Menuju konten utama
Hasto Kristiyanto

Sekjen PDIP: Kami Sudah Ada Calon di Jabar, Tunggu Momen yang Pas

Kemenangan pilkada di Jawa Barat tahun depan sangat menentukan untuk mengamankan kontestasi elektoral 2019.

Sekjen PDIP: Kami Sudah Ada Calon di Jabar, Tunggu Momen yang Pas
Ilustrasi Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP. Tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto menampik partainya bergerak lamban menghadapi Pilkada Serentak 2018 dan Pileg serta Pilpres 2019 nanti. Di saat beberapa partai Koalisi Merah-Putih sudah deklarasi mendukung dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, PDIP masih adem ayem saja.

Begitupun ketika Golkar, PPP, dan PKB sepakat mengusung Ridwan Kamil pada Pilgub Jabar, PDIP masih menunggu. Padahal, sebelum mendekat partai-partai pengusungnya, RK terlebih dulu melobi PDIP.

Senin kemarin, Hasto menerima wartawan Tirto, Ivan Aulia Ahsan dan Aqwam Fiazmi Hanifan di kantornya, bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Beberapa kali agar pesannya sampai, ia menyuruh asistennya menampilkan bahan presentasi di televisi berukuran 90 inci. Hasto berbicara mengenai jamuan makan malam antara Megawati dan Jokowi, masa depan cawapres Jokowi, hingga hubungan partai dengan Ridwan Kamil yang kurang mesra menjelang Pilgub Jawa Barat 2018.

Baru-baru ini Megawati mengundang Jokowi makan bareng di Batu Tulis. Ini mengingatkan 2014 saat sebelum pilpres. Apakah ini ada hubungan dengan 2019? Apa sebetulnya yang Megawati dan Jokowi bicarakan?

Praktis kalau kita lihat Mbak Mega ambil keputusan selalu lihat momentum politik dan tahapan-tahapannya. Sah-sah saja orang menganggap bicara soal 2019. Tapi bagi Bu Mega terlalu awal untuk bicara soal pilpres.

Baru beberapa tahun Jokowi jadi presiden sudah ada yang mengait-ngaitkan dengan pilpres. Kami mesti memberikan kesempatan pada presiden untuk penuhi janji-janjinya selama kampanye. Sehingga PDIP tidak ikut melanjutkan proses mencalonkan seperti partai lain. Karena sebagai partai pengusung utama, dukungan PDIP itu dukungan faktual. Dan dalam dukungan faktual itu kami di belakang (Jokowi).

Kami ingin bentuk pemerintah yang kuat, pemerintahan dalam sistem demokrasi Pancasila, serta perkuat sistem presidensial. Caranya, posisi kami tegas sebagai partai pengusung Pak Jokowi.

Nah, pertemuan Ibu dengan presiden itu pertemuan empat mata. Hanya beliau berdua yang tahu. Saya saat itu hanya supporting, mengawal saja.

Kalau bicara tentang pemilu, kami tidak bicara tentang kepentingan PDIP. Tetapi bagaimana untuk pertama kali pemilu serentak Pileg dan Presiden tidak mengandung risiko politik. Ditempatkan sebagai bagian dari konsolidasi memperkuat sistem presidensial: Bagaimana aspek keamanannya? Bagaimana data pemilihnya? Bagaimana penyelenggara pemilunya? Bagaimana pendanaan APBN-nya? Dan kepentingan PDIP: Bagaimana Pak Jokowi jadi harapan rakyat mendapat dukungan besar dari arus bawah.

Soal pencalonan pilpres dan wakil presiden ke depan, apa yang saya pahami dari Bu Mega itu kami selalu ikuti tahapan-tahapan. Dan tahapan dari KPU, kan, pencalonan capres dan cawapres itu Agustus 2018. Masih lama. Ngapain ribut sekarang? Toh setiap partai punya cara dan mekanisme. Buktinya pada pemilihan 2014 lalu, Bu Mega pada saat yang tepat mencalonkan Pak Jokowi.

Dan buktinya untuk Jawa Timur, dengan kesadaran penuh terhadap orang dan jasa Nahdlatul Ulama, sesuai kesadaran historis dan kultural PDIP, kami berikan (posisi cagub dan cawagub) itu ke NU.

Simbol politik apa yang ingin Megawati sampaikan?

Makan adalah simbol tradisi politik kita. Ibu Mega selalu bicara soal sejarah, bahwa Indonesia adalah negara kaya citarasa. Pada 60-an, Bung Karno menerbitkan buku Mustika Rasa setebal 1.000 halaman. (Buku masakan Mustika Rasa diterbitkan Departemen Pertanian pada 1967 dengan ketebalan 1.123 halaman)

Bu Mega ingin mendorong simbolisasi makan itulah politik dalam keseharian. Politik makan mengedepankan personal touch, bukan pertemuan antara kedua pemimpin semata. Ini bukan pertemuan ketua umum partai dan seorang presiden. Ini pertemuan lengkap dengan nilai manusiawi daripada aspek politik. Inilah Ibu. Banyak yang tidak memahami cara Ibu mengambil keputusan.

Soal politik hari ini. Tahapan pilpres semakin dekat dan apa pun bisa terjadi. Di internal PDIP, apakah sudah ada calon yang akan mendampingi Jokowi?

Masih ada tahapan. Agustus 2018. Masih lama. Tapi tentu bagi partai, secara strategis, kami selalu siapkan. Namun, tentu tidak harus hiruk-pikuk ke publik. Ini harus lewat proses. Itulah yang dilakukan Ibu Mega. Ibu selalu mengontemplasikan tantangan seperti apa.

Soal ini, kami mengambil keputusan pada momentum yang tepat. Kenapa PDIP tak ikut latah seperti partai lain untuk memberikan dukungan ke Jokowi? Kalau kami sudah jauh-jauh bicara pilpres, kapan pemerintah ini jalankan tugas utamanya untuk rakyat?

Mengapa PDIP tak segera mencalonkan Jokowi sebagai Pilpres 2019?

Ya, ada momentumnya. Segala sesuatu ada waktunya. Kalau kita enggak ikuti tahapan yang sudah digariskan KPU, ya untuk apa? Katanya taat aturan. Itu yang diikuti oleh PDIP. Kami bukan partai deklarator.

Pak Jokowi itu lahir melalui proses kepemimpinan partai, mulai dari wali kota, gubernur, hingga presiden. Kok kami sekarang dituntut deklarasi? Deklarasi sudah kami lakukan jauh-jauh hari sebelum 2014.

Apa sudah pasti PDIP mendukung Jokowi dua periode?

Ya tentu saja pertimbangan politik itu ada. Tapi, kan, segala sesuatu itu ada momentumnya. Dan kongres partai mengamanatkan kepada Ibu Megawati.

Pandangan Anda soal persiapan Pilkada 2018 kelak, terutama di Jawa Barat?

Pilkada itu muatan politik lokalnya dominan, jangan ditarik sebagai kepentingan politik praktis. Untuk pilkada, kami tidak anggap segala sesuatunya linear. Jabar itu gubernurnya PKS, lho. Tapi apakah PKS menang di Jabar? Saat Pileg 2014, kami yang menang. Di daerah, PKS hanya punya wali kota di Bekasi dan Sukabumi.

(Di Pilgub) Kami hati-hati karena kami dipercaya untuk menang di sana (Pileg 2014). Kalau kami enggak hati-hati dan bicara hanya elektabilitas, itu bagian dari pragamtisme. Gimana dong masa depan Jawa Barat?

Kami lihat selama 10 tahun terakhir. Adakah aspek-aspek kemajuan di Jabar? Yang ada: tingkat pengangguran tinggi, akses pendidikan ke perguruan tinggi cukup rendah, kemacetan merata. Begitu juga banjir, kerusakan lingkungan...

Kami ingin menjadikan Pilkada ini momentum membangun komitmen. Jadi kami tidak percaya pilkada itu linear. Jangan semata berkaca pada kekalahan di DKI. Pilgub menang PKS, tapi PDI Perjuangan menang di pileg. Ini enggak linear.

Ada kemungkinan PDIP berkoalisi dengan PKS di Jabar?

Tentu saja bekerja sama itu harus ada kesamaan ideologi, kesetujuan platform. Kalau enggak, kerja sama itu akan semu. Maka hal ini kami cermati. Tapi pilkada ini, kan, aspek figurnya yang dominan. PDIP ingin mengubah ini. Pilkada bukan aspek figur, tapi partai.

Baru-baru ini Netty Heryawan hadir di acara DPD PDIP Jawa Barat dengan memakai kerudung merah. Ini simbol politik. Mungkin baru kali pertama sejak 1960-an politikus berlatar Masyumi memakai simbol-simbol nasionalis.

Kalau lihat sejarahnya, Pak Aher (Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, suami Netty Prasetiyani) kan seperti Pak Taufik (Taufik Kiemas, suami Megawati): Ibunya Masyumi, bapaknya PNI. Itu hal normal. Dan kami membuat jembatan persaudaraan itu; kami punya Baitul Muslimin untuk mewujudkan Islam Nusantara.

Proyek membenturkan Bung Karno, PDIP, dengan Islam selalu gagal karena gaya PDIP selalu membumikan sila ketuhanan, yang integrasikan dengan sila-sila lain. Proyek pembenturan ini ditonjolkan. Tuduhan komunis, misalnya. Ini isu lama dibangkitkan kembali.

Bagaimana Anda melihat manuver partai lain di Jawa Barat? Tidakkah PDIP kalah langkah ketimbang partai lain saat mendukung Ridwan Kamil, misalnya?

Buat kami, sekali lagi, tolok ukur itu bukan dulu-duluan mengumumkan. Kalau jujur, sebetulnya kami sudah mengembangkan relasi dengan Pak RK (Ridwan Kamil), tapi kemudian kami lakukan kajian objektif dulu: RK ini kepemimpinan kuat, atau kepemimpinan by medsos? Meskipun kami melihat medsos itu sebagai media relasi sangat penting.

Lalu kami bentuk kajian membandingkan apa yg dilakukan Bima Arya (Bogor), Nurdin Abdullah (Bantaeng, Sulsel), Tri Rismaharini (Surabaya), Azwar Anas (Banyuwangi) dengan Ridwan Kamil. Kami bandingkan mana yang ada perubahan sistematik.

Coba Anda datang ke Kota Bandung, taman dibangun RK itu baru percontohan, coba bandingkan dengan Surabaya, bandingkan dengan Semarang, Bantaeng, atau Bogor? Terjadi perubahan sistemik di sana, karena dibangun dengan kesadaran birokrasi dulu. Sehingga kepemimpinan itu harus mengakar. Penting memang pencitraan di era ini, tapi tanpa didukung prestasi faktual itu akan berdiri di awang-awang.

Untuk Jawa Barat, sudah ada tokoh yang berpotensi diusung?

Sudah ada. Nanti akan kami sampaikan pada momen yang tepat.

Atau nanti di akhir-akhir seperti Pilgub DKI Jakarta? Heboh di awal, tapi ujungnya malah bergabung dengan koalisi besar?

Ah tidak juga. Jawa Timur buktinya kami sudah duluan.

Siapa calonnya, Dedi Mulyadi?

Selama ini tokoh terdekat yang mengusung konsep yang saya papar sebelumnya, kan, hanya dia.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2018 atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan & Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam