Menuju konten utama

Mengukur Pertarungan Gerindra-PDIP di Pilkada Sumut 2018

Jika melihat komposisi fraksi di DPRD Sumut, Edy berada di atas angin karena sudah memiliki dukungan dari parpol-parpol pemilik 55 kursi di legislatif daerah.

Mengukur Pertarungan Gerindra-PDIP di Pilkada Sumut 2018
Bakal Calon Gubernur Sumatera Utara yang juga Pangkostrad Letjen TNI Edy Rahmayadi bersama bakal Calon Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah berpose saat menghadiri acara Konsolidasi Pasangan Calon Kepala Daerah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Jakarta, Kamis (4/1/2017). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Dinamika politik menjelang Pemilihan Gubernur Sumatra Utara (Pilgub Sumut) 2018 mulai bergeliat beberapa hari terakhir. Dua tokoh nasional dideklarasikan partai-partai pendukung di Jakarta sebagai calon gubernur buat memimpin provinsi dengan jumlah suara 9.902.948 pada Pemilu Presiden 2014 itu. Kedua tokoh tersebut adalah Letjen Edy Rahmayadi dan Djarot Saiful Hidayat.

Edy didukung Partai Gerindra, PKS, PAN, Partai NasDem, dan Golkar, sedangkan Djarot baru didukung PDI Perjuangan. Deklarasi kedua calon itu membuat tensi politik di Sumut mulai naik lantaran daerah ini merupakan lumbung suara terbanyak keempat di Indonesia dalam pilpres 2014 setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Menilik catatan Pemilu 2014, Golkar merupakan pemenang di Sumut dengan raihan lebih dari 948 ribu suara, dan disusul PDIP dengan 920 ribu suara lebih. Kedua partai meraih jatah kursi perwakilan terbanyak di DPRD Sumut.

Saat ini, ada 17 kursi dimiliki Golkar, dan 16 kursi jadi punya PDIP. Partai Demokrat menyusul dua parpol tersebut dengan mendapat 14 kursi. Sisanya, kursi di DPRD Sumut hasil Pemilu 2014 dimiliki Gerindra (13), Hanura (10), PKS (9), PAN (6), NasDem (5), PPP (4), PKB (3), dan PKPI (3).

Jika melihat komposisi fraksi di DPRD Sumut, Edy berada di atas angin karena sudah memiliki dukungan dari parpol-parpol pemilik 55 kursi di legislatif daerah. Sementara, Djarot baru mengamankan 16 kursi DPRD Sumut yang menjadi milik PDIP.

Peluang membesarnya dukungan untuk Djarot dan Edy masih terbuka lantaran masih ada Demokrat, Hanura, PKB, PPP, dan PKPI yang belum memberikan dukungan di Pilkada 2018 Sumut.

Jika melihat syarat pencalonan gubernur di pilkada yang mengharuskan parpol pengusung atau koalisi memiliki jumlah 20 kursi dari DPRD provinsi, Edy sudah aman posisinya. Sementara, Djarot butuh dukungan dari minimal satu parpol lagi agar bisa bersaing di sana.

Sejarah Kemenangan Kandidat dari PKS

Pada dua gelaran pilkada sebelum tahun ini ada hal unik yang terjadi di Sumut. Keunikannya adalah kepala daerah yang diusung PKS pasti memenangkan pilkada. Pada Pilkada 2008, PKS, PPP, PBB, dan 9 partai lain mengusung Syamsul Arifin-Gatot Pujonugroho. Pasangan itu meraih kemenangan dengan meraih 28,31 persen suara, unggul atas cagub yang diusung PDIP, Golkar, PAN, serta partai-partai lain.

Lima tahun setelahnya, PKS kembali memenangkan kandidatnya di Pilkada Sumut 2013. Saat itu, PKS mengusung Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi bersama Hanura, PBR, Patriot, dan PKNU. Pasangan Gatot-Erry ketika itu meraih 33 persen suara disusul Effendi MS Simbolon dan Jumiran Abdi yang diusung PDIP dan PPRN.

Jika menilik sejarah, keberpihakan menjadi milik Edy dan Musa Rajekshah sebab dukungan PKS sebagai 'raja pilkada' di Sumut telah mereka dapatkan. Sementara, PDIP harus berani memutus rentetan posisi 'runner up' di Pilkada Sumut dengan terlebih dahulu memastikan komposisi koalisi dan nama bakal cawagub yang hendak disandingkan dengan Djarot.

Dalam hasil sigi dari Survey dan Polling Indonesia (SPIN), Edy memeroleh elektabilitas 20,45 persen kalah dari Tengku Erry Nuradi yang memeroleh 23,89 persen dari 1.262 responden. Ada pun Djarot berada di posisi keempat dengan raihan 6,21 persen suara. Angka itu lebih kecil dibandingkan elektabilitas Ngogesa Sitepu, Bupati Langkat yang mundur dari bursa Pilkada 2018, sebesar 8,26 persen berdasarkan hasil survei.

Bersatunya Gerindra-PKS Melawan PDIP

Kekuatan barisan koalisi pengusung Edy-Musa juga bisa dibilang kuat karena terdiri dari tiga parpol yang setia sejak Pilkada DKI Jakarta 2017. Ketiga partai yang dimaksud adalah Gerindra, PKS, dan PAN.

Tiga partai itu kerap menyatu dalam menghadapi Pilkada 2018. Selain di Sumut, ketiga parpol itu bersama mengusung cagub di Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Jawa Tengah.

Wakil Sekretaris Jenderal Gerindra Andre Rosiade mengaku, partainya memang banyak berkoalisi dengan PKS karena lancarnya komunikasi antarelite dua partai itu. Selain itu, kedekatan Gerindra dan PKS sejak Pilkada DKI juga menjadi faktor bersatunya mereka di beberapa daerah, termasuk Sumut.

"Sesuai dengan pernyataan Pak Prabowo di berbagai kesempatan, PKS adalah sekutu Gerindra," tutur Andre kepada Tirto.

Politikus Gerindra itu mengakui kemenangan tiap kandidat yang diusung pada Pilkada 2018 akan menghadirkan bayangan mengenai kemungkinan elektabilitas Prabowo Subianto di pemilu mendatang. "Yang jelas bagi kami kemenangan pilkada tentu untuk mengukur peluang Capres kami pak Prabowo," katanya.

Anggapan bahwa Gerindra dan PKS tengah bersiap serta menjadikan Pilkada 2018 sebagai pemanasan jelang pemilu 2019 juga diakui politikus PKS Mardani Ali Sera.

Menurutnya, PKS menargetkan meraih 100 persen kemenangan di tiap daerah yang ikut serta pada pilkada. Kemenangan di pilkada dipercaya membawa dampak baik untuk pemilu tahun depan. "Kami memang berhitung untuk Pileg dan Pilpres 2019," kata Mardani.

Di kesempatan berbeda, Ketua DPP PDIP Andreas Pareira berkata bahwa cerminan dari pencalonan kandidat di beberapa daerah oleh Gerindra dan PKS tak bisa diterjemahkan sebagai upaya dua parpol itu memanaskan mesinnya jelang pemilu nasional. Andreas mengklaim, koalisi antara partainya dengan Gerindra juga terjalin di beberapa daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2018 namun tak mendapat sorotan media massa.

"Enggak, enggak [pemanasan jelang 2019]. Silakan interpretasi saja, tapi tidak sejauh itu," kata Andreas di kawasan Menteng.

Ujung Pertarungan Pilkada demi Pilpres

Pengamat politik dari SMRC Sirojudin Abbas menilai wajar adanya anggapan pilkada sebagai ajang pemanasan parpol demi Pemilu 2019. Menurutnya, parpol memang menjadikan ajang Pilkada sebagai kesempatan membangun basis politik, tak terkecuali oleh Gerindra dan PKS yang memposisikan diri sebagai oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Kerja sama keduanya saat ini pada akhirnya dapat berujung pada koalisi Pilpres 2019," kata Sirojudin kepada Tirto.

Keberlanjutan koalisi Gerindra dan PKS di Pemilu 2019 terbuka lebar jika melihat kalender tahapan pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memutuskan bahwa pencalonan dan penetapan capres serta cawapres untuk Pemilu 2019 akan dilakukan pada Agustus 2018. Waktunya hanya berselang dua bulan kurang sejak berakhirnya masa pemungutan suara di Pilkada 2018.

"Apa lagi proses pencalonan presiden/wapres akan dimulai di Agustus 2018. Jadi kerja sama pemenangan di Pilkada 2018, akan sekaligus menjadi pemanasan mesin politik bagi pilpres dan pileg serentak 2019," katanya.

Baca juga artikel terkait PILGUB SUMUT 2018 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih