tirto.id - Pemerintah masih terus gagal fokus dalam memberantas judi online meski kondisi saat ini sudah darurat. Upaya membabat praktik lancung judi online lagi-lagi terfokus pada kebijakan yang tak terukur dan reaktif semata. Meski terkesan baik, upaya yang tak efektif cuma akan buang waktu serta boros anggaran dan tenaga.
Salah satu kebijakan baru-baru ini yang dinilai beberapa pihak kurang tepat adalah meminta penghulu melakukan penyuluhan kepada calon pengantin. Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan perlunya menyisipkan materi tentang pencegahan judi online pada kegiatan penyuluhan maupun bimbingan perkawinan.
Disampaikan Kepala Subdirektorat Bina Kepenghuluan Kemenag, Anwar Saadi, akhir bulan lalu, menyatakan upaya ini merupakan bentuk dukungan terhadap Satgas Judi Online menangani darurat judi online. Sebab menurutnya, maraknya judi online menyebabkan kerusakan di berbagai lini kehidupan.
Tidak hanya melanggar pidana, tapi juga berakibat pelaku depresi, bunuh diri, KDRT, hingga pada perceraian rumah tangga. Anwar juga menyampaikan menerima laporan banyak kasus perceraian karena dilatarbelakangi dampak perjudian.
“Keutuhan sebuah keluarga sangat diuji apabila ada anggota keluarga, terutama kepala keluarga melakukan aktivitas perjudian. Selain buang waktu, merusak ekonomi keluarga, hingga berakibat pengabaian dan semena-mena terhadap keluarga,” kata Anwar dalam keterangan tertulis dikutip, Jumat (5/7/2024).
Anwar menyebut, terminologi judi memang tidak ada yang positif. Alih-alih menang, kata dia, judi online justru mendatangkan kekalahan, kemiskinan, konsumtif, serta salah satu penyebab orang terdorong mengadu nasib dengan berjudi.
“Salah satu materi umumnya adalah peran dan tanggung jawab suami dan istri, termasuk pembekalan menjaga keutuhan keluarga. Namun, karena kasus judi online ini materi spesifik, ke depan, materi ini juga akan menjadi materi penting dalam Bimbingan Perkawinan,” ujar Anwar.
Kebijakan Reaksioner
Peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, memandang kebijakan penghulu menyosialisasikan judi online jelas respons reaksioner dan berlandaskan spontanitas belaka. Menurut dia, pemerintah seharusnya perlu merancang kerangka kebijakan yang matang untuk menangani judi online.
“Pemberantasan perilaku judi pada hakikatnya cenderung sulit dilakukan. Namun demikian ini bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan,” ujar Dewi kepada reporter Tirto, Jumat (5/7/2024).
Melakukan sosialisasi bahaya judi online kepada calon pengantin sebetulnya sah-sah saja dan cukup baik. Namun, perlu dilakukan dengan terukur dan memiliki kerangka kebijakan yang tepat. Menurut Dewi, pencegahan keterlibatan masyarakat terhadap judi online harus berakar pada kesadaran dampak atau akibat yang ditimbulkan.
“Justru sebaiknya pasangan pun juga diingatkan agar memiliki sistem pengaman terbaik jika terjadi hal yang buruk dan merugikan salah satu pasangan dengan membuat perjanjian pra nikah misalnya,” terang Dewi.
Menurut Dewi, pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang plural, judi sudah menjadi produk kultural yang tidak bisa dihapus dengan mudah. Pada konteks masyarakat tertentu, kata dia, judi menjadi bagian dari pola interaksi sosial/antar masyarakat.
“Oleh sebab itu, pemerintah dalam upaya peningkatan kesadaran memang perlu melibatkan seluruh pihak. Mulai dari tingkat akar rumput yang berada di daerah, termasuk pelibatan tokoh-tokoh agama,” ujar Dewi.
Dewi berpendapat, sebetulnya pemerintah dapat mengenakan tarif retribusi atau pajak kepada penyelenggara dan pemain judi. Namun hal itu tetap diiringi dengan regulasi dan syarat ketat dalam pelaksanaannya.
Tarif retribusi bisa menjadi intervensi pemerintah dalam mengendalikan industri judi. Tujuan dari retribusi atau pajak diharapkan dapat mengontrol penyelenggaraan industri, arus transaksi keuangan yang berputar, dan perilaku konsumen.
“Oleh sebab itu, meskipun ini menjadi produk budaya, namun dengan dampak negatif yang dihasilkan seharusnya menjadi alarm untuk masyarakat kita untuk tidak terlibat judi,” kata Dewi.
Sementara itu, pengajar hukum pidana Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andini, menilai rencana agar penghulu dibebankan sosialisasi bahaya judi online merupakan langkah yang kurang relevan untuk kondisi saat ini. Sekarang, kata dia, kondisi judi online sudah dalam level darurat karena masifnya perputaran aliran dana dalam permainan haram ini.
“Karena kalau baca berita, itu PPATK [menyatakan] sampai ratusan triliun aliran dananya, jadi kalau upaya preventif edukatif itu ya yang seperti itu agak kurang relevan ya,” kata Orin kepada reporter Tirto, Jumat.
