidak adil jika suara yang diakomodir hanya dari pihak pengusaha atau perusahaan. Harapan serikat buruh, jika pemerintah tidak mampu membatalkan Tapera, setidaknya dapat ditinjau ulang pasal-pasal yang mewajibkan Tapera bagi seluruh pekerja menjadi sukarela atau opsional.
“Kita tidak mau pemerintahan mendatang sudah dilantik langsung didemo hanya gara-gara Tapera ini. Sebaiknya beliau [pemerintah] menerima saja keluhan para serikat buruh,” jelas Elly.
Polemik Tapera ramai setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25/2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, yang diteken Presiden Jokowi pada 20 Mei 2024. Aturan anyar ini merupakan turunan dari UU Nomor 4/2016 tentang Tapera (UU Tapera).
Masyarakat mulai merasa kecolongan setelah PP Nomor 21/2024 kembali menegaskan skema Tapera tak hanya menyasar PNS/ASN dan TNI-Polri, namun juga pegawai swasta dan pekerja mandiri. Imbasnya, iuran wajib Tapera membebani peserta sebesar 3 persen penghasilan per bulan. Dipotong dari gaji bulanan pegawai 2,5 persen dan pemberi kerja 0,5 persen. Adapun pekerja mandiri terbebani penuh 3 persen setiap bulannya.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno, memandang pendapat Ombudsman mengenai iuran Tapera yang semestinya ditanggung sepenuhnya oleh pekerja merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Dengan itu, KASBI menganggap bahwa posisi Ombudsman hari ini cuma alat kekuasaan untuk memuluskan agenda-agenda neoliberalisme pemerintahan Jokowi.
“Kami dari Konfederasi KASBI bersama aliansi GEBRAK menolak keras TAPERA, ke depan akan melakukan aksi serentak secara nasional pada tanggal 27 Juni 2024. Pemotongan gaji program Tapera harus dibatalkan,” kata Sunarno kepada reporter Tirto, Senin (10/6).
Sunarno juga mempersoalkan pernyataan Ombudsman yang menilai aktivitas investasi yang akan dilakukan BP Tapera dengan dana iuran peserta, dijamin aman. Menurut Sunarno, penolakan buruh terhadap Tapera bukan sekadar kekhawatiran akan keamanan dana yang bakal dikelola, tetapi juga terkait proses pengambilan keputusan kebijakan Tapera yang abai musyawarah, tidak transparan, dan dibuat tidak demokratis.
“Ombudsman [seolah] mendukung program Tapera, dan seolah-olah menjamin keamanan dana Tapera untuk investasi jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan,” seru dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ombudsman menilai dana iuran peserta Tapera yang akan diinvestasikan ke deposito dan Surat Berharga Negara (SBN) dijamin aman. Menurut mereka, iuran dana Tapera akan disimpan dalam sejumlah instrumen investasi yang berisiko rendah. Seraya menjamin, investasi iuran Tapera tak akan diinvestasikan ke instrumen tinggi risiko seperti saham.
Seharusnya, kata Sunarno, Ombudsman sebagai lembaga audit independen negara, dapat mengontrol pemerintah dan penyelenggara pelayanan publik secara kritis. Dengan sikap ini, Ombudsman justru bersikap jelas mendukung Tapera, yang saat-saat ini tengah ditolak dan dikritik masyarakat luas.
“Kasus-kasus seperti Taspen, Asabri, Jiwasraya, dan BPJSTK harusnya menjadi pengingat Ombudsman. Bukan sekadar soal investasi, namun pengelolaan iuran (uang) badan-badan penyelenggara seperti di atas hanya jadi tempat penitipan uang yang akan dinikmati oleh oligarki dan rezim,” tegas Sunarno.
Melanggar Hak Asasi
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan, menilai pernyataan Ombudsman bermasalah karena tidak sesuai dengan konstitusi. Menurutnya, Tapera jelas melanggar konstitusi karena memaksa rakyat untuk menabung demi mendapatkan hunian. Padahal, menabung atau pun tempat tinggal layak adalah hak, bukan kewajiban yang dibebankan kepada rakyat.
“Pendapat Ombudsman bisa menjadi masalah serius, yang melegalkan pelanggaran hak asasi manusia terkait kebebasan masyarakat untuk konsumsi saat ini atau menabung,” kata Anthony kepada reporter Tirto, Senin (10/6).
Selain itu, Ombudsman melampaui kewenangan dengan menjamin investasi dana Tapera aman. Investasi di SBN memang tergolong aman, kata dia, namun masalahnya bukan soal itu. Masalahnya, ada potensi investasi SBN digunakan untuk menambal defisit APBN.
“Artinya, apakah UU Tapera ini bagian dari upaya untuk membiayai defisit APBN, dengan memaksa potong gaji masyarakat, termasuk masyarakat berpendapatan rendah alias miskin? Apakah Ombudsman dipakai oleh pemerintah untuk menggolkan keinginannya?” tanya Anthony heran.
Menurut Anthony, Ombudsman mereduksi permasalahan Tapera menjadi antara pemerintah dan pekerja semata. Sementara itu, perusahaan malah dibebaskan dari persoalan Tapera. Miris, seakan Ombudsman sendiri menegaskan posisi pekerja yang lemah dan tidak punya bargaining position.
“Tapera tidak boleh mewajibkan masyarakat untuk menabung. Tapera harus berdasarkan keinginan menabung secara sukarela,” kata dia.
Kekhawatiran bahwa investasi ke SBN akan berkaitan dengan APBN juga sejalan dengan kajian yang dibuat oleh Celios. Menurut kajian itu, penempatan dana Tapera akan lebih banyak diinvestasikan ke Surat Utang Korporasi sebesar 47 persen. Sementara itu, Tapera juga melakukan penempatan dana sebesar 45 persen di instrumen investasi Surat Berharga Negara (SBN). Sisanya, ditempatkan pada deposito perbankan dan giro.
Dengan proporsi demikian, pemerintah selaku pengelola APBN memiliki kepentingan dalam pengelolaan dana Tapera untuk pembelian SBN. Ini sejalan dengan rencana pemerintah mendorong pembelian SBN lewat tangan kanan pemerintahan di pasar keuangan. Berbagai lembaga pengelolaan investasi pelat merah diminta lebih banyak menanamkan investasi ke SBN, termasuk BP Tapera.
Karena, terdapat potensi besar dari dana iuran Tapera yang mencapai Rp135 triliun lewat potongan upah pegawai. Dari itu saja, dana untuk SBN bisa mencapai Rp61 triliun. Dengan target Rp160 triliun penerbitan SBN di 2024, maka 37 persen bisa dipenuhi hanya lewat BP Tapera.
Imbasnya, pemerintah akan diuntungkan lewat Tapera karena dana investasi pegawai bakal dikelola untuk membeli surat utang negara. “Penggunaannya pun tidak akan terbatas pada perumahan, melainkan dapat digunakan untuk program pemerintah mulai dari pembangunan IKN hingga makan siang gratis ke depan,” tulis kajian Celios.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menyatakan memang investasi SBN aman dilakukan. Namun, yang menjadi soal dalam konteks Tapera adalah soal akan digunakan untuk apa investasi ke SBN tersebut. Masalahnya, anggaran yang bakal dipakai untuk APBN seringkali tidak bisa dipisahkan dan bercampur-campur.
“Misalnya yang dari pajak untuk ini, yang SBN untuk itu, seringkali bercampur. Jadi artinya memang sampai pernyataan SBN aman itu benar, tapi setelah itu SBN mau digunakan untuk apa? Itu yang tidak dilakukan assessment,” ujar Faisal kepada reporter Tirto, Senin.
BP Tapera didesak sebaiknya memperhatikan keluhan masyarakat luas terutama pekerja. Penolakan Tapera bukan cuma soal peruntukan dana iuran, namun karena masyarakat tidak memiliki jaminan dan kejelasan dari keuntungan skema Tapera.
Selain itu, kewajiban skema Tapera juga perlu ditinjau ulang karena hunian bukan sesuatu yang urgensi bagi setiap pekerja. Ditambah, tingkat kemampuan pekerja juga berbeda-beda berdasarkan upah bulanan yang didapat.
“Kalangan menengah ke bawah ya mereka mungkin memprioritaskan untuk sekolah anak dulu, untuk makan sehari-hari dulu, untuk kebutuhan yang lebih primer. Sehingga rumah menjadi yang kemudian itu pun kalau ada kelebihan dari income,” tutur Faisal.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang