tirto.id - Wati mulai memutar otaknya untuk penuhi kebutuhan dapurnya. Sejak Iduladha, perempuan memiliki dua orang anak itu sudah mulai mengurangi belanja kebutuhan pokoknya seperti beras, cabai, tomat, bawang dan lainnya. Cara ini untuk menyiasati kenaikan harga-harga pangan sudah tidak terbendung dan belakangan semakin mencekik kantong.
“Sekarang belanja enggak dapat apa-apa Rp100 ribu. Semua serba mahal,” keluh wanita berusia 30 tahun tersebut, kepada Tirto, Kamis (4/7/2024).
Wati mengaku, biasanya selalu stok bahan-bahan pangan untuk kebutuhan satu minggu ke depan. Namun, setelah melihat beberapa komoditas pangan di pasar sekitar kediamannya di daerah Rawa Lumbu, Bekasi, Jawa Barat, mahal, ia akhirnya memutuskan untuk belanja seperlunya saja.
“Jadi, enggak mau stok. Karena stok mahal-mahal buat apa? sama saja nggak bisa hemat. Jadi uang yang dikit tetap dapat bahan, meski porsi pemakaian jadi sedikit,” ujarnya.
Masih tingginya harga beberapa komoditas pangan, dikeluhkan juga oleh Nola, warga Depok. Hampir seluruh bahan pangan seperti cabai merah, cabai rawit, dan bawang di sekitar area tempatnya masih mahal. Sampai hari ini, belum ada tanda-tanda penurunan usai Iduladha pada 17 Juni 2024 kemarin.
“Di tempat saya cabai merah sampai Rp46 ribu. Padahal ini bahan pokok sehari-hari. Bawang juga sempat naik pas pagi. Inginnya sih kayak cabai dan bawang bisa diatur harganya,” ujar Nola kepada Tirto, Kamis (4/7/2024).
Sebagai anak kost, kenaikan harga pangan terjadi belakangan ini diakui menjadi beban tambahan. Karena otomatis ongkos pengeluaran untuk belanja kebutuhan masak sedikit membengkak. “Tapi sejauh ini yang harganya tetap tapi masih mahal beras. Tapi karena beras wajib buat makan ya mau tidak mau beli,” ujarnya.
Perempuan berusia 26 tahun itu pun mempertanyakan sikap pemerintah atas kondisi kenaikan harga-harga pangan terjadi saat ini. Dia berharap pemerintah bisa mengendalikan harga-harga pangan, sehingga ke depan harganya dapat kembali normal.
“Entah bagaimana pemerintah habis bulan haji [Iduladha] malah pada naik, termasuk daging. Kan aneh juga. Saya sih harapnya yang kaya cabai, bawang, itu diatur biar tidak terus tinggi,” pungkasnya.
Plt Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional (Bapanas), Sarwo Edhy, mengakui harga sejumlah komoditas pangan tengah mengalami kenaikan mencapai di atas 10 persen dari Harga Acuan Penjualan (HAP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET). Pada awal Juli, beberapa komoditas bahkan berada dalam status waspada.
“[Ini] di antaranya yaitu beras medium dan premium di zona III, minyak goreng curah, serta bawang merah dan daging sapi,” kata Sarwo saat dikonfirmasi Tirto, Kamis (4/7/2024).
Khusus untuk beras sendiri, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) selama bulan lalu harganya memang masih tercatat tinggi. Beras kualitas medium di penggilingan misalnya sebesar Rp12.314 per kg atau naik sebesar 2,01 persen, beras kualitas submedium sebesar Rp12.111 atau naik sebesar 0,96 persen, dan rata-rata harga beras pecah di penggilingan sebesar Rp12.073 per kg atau naik sebesar 3,19 persen.
Berdasarkan data panel Bapanas per Kamis (4/7/2024), beberapa komoditas pangan juga masih terpantau naik. Untuk beras medium harga rata-rata nasionalnya sudah mencapai Rp13.500 per kg. Harga tertinggi terjadi di Papua Pegunungan Rp18.000 per kg dan terendah di Sumatera Selatan Rp12.230 per kg.
Untuk beras premium harga rata-rata nasionalnya berada di Rp15.460 per kg. Harga tertinggi Rp20.000 per kg di Papua Pegunungan dan harga terendahnya Rp14.000 per kg di Sumatera Selatan.
Jika diperhatikan, harga beras medium dan premium rerata nasional di atas berada di atas HET untuk wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan. Di mana HET beras medium Rp12.500 per kilogram (kg) dan HET beras premium Rp14.900 per kg. Pun demikian juga masih di atas HET di beberapa zona wilayah lainnya.
Di luar harga beras, masih merujuk data panel Bapanas beberapa harga pangan rerata nasional yang masih terpaut tinggi adalah bawang merah Rp36.820 per kg, cabai keriting Rp45.920 per kg, cabai rawit merah Rp47.710, daging sapi murni Rp135.300 per kg, dan telur ayam ras Rp29.520.
“Yang jelas pola kenaikan harga pangan tidak seperti yang disebutkan oleh pemerintah yang biasanya akhir tahun meningkat, ini tengah tahun pun masih cukup tinggi harganya. ujar Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, kepada Tirto, Kamis (4/7/2024).
Penyebab Kenaikan Harga
Huda mengatakan, kenaikan harga pangan terjadi saat ini faktornya bukan hanya dari sisi demand tapi dari sisi supply. Namun dipengaruhi juga dari sisi cost ada kenaikan akibat nilai tukar rupiah yang memburuk. Rupiah belakangan diketahui berada di atas Rp16.500 dolar per AS.
“Beberapa produk input pertanian kan masih ada yang impor, termasuk pupuk. Bahan baku pupuk kan ada yang dari luar, makanya di harga gabah di tingkat penggilingan juga sudah meningkat harganya,” kata Huda.
Huda menambahkan, selain peningkatan di tingkat penggiling khusus harga gabah di tingkat petani juga masih cukup tinggi. Berdasarkan data BPS selama Juni 2024, rata-rata harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani Rp6.171 per kg atau naik 5,64 persen dan di tingkat penggilingan Rp6.319 per kg atau naik 5,44 persen dibandingkan harga gabah kualitas yang sama pada bulan sebelumnya.
Rata-rata harga GKG di tingkat petani Rp6.859 per kg atau naik 2,75 persen dan di tingkat penggilingan Rp6.986 per kg atau naik 2,78 persen. Harga gabah luar kualitas di tingkat petani Rp5.767 per kg atau naik 5,84 persen dan di tingkat penggilingan Rp5.945 per kg atau naik 6,62 persen.
“Makanya ini bukan lagi siklus permintaan yang selalu meningkat di periode tertentu. Tapi sudah ada cost yang meningkat,” katanya.
Oleh karena itu, kata Huda, untuk mengatasi persoalan kenaikan harga pangan pemerintah perlu mengembangkan industri input pertanian dalam jangka menengah dan panjang. Dalam jangka pendek, operasi pasar juga masih bisa menjadi strategi yang bisa diandalkan. “Stok flow barang juga harus diperkuat oleh pemerintah untuk intervensi harga di pasar,” ujar dia.
Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, melihat masalah yang sama atas kenaikan harga pangan terjadi saat ini. Khusus cabai merah dan rawit sendiri di level konsumen secara pola akan naik dan relatif tinggi di Juli dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Ini disebabkan karena supply yang kurang memadai terindikasi dari harga ditingkat produksi yang juga naik pada bulan tersebut.
“Jika ditingkat produksi harganya naik, artinya memang dari sisi produksi supply-nya tidak berlimpah. Meski demikian nanti akan berangsur turun lagi sejalan dengan musim panen,” kata Eliza kepada Tirto, Kamis (4/7/2024).
Penurunan harga komoditas tersebut, kata Eliza, biasanya baru akan terjadi pada periode September - Oktober karena terjadi panen. Fluktuasi harga komoditas hortikultura ini terjadi karena memang karakteristik barangnya mudah busuk. Di sisi lain kapasitas cold storage di Indonesia sangat minim, sehingga harus buru-buru dijual.
“Jadi tidak bisa disimpan dalam jangka panjang. Ini yang menyebabkan ada bulan-bulan tertentu ketika tidak panen, itu harganya bisa melonjak,” jelasnya.
Menurut Eliza, kapasitas terpasang cold storage di Indonesia masih di bawah negara-negara lain. Dari laporan International Trade Administration, kapasitas cold storage Indonesia yang terpasang baru 12,3 juta meter kubik. Sementara di india 131 juta meter kubik, Cina 76 juta meter kubik.
“Ini jadi perbandingan sebagai negara yang jumlah penduduknya banyak. Indonesia yang jumlah penduduknya besar, maka kebutuhan pangannya pun akan besar, maka kapasitas cold storage ini juga harus disesuaikan," jelasnya.
Di samping infrastruktur cold storage yang tidak memadai, hilirisasi produk pangan dan hortikultura juga masih kurang memadai di Indonesia. Karena selama ini pemerintah fokus hilirisasinya justru hanya di sektor lain. Faktor ini juga kemudian menjadi salah satu persoalan belum di sentuh pemerintah atasi masalah pangan.
Sebagai upaya pengendalian terhadap harga pangan, Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, mengaku sudah menginisiasi melalui berbagai program intervensi ke pasar dan masyarakat bersama BUMN dan stakeholder pangan. Gerakan Pangan Murah (GPM) sejak awal tahun telah capai 5.329 kali dengan rincian Januari 518 kali, Februari 839 kali, Maret 2.050 kali, April 1.006 kali, Mei 430 kali, dan Juni 486 kali.
Kemudian NFA juga telah menugaskan Perum Bulog menggelontorkan beras SPHP ke seluruh daerah Sampai 21 Juni telah menorehkan realisasi 65,67 persen atau 788 ribu ton dari target 1,2 juta ton. Sementara realisasi beras SPHP yang disalurkan ke retail modern berada di angka 32,9 ribu ton.
Sementara itu, realisasi bantuan pangan beras kepada 22 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) untuk Januari-Maret 2024 telah mencapai 99,47 persen dan April-Juni di 62,5 persen. Terakhir, mobilisasi pangan melalui fasilitasi distribusi pangan hingga minggu kedua Juni sudah mencapai 122,3 ton berupa bawang merah 43 ton, cabai merah keriting 28,6 ton, beras 28,5 ton, daging ayam 15 ton, dan pangan pokok lainnya seperti minyak goreng, gula, telur ayam ras, cabai rawit merah, dan bawang putih.
“Jadi sebagaimana arahan Bapak Presiden Jokowi, pemerintah secara bersama-sama tanpa henti terus menerus akan menjalankan banyak instrumen pengendali pangan,” kata Arief dalam keterangan diterima Tirto.
Ironi Di Tengah Kepuasan Publik terhadap Jokowi
Di luar dari persoalannya, kenaikan harga-harga pangan ini tentu menjadi sebuah ironi di tengah tingkat kepuasan terhadap publik atas kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi berdasarkan survei Litbang Kompas pada Juni 2024 meningkat, mencapai level tertinggi selama periode kedua jabatannya.
Survei periodik Litbang Kompas melibatkan 1.200 responden yang dipilih secara acak dan proporsional dari seluruh provinsi di Indonesia. Pengambilan data terakhir dilakukan pada 27 Mei-2 Juni 2024 melalui wawancara tatap muka. Toleransi kesalahan survei (margin of error) sekitar 2,83 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi terbagi ke dalam beberapa aspek, yaitu bidang politik dan keamanan (polkam), hukum, ekonomi, serta kesejahteraan sosial. Kepuasan publik tertinggi berada di sektor polkam, dengan proporsi responden yang puas 85,5 persen. Kemudian kepuasan di bidang kesejahteraan sosial 82 persen, bidang ekonomi 65,1 persen, sedangkan bidang hukum paling rendah hanya 57 persen.
“Tingkat kepuasan itu lebih banyak disebabkan karna bantuan sosial, bukan karena keberhasilannya menjaga harga-harga terutama pangan,” kata Eliza Mardian mengomentari tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi.
Wajar saja jika ini adalah sebuah ironi, mengingat indikator-indikator keberhasilan Jokowi dalam kendalikan harga pangan belum terpotret. Pun jika di breakdown survei tingkat kepuasan masyarakat yang tertinggi terhadap kinerja pemerintahan itu ya ada kalangan bawah.
“Yang mana guyuran bansos ini kan begitu besar, sehingga tidak salah jika mereka puas karena dapat bansos,” pungkasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang