tirto.id - Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi tak lagi memakai seragam loreng saat menghadiri acara Ikrar Pemenangan Calon Kepala Daerah yang digelar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (4/1/2017). Ia justru mengenakan atribut PKS.
Edy mengaku, dirinya telah mengundurkan diri dari militer untuk menyiapkan diri sebagai calon gubernur pada Pilgub Sumatera Utara 2018. Pengunduran diri itu sudah dilakukannya sejak 2 bulan lalu.
“Saya mengundurkan diri dan sekarang dalam rangka proses pengakhiran saya dari militer. Insyaallah dalam waktu dekat, saya sudah sama-sama kalian jadi warga negara sipil,” kata Edy di Hotel Bidakara.
Ketua Umum PSSI ini mengatakan, pengunduran tersebut dilakukan sebagai salah satu syarat maju sebagai calon kepala daerah. Kendati demikian, status Edy saat ini masih sebagai perwira aktif dan belum resmi menjadi Purnawirawan TNI karena surat pemberhentiannya masih belum keluar.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen TNI Sabrar Fadhilla menerangkan, Edy sudah mengajukan pengunduran diri sejak 2 bulan lalu. Permohonan pengunduran diri tersebut sudah disetujui oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Mulyono, serta Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
“KSAD sudah menyetujui, panglima TNI sudah menyetujui. Kan sekarang tinggal administrasi saja. Bahwa beliau belum diganti karena masih mencari penggantinya dalam waktu dekat,” kata Fadhilla saat dihubungi Tirto, Kamis malam (4/1/2018).
Menurut Fadhilla, proses pengunduran diri Edy lama karena harus melalui beberapa tahapan secara berjenjang. Misalnya, mulai dari melapor kepada KSAD selaku pimpinan, kemudian laporan tersebut diserahkan kepada Panglima TNI. Begitu disetujui, laporan itu baru dilaporkan kepada pemerintah untuk diproses.
Seiring dengan surat pengunduran diri Edy, pada Kamis malam (4/1/2018) beredar SK pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan TNI. Surat Nomor Kep/12/1/2018 tentang pemberhentian tersebut memuat nama Letjen TNI Edy Rahmayadi.
Dalam surat tersebut, Edy dimutasi menjadi Pati Mabes TNI AD dengan keterangan dalam rangka pensiun dini. Jabatan Edy pun digantikan Letjen TNI Agus Kriswanto yang sebelumnya menjabat sebagai Dankodiklat TNI AD.
Fadhilla membenarkan bahwa Edy sudah dirotasi menjadi Pati Mabes TNI AD. Akan tetapi, Fadhilla tidak menjawab apakah kewenangan Edy masih melekat setelah SK penghentian keluar dan belum serah terima jabatan. Fadhilla pun hanya berkomentar singkat kapan sertijab akan dilakukan.
“Masih perlu atur waktu,” kata Fadhilla.
Proses pengunduran diri Edy ini relatif lebih lama dibandingkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY saat maju Pilgub DKI Jakarta 2017. Fadhilla berdalih, proses pengunduran Edy tidak bisa disamakan dengan AHY, karena Edy termasuk perwira tinggi TNI, sementara AHY merupakan perwira menengah.
“Ada leveling. Kalau sampai dengan kolonel ke atas, itu memang sampai ke Presiden administrasinya. Kalau kolonel ke bawah itu enggak perlu sampai ke Presiden,” kata Fadhilla saat ditanya proses pengunduran Edy yang cukup lama.
Pasal 39 ayat (2) UU 34/2014 menyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis” dan dalam Pasal 47 ayat (1) diatur bahwa “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.
Namun, Fahmi mengatakan dirinya tidak bisa memastikan apakah proses pengunduran diri perwira TNI mencapai dua bulan atau lebih. Sejauh yang Fahmi pahami, ada telegram rahasia yang mengatur tentang penghentian prajurit di tingkat tertentu, setelah AHY mundur dari TNI.
Menurut Fahmi, proses pengunduran diri seorang perwira tinggi TNI harus lewat dewan kepangkatan jenderal tinggi (Wanjakti). Pergerakan bintang tidak hanya sebatas karier, tetapi juga melihat aspek politis. Sebab, kata Fahmi, pergerakan prajurit tingkat kolonel ke atas harus mendapat persetujuan Presiden.
Sementara itu, kata Fahmi, AHY yang merupakan mayor hanya cukup melapor kepada Panglima TNI atau KSAD. Berbeda dengan Edy yang termasuk perwira tinggi TNI. “Bahwa agak sedikit lebih panjang, lebih rumit karena ada aspek politik, ada aspek ketatanegaraan berjalan,” kata Fahmi.
Melanggar Kepatutan
Edy telah mengenakan atribut PKS sebelum dirinya resmi pensiun sebagai perwira tinggi aktif TNI. Fahmi berkata, meskipun penggunaan atribut partai itu tidak termasuk pelanggaran karena Edy sudah mengajukan pengunduran diri, akan tetapi hal itu tidak pantas dilakukan mengingat SK pemberhentian Edy belum keluar.
“Ini soal kepatutan. Secara SK itu belum dirilis secara resmi oleh pihak Mabes TNI, [meski] fotonya tersiar ke mana-mana. Artinya kalau aku melihat ini soal kepatutan, bukan soal pelanggaran,” kata Fahmi saat dihubungi Tirto, Kamis malam.
Fahmi mengingatkan, TNI merupakan salah satu lembaga yang harus netral. Prajurit TNI akan kehilangan hak politik selama berdinas. Apabila ingin terjun berpolitik, kata Fahmi, prajurit harus mengundurkan diri. Bukti pengunduran diri pun harus ditunjukkan kepada KPU karena termasuk dari salah satu syarat untuk maju Pilkada.
Hal senada juga diungkapkan Dosen Politik UIN Jakarta, Adi Prayitno. Menurut dia, langkah Edy mengenakan atribut partai sebelum adanya SK pemberhentian dirinya tidak patut. Sebab, Edy baru dapat dibilang tidak lagi sebagai perwira aktif apabila surat pemberhentian tersebut sudah resmi dikeluarkan oleh Mabes TNI.
“Kalau sebelum dipecat, enggak etis dia menggunakan atribut partai. Tapi kalau surat itu sudah ada, ya enggak ada persoalan,” kata Adi saat dihubungi Tirto, Jumat (5/1/2018).
Adi melihat, kedatangan Edy ke acara PKS membuktikan kalau mantan Pangkostrad itu berkomitmen penuh dalam Pilgub Sumatera Utara 2018. Adi menilai, Edy sudah berhitung sebelum mendatangi PKS dengan mengenakan atribut partai.
“Artinya sudah dapat bocoran kalau SK-nya sudah dikeluarkan hari itu juga, makanya kemudian dia berani ke PKS. Dia tidak akan nekat gitu sebagai jenderal aktif menggunakan baju-baju partai. Pasti ada orang dalam yang bocorin [SK pemberhentian] itu,” kata Adi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz