tirto.id - Mengenakan pakaian serba hitam bercorak merah di bagian lengan, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri membuka pidato dengan nada suara dan air muka datar. Di pertengahan pidato, intonasi suaranya agak meninggi. Kali ini, dengan raut muka agak sinis, ia menyampaikan kegusaran tentang isu yang belakangan menghangat tentang partainya.
“Ini kadang-kadang wartawan tidak punya file apa, ya? Kalau mau ngoceh itu lho enak aja. Jadi katanya sekarang PDI Perjuangan itu adalah partai polisi. Lho tidak marah itu Pak Tito Karnavian (Kapolri) sama saya kok ada partai polisi,” kata Megawati saat mengumumkan nama-nama calon kepala daerah untuk Pilkada 2018 di Kantor DPP PDI Perjuangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu lalu.
Beberapa pekan sebelumnya wacana kedekatan PDI Perjuangan dengan institusi Polri memang menghangat di media massa. Hal ini seiring kabar pencalonan sejumlah perwira aktif polisi di Pilkada 2018 melalui PDI Perjuangan.
Kabar ini terafirmasi di hari itu ketika Megawati mengumumkan Anton Charliyan sebagai calon wakil gubernur Jawa Barat dan Irjen Polisi Safaruddin sebagai calon gubernur Kalimantan Timur. Sebelumnya, pada 17 Desember 2017, Megawati juga mengumumkan nama Irjen Polisi Murad Ismail sebagai calon gubernur Maluku.
Di internal korps Bhayangkara nama Anton, Safaruddin, dan Murad tercatat pernah menduduki posisi-posisi strategis. Anton Charliyan yang diplot sebagai calon wakil gubernur TB Hasanuddin pernah menjabat sebagai Kadivhumas Mabes Polri (2015), Kapolda Sulawesi Selatan (2016), Kapolda Jawa Barat (2016), dan Wakil Kepala Lembaga Pendidikan Polri (2017). Terakhir, pada 5 Januari 2018, lulusan Akabri 1984 ini dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Sespimti Lemdiklat Polri karena ingin maju di Pilkada Jawa Barat.
Safaruddin yang diproyeksikan menjadi orang nomor satu di Provinsi Kalimantan Timur merupakan lulusan Akademi Kepolisian angkatan 1984. Ia pernah menjabat sebagai Wakabaintelkan Mabes Polri (2015), Kapolda Kalimantan Timur (2015-2018), dan terakhir Pati Baintelkan Polri (2018).
Sedangkan Murad Ismail adalah lulusan Akademi Kepolisian angkatan 1985. Beberapa catatan kariernya di kepolisian ialah Wakapolda Maluku (2013), Kapolda Maluku (2013), Komandan Korps Brimob Polri (2016), dan Analis Kebijakan Utama Bidang Brigade Mobil Korps Brimob (2018).
“Orangnya sudah mau pensiun, jadi cari kerjaan,” canda Megawati saat menyampaikan pencalonan Murad sebagai gubernur Maluku.
Sebelumnya, dalam Pilgub Bali 2008, PDIP juga sukses mengantarkan pasangan I Made Mangku Pastika dan Anak Agung Ngurah Puspayoga menduduki kursi gubernur dan wakil gubernur Bali. Namun, pada 2013, mantan Kapolda Bali (2003-2005) yang telah menjadi kader Partai Demokrat ini tidak lagi menggunakan PDIP sebagai kendaraan politik. Pastika justru didukung seteru paling kuat PDIP yakni Partai Demokrat yang berkoalisi bersama Partai Golkar. Sekali lagi Pastika berhasil menang.
Dari Sidharto, Da'i Bachtiar, sampai Budi Gunawan
Koneksi antara PDIP dan perwira Polri tak hanya terbangun dalam kontestasi pilkada. Nama lain yang juga kerap dihubungkan dan memiliki kedekatan dengan 'kandang banteng moncong putih' ini ialah anggota Irjen Polisi Sidharto Danusubroto, mantan Kapolri Jendral Da'i Bachtiar, dan mantan Wakapolri Komisaris Jendral Budi Gunawan.
Bagi Megawati maupun kalangan internal PDIP, nama Sidarto tak asing. Ia salah satu kader senior di kandang banteng moncong putih. Dalam buku Memoar Sidarto Danusbroto Ajudan Bung Karno (2013) yang ditulis sejarawan Asvi Warman Adam, dikisahkan peran Sidarto sebagai ajudan terakhir Sukarno.
Pada 1967 Sidarto pernah diminta Sukarno mencari uang untuk sekadar menutup kebutuhan hidup selama menjadi tahanan di Wisma Yaso. Setelah berhasil mendapatkan uang, Sidarto meminta Megawati menyelundupkan uang itu ke dalam kaleng biskuit agar lolos pemeriksaan penjaga.
Selepas pensiun, Sidarto terjun ke gelanggang politik. Saat Pemilu 1999 ia berhasil menjadi anggota DPR dari PDIP. Kesenioran dan kedekatan historisnya dengan Sukarno maupun Megawati membuatnya dipercaya menempati posisi sebagai Ketua DPP Partai Bidang Kehormatan. Ia juga ditunjuk Megawati menjadi Ketua MPR saat Taufik Kiemas meninggal dunia.
Saat kontestasi Pemilu Presiden 2014, Sidarto masuk dalam jajaran tim pengarah pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Setelah Jokowi menjadi presiden, Sidarto mendapat jatah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden dari 2015 hingga sekarang.
Indikator kedekatan PDIP dan Da’i Bachtiar mulai terbaca publik saat Rapat Koordinasi Nasional di Ancol Jakarta Utara pada 6 September 2013. Saat itu Megawati dalam pidatonya terang-terangan menyebut Da’i telah bergabung menjadi kadernya bersama Sukardi Rinakit dan Kwik Kian Gie.
“Saya enggak tahu juga kenapa beliau kok tertarik pada PDI Perjuangan,” katanya.
Da’i juga bukan orang asing bagi Megawati. Hubungan keduanya sudah terbangun sejak Megawati menjadi presiden. Pada 29 November 2001 Megawati menjadikan Da’i sebagai Kapolri menggantikan Bimantoro.
Hubungan dekat Da’i dan Megawati disebut-sebut menjadi salah satu alasan pencopotan dirinya sebagai kapolri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dua tahun sebelum masa pensiunnya. Ia kemudian dikaryakan SBY sebagai duta besar Indonesia di Malaysia.
Sejak menjadi kader PDIP, Da’i hadir dalam sejumlah agenda kampanye pemenangan PDIP pada Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden 2014. Ia juga masuk dalam struktur tim kuasa hukum pemenangan Jokowi-JK bersama Marsda Purnawirawan Pieter Wattimena, Mayjend Purnawirawan Tritamtomo, dan Mayjend Purnawirawan Tubagus Hasanuddin.
Relasi Budi Gunawan dan PDIP lebih remang-remang dibandingkan Sidarto dan Da’i Bachtiar. Relasi ini justru lebih sering dikaitkan dari kedekatannya dengan Megawati. Lulusan Akademi Kepolisian angkatan 1983 ini merupakan perwira kesayangan atau kepercayaan Megawati. Ia dipilih Megawati sebagai ajudan sejak putri Sukarno itu menjabat wakil presiden pada 1999 dan menjadi presiden pada 2001 hingga 2004.
Kesetiaan Budi kepada Megawati terlihat saat menjadi supervisor penerbitan buku berjudul Mega The President. Keterlibatan Budi dalam buku yang mengisahkan perjalanan hidup dan puja-puji terhadap Megawati ini terbilang tak lazim mengingat ia masih menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Staf SDM Polri. Apalagi buku ini terbit pada 2004 saat kontestasi pemilihan presiden menghangat. Netralitas politik Budi sebagai perwira politik aktif mulai dipertanyakan.
Relasi Budi dan PDIP kembali kontroversial pada masa kampanye pemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014. Pada Sabtu malam, 7 Juni, Budi kepergok kedapatan makan bersama Trimedya Panjaitandi restoran Sate Khas Senayan Menteng, Jakarta Pusat. Trimedya adalah salah satu anggota tim kampanye Jokowi-JK plus kader PDIP. Keduanya berdalih pertemuan itu hanya sebatas makan bersama teman tanpa tendensi politik.
Namun, kedekatan Budi dan PDIP kian sukar dibantah saat ia dicalonkan sebagai Kapolri pada 2015 menggantikan Jenderal Sutarman. Kala itu anggota Fraksi PDIP di Komisi III DPR menjadi pihak yang paling vokal mendukung pencalonan Budi, bahkan sekalipun Budi sudah ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada akhirnya jabatan Kapolri diemban oleh Badrodin Haiti, yang sebelumnya menjabat Wakapolri.
Dukungan PDIP kepada Budi menjadi Kapolri kembali bergema menjelang masa pensiun Badrodin Haiti. Saat itu PDIP beralasan bahwa persoalan hukum Budi sudah selesai usai menang gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan. Meski gagal menjadi Kapolri, Budi akhirnya didukung PDIP menjabat Kepala Badan Intelijen Negara.
Alasan PDI Perjuangan
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai deretan nama perwira polisi yang masuk dalam daftar calon kepala daerah tidak melulu mesti dibaca secara sinis. Baginya hal itu justru menunjukkan PDIP "terbuka" terhadap pelbagai kalangan.
“Kami tidak mempersoalkan latar belakang agamanya, sukunya, warna kulitnya, sosial-ekonominya, termasuk profesinya,” ujarnya.
Hasto mengatakan tidak ada larangan perwira polisi aktif mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Sebab mereka nanti akan mengundurkan diri saat proses kontestasi dimulai.
“Maka, siapa pun termasuk TNI-Polri dapat bergabung di PDI Perjuangan termasuk ketika mendaftar sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di PDI Perjuangan,” kata Hasto.
Anggapan PDI Perjuangan lebih dekat dengan polisi juga dibantah Hasto. Menurutnya, sejak Megawati menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan dan presiden sudah ada setidaknya 15 perwira tinggi TNI yang diangkat menjadi gubernur. Ini menandakan politik PDIP tidak hanya berorientasi kepada kepolisian.
“Sebagai contoh Letjen Sutiyoso sebagai Gubernur Jakarta, Letjen Bibit Waluyo sebagai Gubernur Jawa Tengah, Mayjen Imam Utomo sebagai Gubernur Jawa Timur, Brigjen Karel A. Ralahalu sebagai Gubernur Maluku, dan Mayjen Zainal Basri Palaguna sebagai Gubernur Sulawesi Selatan,” ujar Hasto.
“Lebih banyak jendral [TNI] yang sudah dijadikan Bu Mega sebagai gubernur, bahkan,” tambahnya.
Menurut Hasto, kalaupun sekarang hanya ada satu jenderal purnawirawan TNI, yakni T.B. Hasanuddin yang mendaftar ke PDIP, hal itu karena faktor kebetulan semata. “Kalau ada jenderal lain yang mendaftar juga akan kami perlakukan sama dengan yang mendaftar dari unsur purnawirawan Polri,” ujarnya.
Mengusung Perwira Aktif TNI/Polri: Kegagalan Kaderisasi Parpol
Terlepas dari aneka anggapan itu, pencalonan perwira tinggi aktif dari Polri maupun TNI untuk Pilkada 2018 dinilai tidak etis. Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyebut pencalonan tersebut berpotensi mengganggu netralitas aparat dalam gelaran pesta demokrasi.
“Ketika berniat mencalonkan diri, artinya mereka [perwira] sudah menyimpan hasrat untuk berpolitik,” kata Anggraini.
Mestinya partai memahami psikologis seseorang yang berniat mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Anggraini mengatakan ambisi para perwira aktif tidak perlu dibukakan jalan hingga mereka mengundurkan diri. “Parpol harusnya sadar ada sejarah panjang yang diperjuangkan soal netralitas TNI dan Polri,” katanya.
Hal senada diungkapkan Komisioner Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti. Mantan Direktur Imparsial ini meminta perwira aktif yang hendak maju pilkada terlebih dulu mundur dari jabatannya. Langkah ini harus ditempuh oleh perwira aktif Polri dan TNI yang memilih untuk terjun ke dunia politik.
Poengky menilai, wajar saja jika ada para perwira yang hendak menggunakan hak politiknya, yaitu mencalonkan diri atau dicalonkan parpol sebagai calon kepala daerah.
“Jika yang bersangkutan sudah dicalonkan parpol atau mencalonkan diri untuk maju, maka yang bersangkutan harus segera mengundurkan diri. Jika tidak segera mundur, besar kemungkinan akan terjadi konflik kepentingan,” kata Poengky.
Merujuk UU 2/2002 tentang Polri dan UU 34/2004 tentang TNI, pendapat Titi Anggraini dan Poengky Indarti cukup beralasan. Misalnya, pasal 28 dalam UU Polri secara tegas mengatur polisi tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Sementara pada Pasal 28 ayat 3 UU Polri menyebutkan, “Anggota Kepolisian dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
Hal sama berlaku bagi TNI. Pasal 39 ayat 2 menyebut “prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis” dan pasal 47 ayat (1) mengatur bahwa “prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”
Kritik terhadap pencalonan perwira aktif di Pilkada tak hanya menyasar perkara etis. Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal Komite Independen Pengawas Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai hal itu adalah cerminan dari kegagalan partai dalam proses kaderisasi.
“Gejala kegagalan [kaderisasi] parpol sebenarnya telah terlihat sejak lama. Namun sekarang menjadi semakin bermasalah saat TNI dan Polisi aktif yang akan diusung parpol dalam pilkada," ujarnya.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Fahri Salam