tirto.id - Sejumlah pesohor atau artis kembali ikut meramaikan persaingan peta politik di Pilkada 2024. Sejumlah parpol bahkan sudah terang-terangan melahirkan nama yang dianggap cukup potensial mengerek suara dalam memenangkan kontestasi. Tentu saja, 'popularitas' nama-nama dijagokan partai menjadi modal besar untuk mengeruk suara rakyat.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) misalnya, secara terbuka sudah mengusulkan selebritas, Nagita Slavina, sebagai bakal calon wakil gubernur pendamping Bobby Nasution dalam Pilgub Sumatra Utara. Permasalahan elektoral pada Nagita, tak perlu dipersoalkan. Karena secara elektabilitas, kehadirannya diharapkan akan mengalami kenaikan.
Sementara Gerindra telah mengusung musisi yang juga termasuk kader partainya, Ahmad Dhani, maju dalam Pilkada Surabaya 2024. Ahmad Dhani sendiri pada Pileg 2024 berhasil lolos menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Surabaya-Sidoarjo dengan mengoleksi 134.227 suara.
Partai berlogo segi lima dengan gambar burung garuda warna kuning keemasan itu, juga memberikan tiket untuk komedian, Marsel Widianto, sebagai bakal calon Wakil Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel) mendampingi Ahmad Riza Patria. Keduanya, dianggap dapat memenuhi harapan warga Tangsel, kendati menuai protes dari publik.
Analisis politik Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, melihat mudahnya pesohor atau artis mendapatkan tiket di pilkada ini karena beberapa faktor. Pertama, memang selebriti atau pesohor punya popularitas yang tinggi, sehingga bisa menjadi penarik suara untuk pemilih yang tidak terlalu peduli soal politik.
“Dan kebanyakan masyarakat kita tidak terlalu peduli dengan politik sehingga ini bisa jadi senjata ampuh untuk memenangkan pilkada,” ujar dia kepada Tirto, Senin (8/7/2024).
Pemilihan nama-nama tersebut juga menjadi alasan kenapa partai politik akhirnya memberikan tiket maju kepada selebriti karena ada simbiosis mutualisme. Pasalnya, kata Kunto, selebriti sendiri juga butuh kepastian hari tua, sementara partai politik juga butuh mereka yang punya popularitas tinggi sehingga bisa dijadikan pengeruk suara di pilkada terutama.
“Kedua ini ada dinamika power ketika selebriti dianggap tidak terlalu mengancam posisi si kepala daerahnya kalau mereka jadi,” ujar dia.
Dalam konteks tersebut, kata Kunto, semisalnya Nagita Slavina dan Marshel Widianto hanya dijadikan bakal calon wakil gubernur dan bacalon wakil walikota tentu aman-aman saja. Karena tidak akan ada usaha dari mereka untuk melakukan manuver politik untuk mendorong kekuasaanya.
“Jadi selebriti ini dianggap ya sudah, jadi penarik suara. Ketika menang ya sudah selesain kamu dapat ngurus ini misalnya. Sebatas itu saja, dan itu dianggap tidak terlalu mengancam secara politik. Paling tidak dua pon itu yang menurut saya penting,” jelas dia.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, mengamini popularitas saat ini memang sangat berdampak dalam kontestasi pemilu dan pilkada tahun ini. Pada gilirannya banyak sekali partai-partai politik yang kemudian masih mengandalkan popularitas yang bukan tercipta sendiri atau diciptakan.
“Di dalam kontestasi elektoral tentu popularitas menjadi penting gitu ya. Makanya kemudian banyak fenomena artis yang maju menjadi calon anggota legislatif misalnya, calon gubernur, bupati, wali kota dan lain sebagainya,” ujarnya kepada Tirto, Senin (8/7/2024).
Dia mengatakan, secara kapasitas bidangnya memang para pesohor atau artis bukan di pemerintahan daerah, tetapi lebih ke kesenian dan lain sebagainya. Tetapi karena keterpopulerannya kemudian mereka ikut disertakan atau dimajukan.
“Ini sebetulnya kan salah satu kemunduran ya, saya enggak bilang ini stagnan tetapi bahkan ini adalah kemunduran dari partai politik yang mana partai politik ini kan sebetulnya memiliki fungsi untuk melakukan pendidikan politik,” jelas dia.
Bukti Parpol Gagal Jalankan Fungsinya
Kahfi mengatakan, proses kaderisasi di partai politik saat ini masih belum berjalan dengan cukup baik. Karena masing-masing partai sendiri tentu mekanisme pengkaderannya berbeda, bagaimana pola rekrutmen kadernya, kemudian pendidikan kadernya itu jelas berbeda.
“Kemudian di dalam internal partai politik sendiri pun kita lihat ruang-ruang yang kemudian dibuka kepada orang-orang yang mungkin tidak memiliki privilege itu juga masih sangat rendah gitu ya,” jelas dia.
Jadi memang, kata Kahfi, partai politik dalam hal ini masih gagal untuk menciptakan orang-orang atau kadernya yang memang berjuang dari awal untuk kemudian menjadi tokoh dikenal oleh publik. Di samping demokrasi di internal partai politik sendiri sebenarnya masih punya problem yang cukup serius.
“Kita lihat orang-orang yang kemudian berkesempatan untuk menjadi pengurus partai terutama di pos-pos yang strategis ya baik di level kota, kabupaten, provinsi maupun nasional itu adalah orang-orang yang memang ya bisa jadi kalau misalnya secara finansial dia enggak kuat, ya artinya dia bisa jadi punya privilege yang besar seperti itu,” jelas dia.
Kondisi tersebut, kata Kahfi, tentu saja membuat partai politik akhirnya juga gagal dalam menciptakan kader-kadernya yang memang populer, elektabilitasnya tinggi dan sesuai dengan kemampuannya untuk bisa kemudian menjadi kepala daerah.
“Jadi saya kira itu masih ada beberapa persoalan yang ada di partai politik, sehingga membuat akhirnya partai politik mengambil jalan pintas untuk kemudian mengusung artis-artis yang populer,” kata dia.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menambahkan, munculnya nama-nama pesohor di pilkada ini memang menjadi bukti bahwa partai gagal menjalankan fungsinya berupa rekrutasi dan kaderisasi kepemimpinan. Pada akhirnya, banyak partai politik justru terjebak dalam dilema popularitas.
“Sistem pemilihan memang memungkinkan tokoh populer lebih mudah mendapatkan suara, karena pemilih hari ini lebih condong memilih karena faktor kesukaan dibanding kapasitas,” jelas dia kepada Tirto, Selasa (8/7/2024)
Dedi melihat bahwa selebritis saat ini juga sedang mengikuti tren politik, meskipun sudah dimulai sejak lama. Tetapi pemilu 2024 cukup signifikan penambahan kelompok selebritis yang masuk ruang politik. Kondisi ini tentu semakin membuat kepercayaan publik terhadap parpol semakin buruk.
“Bagi parpol ini jelas kemalasan, karena hanya mengambil keuntungan dari popularitas tokoh yang diusung, meskipun berdampak pada pembangunan dan kondisi masyarakat,” ujarnya.
Tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik dilakukan oleh lembaga Survei Indikator Politik pada 30 Desember 2023 - 6 Januari 2024 menempatkan hanya 64 persen. Tingkat kepercayaan terhadap partai politik menjadi paling rendah dibandingkan dengan lainnya.
Survei Indikator melibatkan 1.200 responden berumur 17 tahun atau sudah menikah, yang tersebar secara proporsional di seluruh provinsi Indonesia. Sampel dipilih menggunakan metode multistage random sampling. Serta menggunakan metode wawancara tatap muka oleh pewawancara terlatih. Toleransi kesalahan survei (margin of error) sekitar 2 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, mengatakan proses kaderisasi masih menjadi pekerjaan rumah partai politik. Pertama soal bagaimana partai politik membangun dirinya secara demokratis, modern, kemudian juga mempunyai manajerial yang baik gitu serta menghadapi tantangan zaman.
“Nah nampaknya parpol kita ini kalau seperti pesawat itu sudah kayak enggak ada pilotnya gitu kan. Di setir kiri ke kanan dan akhirnya juga soal kader keteter ya. Kalau kadernya kemudian tidak keteter dalam hal kaderisasi itu nampaknya partai politik ‘lebih terselamatkan’, tidak seperti mudah diombang ambing ya,” jelas dia saat dihubungi Tirto, Senin (8/7/2024).
Menurut Kaka, kaderisasi ini menjadi sebuah kelalaian partai politik untuk melakukan tugas-tugasnya sebagai partai politiknya. Karena tugas utamanya salah satunya adalah kaderisasi. Keduanya tentu saja memelihara jaringan dan kemudian menawarkan program.
“Sampai sekarang kita tidak dapat melihat program apa yang ditawarkan. Bahkan kalau kita lihat dari pemilu kemarin hampir sama juga Pemilu 2024 baik pilpres maupun pileg yang milih program sebenarnya,” kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz