tirto.id - Baharuddin Lopa belum lulus kuliah hukum di Universitas Hasanuddin pada 1960, tetapi sudah menjabat jaksa muda di Majene. Usianya saat itu baru 25-an tahun. Dalam 1001 kisah Baharuddin Lopa (2001), di masa genting ketika Sulawesi bagian selatan dihempas gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, Lopa dijadikan bupati.
“Ia diminta Panglima Komando Distrik Militer XIV Hasanuddin, Kolonel M. Jusuf, menjadi Bupati Majene,” tulis buku itu.
Penunjukkan Lopa, tulis Bachtiar Adnan Kusuma dalam 70 Tahun Baramuli: Pantang Menyerah (2000), berkat Pengawas Kejaksaan Tinggi Sulawesi, Arnold Baramuli. Tak hanya Lopa, Baramuli juga mengusulkan Bupati Jeneponto dijabat Morra Karaeng Bilu; Bupati Bantaeng oleh Jaksa Rivai Karaeng Bulu; Bupati Kendari oleh Andrey Jufrie, dan Abdul Jalil Karaeng Sikki dicalonkan sebagai Residen.
Arnold Achmad Baramuli, sang pengusul, pada 1960 masih berusia 29 tahun. Pada awal tahun itu Baramuli dijadikan Gubernur Sulawesi Utara-Tengah. “Dengan surat keputusan dari Presiden Sukarno, saya menjadi gubernur,” ujar Baramuli dalam Masyarakat Bertanya, Baramuli Menjawab (1998). Baramuli menjabat gubernur dari 23 Maret 1960 hingga 15 Juli 1962.
Lopa dan Baramuli adalah segelintir orang yang diminta atau ditunjuk menjadi kepala daerah oleh pejabat yang lebih tinggi pada era Sukarno. Tak hanya orang sipil, orang militer pun dijadikan kepala daerah oleh Sukarno. Tjilik Riwut, misalnya, sebelum menjadi pasukan payung ke Kalimantan adalah seorang wartawan. Dia diterjunkan sebagai mayor Angkatan Udara. Setelah itu, Riwut pernah jadi wedana Sampit, lalu bupati Kotawaringin, dan akhirnya Gubernur Kalimantan Tengah.
Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta juga dipilih berdasarkan penunjukkan. Mereka adalah Soemarno Sastroatmodjo, Henk Ngantung, dan Ali Sadikin.
Bang Ali, dalam memoar yang digarap Ramadhan K.H., Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992), bercerita bahwa satu pagi pada April 1966, saat ia sudah berkantor di Merdeka Selatan sebagai wakil Menteri Ekuin, ia menerima telepon supaya mendatangi Presiden Sukarno ke Istana.
Ali pergi dengan penuh tanya. Namun, sampai di Istana, Sukarno menyambut ramah dan riang. Setelah duduk, Sukarno mengatakan sesuatu yang mengejutkan Ali.
“Ali, aku akan angkat kamu jadi Gubernur Jakarta, sedia?” kata Sukarno.
Sekejap Ali kaget hingga Sukarno bertanya lagi, “Mengapa?” Sukarno kembali bertanya, “Sedia?”
Ali bukan langsung menjawab, tapi justru bertanya, “Apa ini perintah?” Dan dijawab singkat oleh Sukarno: “Ya.”
Setelah itu, Ali yang dulunya seorang Letjen Korps Komando Angkatan Laut menjawab sigap: “Kalau perintah, saya akan lakukan.
Orde Baru: Era Kalangan Militer Jadi Gubernur
Saat Sukarno pelan-pelan dipereteli kekuasaannya pasca-1965, dan Soeharto naik sebagai presiden pada 1967, tren para perwira militer memegang jabatan kepala daerah berlanjut dan semakin meluas. Beberapa di antaranya ada yang jadi gubernur hingga 10 tahun, selain jadi wali kota, bupati, atau Ketua DPRD.
“Dominasi militer makin tampak pada saat pihak militer mengambil alih posisi-posisi strategis yang sebelumnya dipegang masyarakat sipil,” tulis Taufiq Tanasaldy dalam artikel "Politik Etnis di Kalimantan Barat" dalam buku Politik Lokal di Indonesia (2007).
Sebelum Soeharto berkuasa, hanya ada satu bupati dari golongan militer di Ketapang, Kalimantan Barat, yakni Hercan Yamani. Pada 1968, lima dari tujuh bupati adalah mantan perwira militer. Masih di pulau yang sama, wali kota Balikpapan, bahkan dari 1963 hingga 2001, jika bukan dari tentara biasanya dari kepolisian. Pangkat mereka dari mayor, letnan kolonel, hingga kolonel.
Letjen Marinir Ali Sadikin yang jadi gubernur Jakarta hingga 1977 pun digantikan oleh orang-orang militer dari Angkatan darat. Ada Tjokropranolo, R. Soeprapto, Wiyogo Atmodarminto, Soerjadi Soedirdja, hingga Sutiyoso.
DKI Jakarta baru dipimpin oleh orang sipil pada saat dipegang oleh Fauzi Bowo, yang berkarier sebagai birokrat, pada 2007. Tren orang sipil memimpin Jakarta berlanjut hingga gubernur sekarang, Anies Baswedan.
Gubernur Sulawesi Selatan dari 1960 hingga 1966 adalah Kolonel Andi Ahmad Rivai. Setelahnya digantikan oleh Ahmad Lamo dari 1966 hingga 1978. Dan mengikuti pola pergantian kepala daerah era Orde Baru, para gubernur setelah Lamo diisi oleh orang-orang berlatar belakang militer. Hanya satu orang sipil, yakni Ahmad Amirudin (mantan rektor Universitas Hasanuddin) yang pernah jadi Gubernur Sulawesi Selatan.
Seperti Sulawesi Selatan, dari 1966 hingga 1998, Jawa Timur pun hanya punya satu gubernur dari kalangan sipil: Mohammad Noer yang memimpin sejak 1967 hingga 1976. Noer berlatar belakang pegawai pangreh praja sejak era kolonial.
Begitupun Sumatera Utara: setelah seorang loyalis Sukarno Brigadir Ulung Sitepu digulung, dari 1966 hingga 1998, hanya P.R. Telaumbanua dari kalangan sipil yang berkantor di gubernuran, dari 1965 hingga 1967.
Di Sumatera Selatan, setelah Ali Amin jadi gubernur dari 1966 hingga 1967, berikutnya diganti oleh barisan jenderal Orde Baru: Brigjen Asnawi Mangku Alam (1967-1978), Brigjen Sainan Sagiman (1978-1988), dan Brigjen Ramli Hasan Basri (1988-1998).
Sejak 1966, Jawa Tengah punya gubernur militer, yakni Mayjen Moenadi, yang menjabat hingga 1974. Estafet gubernur dari kalangan tentara pun berlanjut. Begitu pula di Jawa Barat: Mashudi, Solihin Gautama Putra, Aang Kunaefi, Yogie Suardi Memet, dan Nana Nuriana.
Para jenderal yang menjabat gubernur ini, mayoritas dari Angkatan Darat, biasanya pernah menduduki Panglima Komando Daerah Militer di provinsi tersebut.
Pada akhir Orde Baru, seorang gubernur dari militer biasanya berpangkat mayor jenderal. Sebelumnya ada yang berpangkat kolonel. Setelah era pemilihan kepala daerah secara langsung, mantan tentara plus polisi pun mengambil peluang karier politik. Perwira menengah agaknya mengincar bupati atau wali kota, sementara jabatan jenderal mengincar posisi gubernur.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam