Menuju konten utama

Suami-Istri dalam Pusaran Korupsi

Sejak 2015 setidaknya ada enam kasus dugaan korupsi kepala daerah yang menyeret pasangan suami-istri.

Suami-Istri dalam Pusaran Korupsi
Istri Gubernur Bengkulu Lily Martiani Maddari saat tiba di Gedung KPK setelah terjaring operasi tangkap tangan (KPK), Jakarta, Selasa (20/6). Gubernur Bengkulu bersama istrinya Lily Mardani terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Bengkulu terkait dugaan suap proyek jalan. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti, mengenakan kemeja putih dan peci hitam saat tiba di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (20/6/2017) sore. Sementara istrinya, Lili Martiani Maddari, memakai batik lengan panjang dan kerudung warna hijau.

Pasangan suami-istri ini termasuk dari lima orang yang turut dibawa ke gedung KPK Jakarta untuk menjalani pemeriksaan pasca operasi tangkap tangan (OTT), di Bengkulu, pada Selasa pagi. Lima orang ini tiba sekitar pukul 16.30 WIB dengan menggunakan lima mobil secara terpisah.

Seperti diberitakan, KPK sebelumnya melakukan OTT terhadap Lili Martiani di rumah pribadinya, di Kelurahan Sidomulyo, Kota Bengkulu. Usai diringkus komisi antirasuah, Lili bersama tiga orang lainnya diamankan ke Polda Bengkulu. Selang beberapa saat kemudian, Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti, juga tiba di Polda Bengkulu.

Dalam operasi tangkap tangan tersebut, tim KPK mengamankan uang senilai Rp1 miliar dalam pecahan Rp100 ribu di dalam rumah Ridwan Mukti yang sebelumnya disimpan di dalam brankas.

Hari ini, KPK telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus korupsi terkait “fee” proyek jalan di dua Kabupaten, di Provinsi Bengkulu. Mereka adalah Gubernur Bengkulu 2016-2021 Ridwan Mukti, Lili Martiani Maddari, dan Rico Dian Sari yang berprofesi sebagai pengusaha. Selain itu, komisi antirasuah juga menetapkan Direktur PT Statika Mitra Sarana (SMS), Jhoni Wijaya yang diduga sebagai pemberi suap.

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan, pemberian uang tersebut diduga terkait “fee” proyek yang dimenangkan PT SMS di Provinsi Bengkulu dari komitmen 10 persen perproyek yang harus diberikan kepada Gubernur Bengkulu melalui istrinya.

Menurut Alexander, dari dua proyek yang dimenangkan PT SMS, dijanjikan Rp4,7 miliar (setelah dipotong pajak) dari dua proyek di Kabupaten Rejang Lebong.

“Yaitu proyek pembangunan atau peningkatan jalan TES-Muara Aman Kabupaten Rejang Lebong dengan nilai proyek Rp37 miliar dan proyek pembangunan atau peningkatan jalan Curuk Air Dingin Kabupaten Rejang Lebong dengan nilai proyek Rp16 miliar,” ujarnya seperti dikutip Antara, Rabu (21/6/2017).

Kasus dugaan korupsi yang menyeret Ridwan Mukti dan Lili Martiani Maddari ini menambah daftar panjang kasus dugaan korupsi yang menyeret pasangan suami-istri. Dari penelusuran yang dilakukan Tirto, ada enam kasus korupsi lain yang juga ikut menyeret pasangan suami-istri ini.

Dari beberapa kasus korupsi kepala daerah yang menyeret pasangan suami-istri ini rata-rata adalah suap, di antaranya yaitu: Mantan Wali Kota Cimahi, Atty Suharty dan suaminya, Itoc Tochija (belum vonis); mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti (divonis Maret 2016); mantan Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyitoh (divonis 9 Maret 2015); mantan Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri dan istrinya, Suzanna Budi Antoni (divonis Januari 2016); dan mantan Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya, Nurlatifah (kasasinya ditolak MA pada Januari 2016).

    Misalnya, kasus dugaan korupsi yang menyeret nama mantan Wali Kota Cimahi, Atty Suharty dan suaminya, Itoch Tochija (Wali Kota Cimahi 2002-2012). Perkara ini diawali OTT yang dilakukan KPK pada 1 Desember 2016 terhadap Atty, Itoc dan dua orang pengusaha, yaitu Triswara Dhanu Brata dan Hendriza Soleh Gunadi.

    Triswara dan Hendriza diduga akan menyuap Atty dan Itoc sebesar Rp6 miliar dari nilai proyek Rp57 miliar. KPK juga menyita buku tabungan Itoc yang di dalamnya ada bukti penarikan dana Rp500 juta serta sisa cek. Itoc juga sudah pernah menerima beberapa kali trasnfer dari Triswara dan Hendriza.

    Dalam kasus ini, Atty Suharty dan Itoc Tochija disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a dan atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya. Prilaku itu diancam pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

    Kasus lain yang juga menyeret pasangan suami-istri adalah kasus suap yang menyeret mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti. Dalam kasus ini, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 14 Maret 2016 telah menjatuhkan vonis pada pasangan suami-istri ini. Gatot divonis tiga tahun penjara, sedangkan istrinya Evy Susanti divonis 2,5 tahun penjara ditambah denda masing-masing senilai Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan karena terbukti menyuap hakim dan panitera.

    Pada dakwaan pertama, Gatot dan Evy dinilai terbukti menyuap Tripeni Irianto Putro, hakim PTUN Medan, sebesar 5.000 dolar Singapura dan 15 ribu dolar AS, Dermawan Ginting dan Amir Fauzi selaku hakim PTUN masing-masing sebesar 5 ribu dolar AS, dan Syamsir Yusfan sebesar 2 ribu dolar AS selaku panitera untuk mempengaruhi putusan perkara yang diajukan ke PTUN Medan.

    Perkara yang dimaksud adalah permohonan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara tentang Administrasi Pemerintahan atas Penyelidikan tentang dugaan terjadinya Tindak Pidana Korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penyertaan Modal pada sejumlah BUMD pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Kuasa hukum yang ditunjuk oleh Gatot dan Evy adalah pengacara O.C. Kaligis.

    Selanjutnya, dalam dakwaan kedua, Gatot dan Evi dinilai terbukti menyuap mantan anggota Komisi III DPR 2014-2019 dan Sekjen Partai Nasdem 2013-2015 Patrice Rio Capella sebesar Rp200 juta melalui Fransisca Insani Rahesti. Suap itu dilakukan agar Capella menggunakan kedudukannya untuk mempengaruhi pejabat Kejaksaan Agung selaku mitra Kerja Komisi III DPR agar memfasilitasi islah guna memudahkan pengurusan penyelidikan perkara yang ditangani Kejaksaan Agung.

    Jika merujuk pada data KPK, selama kurun waktu 2004-2016 jenis perkara yang ditangani komisi antirasuah paling banyak adalah kasus suap. Hal ini dapat dilihat dari 514 jenis perkara yang ditangani KPK, 262 di antaranya soal suap.

    Sementara di urutan kedua adalah pengadaan barang atau jasa dengan jumlah 148 perkara, perizinan 19 perkara, pungutan 21 perkara, penyalahgunaan anggaran 44 perkara, merintangi proses KPK 5 perkara, serta TPPU (pencucian uang) tercatat 15 perkara.

    Dari data tersebut dapat dilihat bahwa maraknya suap menjadi motif utama dalam praktik korupsi, dan itulah yang menjerat pasangan suami istri kepala daerah di atas. Hal ini karena para pemimpin daerah memiliki kewenangan yang cukup besar terkait penggunaan anggaran dan pemberian izin di daerah.

    Baca juga artikel terkait OTT KPK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

    tirto.id - Hukum
    Reporter: Abdul Aziz
    Penulis: Abdul Aziz
    Editor: Abdul Aziz