Jika menilik tugas dan akar dibentuknya satgas judi online, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah saat ini terkesan belum sejalan dengan janji yang digemborkan. Menurut Orin, sudah waktunya pemerintah melakukan evaluasi terhadap kebijakan penanganan darurat judi online saat ini.
“Memberantas satu kejahatan sebenarnya ada satu aspek paling penting yang harus dilihat. Harus dilihat dulu jenis kejahatannya apa? Supaya upaya yang dilakukan bisa bersesuaian,” tutur Orin.
Fokus Menyasar Bandar
Orin mengatakan, dalam ilmu viktimologi, judi online termasuk jenis kejahatan yang victimless. Artinya pelaku dan korban kejahatan ini bisa sama-sama tersemat pada individu yang sama. Maka untuk kondisi saat ini, menjadi tidak relevan jika pemerintah malah fokus melakukan intervensi pada pejudi online ketimbang membabat akar masalahnya.
“Tapi pendekatan hukum itu sebenarnya harus menyasar lebih kepada orang-orang menerima keuntungan itu tadi seperti bandar judinya,” ucap Orin.
Apapun kebijakan yang diambil pemerintah seharusnya melalui pendekatan yang sesuai dengan kualifikasi kejahatan. Maka sebagai jenis kejahatan victimless, judi online perlu ditangani secara sistematik dengan menyasar akar permasalahannya.
“Jadi siapa yang menerima keuntungan dari perputaran aliran dana judi online ini harus ditelusuri dan ditindak,” lanjut dia.
Sebagai informasi, laporan PPATK menunjukkan aliran transaksi judi online berkembang masif. Transaksi judi online dari 2021 ke 2022, mengalami peningkatan dari Rp57 triliun menjadi Rp104 triliun. Semakin pesat di tahun 2023 hingga mencapai Rp327 triliun. Adapun pada kuartal I 2024, PPATK menemukan transaksi judi online sudah sebesar Rp101 triliun.
PPATK juga merilis lima provinsi dan kabupaten/kota dengan transaksi judi online terbesar. Untuk provinsi teratas ada Jawa Barat dengan transaksi mencapai Rp3,8 triliun. Diikuti oleh DKI Jakarta (Rp2,3 triliun), Jawa Tengah (Rp1,3 triliun), Jawa Timur (Rp1,051 triliun), dan Banten (Rp1,022 triliun).
Untuk lima teratas kabupaten/kota yakni: Jakarta Barat (Rp792 miliar), Kota Bogor (Rp612 miliar), Kabupaten Bogor (Rp567 miliar), Jakarta Timur (Rp480 miliar) dan Jakarta Utara (Rp430 miliar).
Orin memandang judi online juga sudah merambah ke desa-desa dengan jumlah fantastis. Masalah ini harus dipandang sebagai sebuah kejahatan yang berpotensi menimbulkan kejahatan lain.
“Jadi kalau di desa tingkat kriminalitas semakin tinggi bisa jadi karena adanya angka tinggi judi online,” ujar Orin.
Maka penting aspek kebijakan yang tidak hanya terfokuskan pada pengguna atau pemain judi online. Upaya seperti sosialisasi hanya diniatkan untuk mencegah saja dan belum tentu efektif. Kebijakan yang tepat adalah sistemik dengan memberantas akar judi online.
“Kalau akarnya sudah diberantas baru itu digalakkan upaya preventif pencegahan tadi. Kalau saat ini penting menyasar bandarnya tadi,” tegas Orin.
Sementara itu, Peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Nurul Izmi, menilai sejak awal penindakan hukum terhadap bandar judi online seharusnya menjadi prioritas pemerintah. Masalah ini tak akan beres jika hanya ditindak dengan sekadar fokus pada pencegahan.
Dia menjelaskan kewenangan yang dimandatkan kepada satgas seharusnya memberikan posisi strategis dalam menindak bandar judi online hingga ke akarnya. Pengentasan judi online di tingkat hulu diperlukan untuk mencegah korban praktik haram ini bertambah banyak.
“Satgas harusnya fokus menyasar bandar, bukan masyarakat,” ujar Izmi kepada Tirto beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, memandang pembentukan satgas judi online tidak efektif. Dia menilai ini kebiasaan pemerintah yang latah membentuk tim ad hoc dalam mengurus masalah.
“Cukup mengaktifkan kinerja bagian siber dan jika tidak mampu langsung diganti. Kapolri harus tegas dan jelas visi-misinya dalam memberantas judi online, seharusnya juga pinjol,” ujar dia kepada reporter Tirto.
Mudzakkir menekankan, pemberantasan beking bandar judi online juga penting untuk dilakukan pemerintah. Beking, kata dia, lebih berbahaya karena bisa saja berasal dari institusi resmi milik pemerintah.
“Jangan lupa libatkan PPATK telusuri aliran dana hasil judi online. Dan jika melibatkan petinggi hukum, sikat habis dan pecat, segera sita harta kekayaannya,” tegas Mudzakkir.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fahreza Rizky