tirto.id - Peliknya syarat bagi bakal calon jalur perseorangan atau independen di pilkada melahirkan berbagai upaya gugatan. Teranyar, sejumlah peneliti, mahasiswa, dan advokat mengajukan permohonan uji materi untuk syarat pencalonan kepala daerah yang diatur Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Para penggugat adalah Ahmad Farisi (peneliti dan pengamat), A Fahrur Rozi (mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Abdul Hakim (advokat). Inti gugatan mereka, supaya calon kepala daerah perseorangan atau independen dapat mendaftar pilkada cukup dengan dukungan organisasi masyarakat (ormas).
Pada sidang pendahuluan, Selasa (2/7/2024) lalu, Abdul Hakim menyampaikan, semestinya calon kepala daerah dapat diusung selain melalui jalur partai politik. Penggugat memandang syarat ketentuan jalur perseorangan begitu sukar ditembus sehingga bermuara pada dominasi partai politik (parpol), bila seseorang ingin maju sebagai bakal calon.
“Dengan diberlakukannya norma ini menjadi sulit bagi pemohon untuk mendapatkan calon alternatif, karena seluruh calon yang maju pada kontestasi pilkada ini didominasi oleh calon yang diusulkan oleh partai politik," kata Abdul Hakim dalam proses sidang.
Abdul Hakim meminta Majelis Hakim MK menyatakan Pasal 41 ayat (1) huruf a, b, c, d, e UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kecuali frasa hukum diubah menjadi, “Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan dari organisasi masyarakat atau perkumpulan masyarakat yang tercatat dan terverifikasi oleh Gubernur/Bupati/Walikota setempat minimal 5 yang masing-masing tersebar di 5 kabupaten/kota”.
Penggugat menilai, berlakunya pasal tersebut membatasi kesempatan untuk dipilih dalam pilkada bagi setiap warga negara. Abdul Hakim berargumen proses pilkada hanya diusung partai politik tidak rasional dan tak memenuhi unsur keadilan, sebab hanya berpatokan pada persentase besaran syarat dukungan.
Di sisi lain, penggugat menilai keberadaan ormas di tingkat daerah memungkinkan menjadi syarat alternatif mengajukan bakal calon perseorangan dalam pilkada. Ormas dinilai turut aktif melakukan sejumlah kegiatan positif di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan kesenian di masyarakat.
“[Ormas] sebagai subjek pelaku politik atau political engineering yang diberikan kesempatan dan memiliki kewenangan untuk mengajukan calon perseorangan di luar pada jalur partai politik,” ujar Abdul Hakim.
Dalam tanggapannya, hakim konstitusi Guntur Hamzah, menimbang petitum pemohon perlu memperjelas kerugian bila bakal calon kepala daerah hanya diusung parpol. Guntur melihat potensi kerugian yang digugat ketiga pemohon tersebut hanya berada dalam ranah pikiran. MK memberikan waktu bagi pemohon untuk memperbaiki isi gugatan.
Sebagai informasi, syarat calon perseorangan diatur dalam pasal 41 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016. Calon perseorangan dapat mendaftar sebagai kepala daerah jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilu atau pemilihan sebelumnya yang paling akhir di daerah tersebut. Syarat dukungan jumlah penduduk ini berbeda-beda tergantung dari jumlah DPT yang ada di daerah tersebut.
Rentang jumlah dukungan mulai dari sedikitnya 6,5 persen hingga 10 persen, diatur sesuai jumlah DPT di daerah tersebut. Jumlah dukungan juga harus tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi, bagi calon gubernur dan calon wakil gubernur.
Untung Rugi Jalur Ormas
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, memandang permohonan menguji syarat pencalonan jalur perseorangan dalam UU Pilkada menandakan ketidakpuasan serta ketidakpercayaan sejumlah masyarakat terhadap peranan parpol dalam rekrutmen politik. Dalam perkara ini, kata dia, peran parpol dalam menjaring figur politik terkait pencalonan kepala daerah mulai diragukan.
“Banyak pengalaman menunjukkan bahwa parpol lebih mengutamakan popularitas calon dari pada kemampuan manajerialnya ketika mengusung calon kepala daerah,” kata Yance kepada Tirto, Jumat (5/7/2024).
Ditambah, tidak jarang parpol menarik mahar untuk pencalonan kepala daerah. Sehingga bakal calon yang akhirnya diusung terbatas pada figur yang punya modal besar, namun miskin visi pembangunan untuk daerah tersebut.
Kondisi ini, kata Yance, perlu diperbaiki oleh internal parpol. Calon dari jalur independen, memang salah satu alternatif yang dimungkinkan maju berlaga dalam pilkada berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun, dua periode pilkada terakhir ini, calon independen semakin sepi peminat.
“Kalaupun ada calon independen, sering kali kalah dalam pilkada, sebab kurang mendapat dukungan karena basis sosial yang lemah,” ujar Yance.
Di sisi lain, gagasan agar bakal calon kepala daerah jalur perseorangan dapat diusulkan ormas sebetulnya melanjutkan kritik terhadap kendurnya tugas dan fungsi parpol. Namun menurut Yance, gagasan itu bukanlah hal yang mudah direalisasikan. Kendala-kendala teknis bakal muncul, misalnya soal bagaimana verifikasi ormas yang layak atau tidak layak mengajukan calon kepala daerah.
Yance memandang, yang baik dilakukan saat ini adalah mempermudah syarat pencalonan kepala daerah jalur independen sehingga pilkada semakin kompetitif. Hal itu juga membuat pilkada tidak cuma didominasi oleh kekuatan parpol semata.
“Ketika syarat pencalonan independen lebih mudah, ormas-ormas tertentu pun dapat juga menyatakan dukungan, menjadi pengusung utama atau menjadi tim pemenangan calon independen tertentu,” terang Yance.
Sementara itu, Analisis politik Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, kurang setuju jika syarat bakal calon jalur perseorangan pilkada cukup diusung oleh ormas. Pasalnya, ketika nanti terpilih, bakal calon yang diusung ormas punya masalah yang sama saja seperti calon perseorangan saat ini, yakni minim dukungan parpol di parlemen.
“Kalau pun ormas kan sama aja ya masalahnya, bahwa mereka yang didukung oleh ormas calonnya itu juga punya masalah. Kalau menang susah nanti ketika memerintah, di DPR daerahnya atau parlemen,” kata Kunto kepada Tirto, Jumat.
Masalah lainnya, kata Kunto, tak menutup kemungkinan ormas akan berubah menjadi pragmatis sebagaimana parpol-parpol saat ini. Tidak ada jaminan calon yang diusung ormas menjadi alternatif lebih baik daripada yang diusung parpol.
“Kalau nanti dominasi parpol diganti dengan dominasi ormas, ya saya akan berpikir hasilnya sama aja cuma ganti entitasnya dari parpol ke ormas. Malah justru ormas kan bukan perwakilan masyarakat, mereka bukan institusi politik yang mewakili atau representasi dari masyarakat atau pemilih,” terangnya.
Kunto menilai parpol merupakan institusi politik resmi yang mewakili atau representasi dari masyarakat. Masalahnya saat ini, memang peranan parpol sebagai perwakilan konstituen jadi semakin buram. Pemilih hanya dibutuhkan untuk mencoblos saja tanpa ada partisipasi bermakna untuk menjembatani aspirasi masyarakat.
Tugas ideal parpol untuk menjaring dan mencari bakal calon yang ideal juga semakin lemah. Tersisa justru maraknya transaksi politik dagang sapi untuk membeli slot posisi agar bisa dicalonkan oleh parpol. Bakal calon kepala daerah yang mumpuni namun tak punya modal finansial akhirnya akan terhempas oleh pilihan parpol.
“Jadi menurut saya, solusinya bukan mengalihkan problem, tapi menguatkan institusi politik seperti parpol. Karena kepercayaan publik terhadap partai politik rendah, bukan hanya karena tabiatnya parpol,” jelas Kunto.
“Saya percaya banyak politisi yang bagus dan punya komitmen yang bagus, tapi kan kultur politik di Indonesia sudah sangat buruk,” tambah dia.
Pembenahan Parpol
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, juga tidak setuju jika peran ormas dan parpol menjadi sejajar dalam mencalonkan kandidat kontestan Pilkada. Menurutnya, ormas memang tidak didesain untuk menjadi wadah politik praktis untuk mengusung calon kepala daerah, kecuali mereka bermetamorfosis menjadi parpol.
Lucius menilai usulan calon perseorangan maju kepala daerah cukup didukung oleh ormas adalah bentuk ketidaksanggupan calon independen berkontestasi di arena pilkada. Ormas juga bakal terjebak politik transaksional jika dibolehkan menjadi kontestan pilkada sebagai pengusul calon perseorangan.
“Kalau karena sulit memenuhi persyaratan jalur perseorangan, lalu mengusulkan ormas sebagai pengusul sih rasanya calon perseorangan itu nggak mau kerja banget ya,” terang Lucius kepada Tirto, Jumat.
Lucius menilai, jalur perseorangan dalam pilkada memang sulit ditembus sebab bakal calon independen harus bekerja sendiri. Terlebih dengan pragmatisme politik yang terjadi saat ini, menuntut calon perseorangan melakukan apa yang dilakukan calon dari parpol untuk muncul dengan modal di tengah masyarakat.
“Jadi pendidikan politik untuk mengubah watak politik yang transaksional ini yang saya kira belum maksimal. Dan itu yang menyulitkan calon perseorangan,” tuturnya.
Kesulitan lain calon independen tidak cuma terjadi saat tahapan pencalonan, namun juga menunggu mereka ketika sudah terpilih. Pasalnya, tak mudah calon dari jalur perseorangan bisa berkomunikasi lancar dengan DPRD yang merupakan para kader parpol.
“Padahal hampir semua kebijakannya sebagai kepala daerah harus diputuskan melalui persetujuan bersama dengan DPRD,” ujar Lucius.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, memandang bahwa parpol perlu berbenah agar tidak cuma mengusung calon kepala daerah yang punya modal popularitas dan duit saja. Jika tak dibenahi, kepercayaan terhadap parpol akan terus terkikis dan cuma melanggengkan praktik oligarki politik di daerah.
“Masalah ini sebetulnya disebabkan oleh demokrasi di internal parpol tak jalan, dan ada jarak dan pemisah antara agenda parpol dengan konteks sosial politik yang ada di tengah masyarakat,” ujar Fadli kepada Tirto, Jumat.
Fadli juga kurang setuju jika ormas diperbolehkan mengusung calon dalam pilkada. Menurutnya, sah-sah saja jika ormas mendukung bakal calon kepala daerah, namun tetap mengikuti syarat jalur perseorangan atau melalui parpol seperti yang ada saat ini.
“Kita mesti konsisten dengan sistem pelembagaan demokrasi, yang mana fungsi rekrutmen politik itu ada di parpol. Dan khusus untuk pencalonan kepala daerah, saya kira ruangnya bagi aktivis ormas kalau tidak mau maju lewat parpol, ya lewat jalur perseorangan,” ucap Fadli.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi