tirto.id - Partai-partai politik mengusung sejumlah figur jenderal aktif maupun purnawirawan dari kesatuan TNI dan Polri dalam pemilihan kepala daerah serentak 2018. Para perwira ini terjun ke medan tempur politik untuk bertarung dengan para kandidat lain dalam merebut suara elektorat.
Nama yang kali pertama muncul dalam sorotan pemberitaan Pilkada 2018 adalah Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi. Panglima Kostrad yang akhirnya pensiun dini ini diusung sebagai calon gubernur Sumatera Utara oleh Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), serta Golkar dan NasDem.
Dalam proses pencalonan, mantan Pangdam I Bukit Barisan ini menyatakan secara terbuka berniat menjadi orang nomor satu di Sumut. Ia dan tim relawan bergerilya mencari kendaraan politik selama tahun 2017 ke sejumlah partai. Edy misalnya melamar ke 13 partai demi mendapatkan tiket ke gelanggang politik.
Beberapa partai yang dijajaki oleh Edy di antaranya PDI Perjuangan, Golkar, Demokrat, Hanura, PPP, dan NasDem. Namun, akhirnya, Gerindra yang pertama-tama tampak serius menangkap pinangan Edy.
Status Edy saat itu masih Pangkostrad—satu perkara yang tidak etis mengingat tentara harus independen dalam politik. Toh, menurut politisi Gerindra Muhammad Syafi'i, apa yang dilakukan Edy saat itu sebatas "komunikasi dengan partai" dan hal ini "lumrah saja dalam perpolitikan Indonesia" selama Edy masih menjalankan tugas sebagai panglima.
Menurut Syafi'i, anggota DPR dari daerah pemilihan Sumatera Utara I, dalam dunia politik Indonesia tidak ada aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri yang mengundurkan diri terlebih dulu kemudian mengajukan diri sebagai calon gubernur.
"Saya kira enggak ada orang pensiun dulu baru cari partai," kata Syafi'i via telepon, akhir pekan lalu.
Kasus perwira aktif yang diusung parpol bukan hanya Edy Rahmayadi. Dalam pengumuman cagub dan cawagub PDIP pada Minggu lalu, partai banteng moncong putih ini mengusung tiga jenderal aktif dari kepolisian, yaitu Inspektur Jenderal Anton Charliyan sebagai cawagub Jawa Barat, Irjen Safaruddin sebagai calon gubernur Kalimantan Timur, dan Irjen Murad Ismail sebagai calon gubernur Maluku.
Di Kantor DPP PDIP Lenteng Agung, Irjen Anton mengatakan bahwa "komunikasi politik dengan PDIP" untuk pencalonanya dilakukan setelah seminggu ia dimutasi sebagai Kapolda Jawa Barat.
"Ini kehormatan," kata Anton yang saat itu mengenakan baju adat Sunda. Ia mengklaim akan segera membuat surat pengunduran diri dari Polri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur.
Undang-Undang 10/2016 tentang Pilkada memang menyebut para jenderal wajib mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai peserta pilkada—artinya, mereka tak perlu mundur lebih dulu. Meski begitu, hal tersebut bisa dianggap tidak etis atau diragukan independensi mereka sebagai perwira.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago menyebutnya sebagai "celah", yang dimanfaatkan oleh para perwira aktif TNI dan Polri menunjukkan gelagat dan motivasi politik mendekati kekuatan dan partai politik tertentu. Solusinya, ujarnya, harus merevisi UU Pilkada.
Chaniago juga menambahkan ada "tren partai politik mengambil jalan pintas" dengan menarik jenderal ke gelanggang politik.
"Ambisi perwira TNI dan Polri di pilkada semakin menguat akhir-akhir ini pada saat parpol gagal melakukan kaderisasi," kata lulusan sarjana politik dari Universitas Indonesia ini.
Selain itu, ujar Chaniago, ada fenomena split ticket voting. Artinya, parpol lebih menonjolkan kandidat figur dibandingkan kader partai sendiri. Parpol memprioritaskan figur eksternal atau dalam istilahnya "outsourcing" dengan mengusung jenderal TNI dan Polri ketimbang mengusung kader dari internal parpol.
Kekalahan Para Perwira
"Fenomena masuknya personel TNI/Polri bukan sesuatu yang baru, meskipun pasca-reformasi dwifungsi ABRI dihapuskan," kata Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Pilkada serentak 2018 membuat calon jenderal lebih mudah terdeteksi oleh publik, menurut Aggraini. Hal ini berkat teknologi, media sosial, dan pemberitaan media dalam proses pencalonan kepala daerah.
Itu berbeda dari masa sebelum pilkada serentak. "Konsentrasi publik tidak fokus secara bersamaan dan cenderung lokal sekali pendekatannya. Dengan pilkada sekarang, isu itu diangkat secara bersamaan, publik pun langsung menyorot secara keseluruhan," ujar Anggraini.
Dalam sepuluh tahun terakhir, pemilihan kepala daerah diramaikan oleh kandidat dari para jenderal. Komisi Pemilihan Umum 2008, misalnya, merekam para jenderal aktif maupun purnawirawan memperebutkan kursi calon gubernur dan wakil gubernur di tiga daerah: Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Bali.
PDIP mengusung Letjen (purn) Agum Gumelar untuk Jawa Barat dan Mayjen (purn) Tri Tamtomo untuk Sumatera Utara. Kedua purnawirawan ini kalah dalam pemilihan.
Di Bali, sesama jenderal polisi bertarung: Komjen I Made Mangku Pastika, mantan Kapolda Bali, yang diusung PDIP melawan Brigjen I Nyoman Suweta, mantan Wakapolda Bali, yang diusung Golkar. Pastika memenangkan pertarungan tersebut.
Data KPU pada Pilkada 2015, yang digelar di 16 daerah, mencatat kandidat dari TNI dan Polri meningkat dibandingkan Pilkda 2008. Ke-16 wilayah itu adalah tiga kabupaten di Sumatera Barat yakni Pasaman, Solok, dan Tanah Datar, Kabupaten Banggai Laut (Sulawesi Tengah), Bantul (DI Yogyakarta), Bengkayang (Kalimantan Barat), Blora (Jawa Tengah), Kaur (Bengkulu), Musi Rawas (Sumatera Selatan), Nias Selatan (Sumatera Utara), dan Yalimo (Papua, serta tiga kota yakni Magelang (Jawa Tengah), Dumai (Riau), dan Gunungsitoli (Sumatera Utara), plus satu provinsi yakni Sulawesi Utara.
Dari 16 daerah ini hanya dua wilayah yang dimenangkan kandidat TNI dan Polri, yakni Kabupaten Bangai Laut dan Bantul.
Bupati Bangai Laut adalah Letkol Wenny Bukamo dari TNI AU, yang sebelumnya menjadi anggota DPRD Kota Surabaya periode 1999-2004. Mantan perwira Dispen Koopsau II Makassar ini mulai berdinas sejak 1988 hingga 2015.
Sementara Bupati Bantul Suharsono adalah purnawirawan polisi berpangkat Kombes. Ia mulai berkarier menjadi polisi sejak 1987 hingga 2015.
Pada Pilkada serentak 2017, ada tiga kandidat dari TNI. Mereka adalah Mayjen (purn) Salim S. Mengga untuk calon gubernur Sulawesi Barat, Letkol (purn) Ngatiyana sebagai calon walikota Cimahi, dan Mayor Agus Harimurti Yudhoyono untuk calon gubernur DKI Jakarta. Dari ketiganya, hanya Ngatiyana yang memenangi pertarungan pilkada.
'Seharusnya Ada Jeda Pensiun untuk perwira TNI/Polri'
Upaya mengembalikan personel TNI/Polri berpolitik pernah bergaung dalam pembahasan revisi UU 8/2015 tentang Pilkada. Ini bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi No 33/PUU-XIII/2015 yang menyatakan anggota DPR, DPD, atau DPRD wajib mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai kepala daerah.
Titi Anggraini dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi mengingat bahwa proses revisi UU Pilkada ini berjalan alot sejak awal tahun 2016 di Komisi II DPR yang mengurusi bidang pemilu. Dalam proses itu ada wacana agar anggota dewan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak perlu mengundurkan diri. Untuk mengamankan kepentingan itu para legislator berkonsultasi dengan MK terkait putusan tersebut.
Pandangan MK, anggota dewan harus mengundurkan diri agar ada perlakuan setara dengan aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri. Poin pembahasan yang alot karena para politisi ngotot bahwa pengunduran diri sebagai anggota dewan cukup diganti nonaktif atau cuti. Bahkan untuk mengikuti pandangan MK soal hak setara, ASN, TNI, dan Polri yang maju dalam pilkada cukup dengan izin cuti.
"Saat itu anggota dewan hati-hati banget saat omong," kata Anggraini. "Seperti pisau bermata dua, mereka ingin selamatkan posisi di DPR."
Namun usulan itu direspons serius oleh kekuatan prodemokrasi, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Koalisi mengadakan pertemuan pada 21 April 2016 dan menyatakan usulan para politisi itu "bisa membuka celah bagi TNI dan Polri untuk kembali berpolitik."
Dalam siaran pers, Koalisi menilai revisi UU Pilkada yang mengubah syarat bagi anggota TNI/ Polri untuk maju dalam Pilkada "akan membahayakan demokrasi" dan bisa mengembalikan iklim politik Indonesia ke masa lalu.
Menurut Koalisi, dalam negara demokrasi, sebagaimana diamanatkan UU 34/2004 tentang TNI dan UU 2/2002 tentang Polri, anggota TNI dan Polri yang ingin maju sebagai kandidat dalam Pilkada harus terlebih dulu pensiun dari institusi, dan bukan sekedar nonaktif atau cuti.
Potensi penyalahgunaan fasilitas negara sangat besar terjadi bila calon dari TNI maupun Polri tidak mengundurkan diri dari institusinya, menurut Koalisi.
"Sebagai negara demokrasi, anggota militer dan polisi baru dapat maju dalam politik jika sudah pensiun selama 2 atau 3 tahun sehingga ada masa jeda untuk menghindari konflik kepentingan," ujar Anggraini.
Meski ada penolakan yang keras, sejumlah fraksi ingin anggota dewan yang mencalonkan diri tidak perlu mundur. Mereka menilai status anggota DPR tidak bisa disamakan dengan PNS, TNI, dan Polri yang wajib mundur.
Pada 31 Mei 2016, sejumlah fraksi membuat rapat mini. Fraksi Gerindra dan PKS meminta agar anggota DPR tidak wajib mundur saat pencalonan kepala daerah.
Namun, lewat tekanan kekuatan prodemokrasi, aturan soal pengunduran diri ASN, TNI, dan Polri tidak jadi direvisi sehingga tetap pada rujukan pertama: wajib mengundurkan diri. Begitu pula dengan anggota dewan, mereka wajib mengundurkan diri ketika maju sebagai calon kepala daerah.
"Mau polisi maupun TNI, sepanjang masih perwira aktif, mereka tidak boleh cawe-cawe di politik praktis," kata Anggraini. "Meskipun UU mewajibkan mundur (TNI dan Polri) ketika ditetapkan sebagai pasangan calon," kata Titi.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam