Menuju konten utama

Perwira Aktif di Pilkada Indikasi Kegagalan Kaderisasi Partai?

Pejabat TNI dan polri aktif harusnya fokus menjaga pertahanan serta keamanan negara bukan malah memikirkan ambisi politik.

Perwira Aktif di Pilkada Indikasi Kegagalan Kaderisasi Partai?
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (kiri) menyerahkan surat rekomendasi kepada pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Maluku Murad Ismail (tengah) dan Barnabas Orno (kanan) seusai mengumumkan bakal calon gubernur dan wakil gubernur empat daerah di DPP PDIP, Jakarta, Minggu (17/12). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Partai politik dinilai gagal melakukan proses kaderisasi. Indikasinya pencalonan sejumlah perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri aktif oleh partai-partai dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018.

"Gejala kegagalan [kaderisasi] parpol sebenarnya telah terlihat sejak lama. Namun sekarang menjadi semakin bermasalah saat TNI dan Polisi aktif yang akan diusung parpol dalam Pilkada," ujar Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal Komite Independen Pengawas Pemilu (KIPP) Kaka Suminta Kaka kepada Tirto, Kamis (28/12).

Jelang dibukanya masa pendaftaran calon kepala daerah di Pilkada 2018 sudah ada lima nama perwira tinggi dari TNI dan Polri yang muncul ke permukaan kontestasi. Empat nama perwira tinggi dari lingkungan Polri adalah Kepala Korps Brimob Inspektur Jenderal (Irjen) Murad Ismail, Kapolda Kalimantan Timur Irjen Safaruddin, Kapolda Sumatera Utara Irjen Paulus Waterpauw, dan Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Wakalemdiklat) Polri Irjen Anton Charliyan. Kemudian, seorang pati dari TNI Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Letjend Edy Rahmayadi.

Murad diusung PDI Perjuangan menjadi bakal calon gubernur (cagub) Maluku Utara, sedangkan Edy direkomendasikan Gerindra menjadi bakal cagub Sumatera Utara di Pilkada 2018. Selain Murad dan Edy, tiga perwira tinggi lain yaitu Safaruddin, Paulus, dan Anton disebut-sebut akan menjadi bakal cagub di Kalimantan Timur, Papua, dan Jawa Barat. Safaruddin dan Anton telah mendaftarkan diri sebagai bakal cagub melalui PDIP, sedangkan Paulus hendak diusung Golkar.

Kelima pati TNI dan Polri itu belum ada satu pun yang mengundurkan diri dari jabatannya. Padahal secara etika, merujuk UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, anggota TNI dan Polri harus mundur jika hendak berpolitik praktis.

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis,” bunyi Pasal 28 ayat (1) UU Kepolisian.

Sementara pada ayat (3) Pasal 28 UU Kepolisian disebutkan, "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian."

Hal yang sama juga berlaku bagi TNI. Pasal 39 ayat (2) UU TNI menyebutkan, “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis” dan dalam Pasal 47 ayat (1) diatur, “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan."

Menurut Kaka, pejabat aktif TNI dan Polri harusnya fokus menjaga pertahanan serta keamanan negara alih-alih terjun ke dunia politik. Meski di atas kertas tak ada aturan dilanggar para pati tersebut, namun masih ada etika yang harusnya mereka hormati.

"Seharusnya teman-teman para penyelenggara negara, baik sipil maupun polisi/militer, menjunjung tinggi etika di atas hukum karena mereka negarawan harusnya," ujar Kaka.

Anggapan kegagalan kaderisasi oleh parpol itu mendapat sanggahan Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari. Menurutnya selama ini PDIP telah banyak menempatkan kader-kader terbaik di kursi-kursi pimpinan DPRD serta kepala daerah.

"Banyak kader yang sekarang jadi pimpinan daerah setelah digodok di sekolah partai sebanyak lima angkatan. Belum lagi kaderisasi struktural yang setelah kongres sudah mendidik 12 ribu lebih melalui kaderisasi pratama, madya, utama," tutur Eva kepada Tirto.

Ia berkata, pencalonan figur-figur nonkader sebagai calon kepala daerah dilakukan karena pertimbangan kepentingan strategis kebangsaan. Menurut Eva, kepentingan ideologis partainya menjadi prioritas dalam mencalonkan figur di pilkada. Ia mencontohkan di Jawa Timur PDIP mengusung Saefullah Yusuf yang bukan kader sendiri sebagai calon gubernur dan dipasangkan dengan kader partai Azwar Anas sebagai wakil.

"Kepentingan ideologis PDIP terutama terkait kebangsaan diprioritaskan, dan elektabilitas yang kedua. Kalau kandidat memenuhi potensi untuk keduanya maka diprioritaskan.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Jay Akbar