Menuju konten utama

Menimbang Cawapres Jokowi pada 2019

Dari beberapa nama yang mulai muncul dalam berbagai survei sebagai bakal pendamping Jokowi pada 2019, Sri Mulyani dan Tito Karnavian menduduki dua teratas.

Menimbang Cawapres Jokowi pada 2019
Ilustrasi Jokowi menimbang-nimbang pasangannya untuk Pilpres 2019. Tirto.id/Nadya Zahwa Noor

tirto.id - Di depan para kepala daerah se-Indonesia yang berkumpul di Istana Negara, 24 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo bergurau dengan inisial SMI.

“Di daerah saudara ingin bangun rumah sakit, pasar, income dari situ jelas bisa pinjam ke PT SMI. Itu apa? Sri Mulyani Indrawati.”

Semua hadirin tertawa.

Jokowi yang mengaku lupa kepanjangan SMI, lalu bertanya kepada Sri Mulyani Indrawati yang duduk tak jauh darinya. Setelah dijelaskan Sri Mulyani, Jokowi melanjutkan:

“Bisa pinjem ke PT SMI, punya Ibu Sri Mulyani Indrawati. Mirip-mirip, sih, yang satunya Sri Mulyani Indrawati, satunya Sarana Multi Infrastruktur. Namanya panjang banget.”

Hadirin kembali tertawa.

Jokowi barangkali tak sepenuhnya bercanda. Nama berinisial SMI mungkin punya tempat spesial di hatinya. Siang itu ia seakan melambungkan nama Menteri Keuangan-nya dengan cara istimewa.

Dalam beberapa bulan terakhir, nama Sri Mulyani memang selalu nangkring di posisi yang lumayan tinggi dalam survei-survei politik. Hasil survei PolMark Indonesia milik Eep Saefulloh Fatah, misalnya, menempatkan Sri Mulyani dalam angka popularitas 46,5%, mengungguli Puan Maharani (44,3%) dan bahkan Gatot Nurmantyo (32,5%).

Baca juga: Pemilu 2019: Potensi Pemilih Berpaling dari Jokowi dan Prabowo

Data yang diperoleh monitoring.id dari pemberitaan media sepanjang 1 Januari - 30 September 2017 menghasilkan angka intensitas kemunculan tokoh yang paling tinggi bagi Sri Mulyani. Tertinggi di sini maksudnya jika dibandingkan lima nama lain yang berpotensi menjadi calon wakil presiden (Tito Karnavian, Gatot Nurmantyo, Susi Pudjiastuti, Puan Maharani, Muhaimin Iskandar). Cakupan monitoring.id meliputi 200 media online, 60 media cetak nasional dan daerah, 38 majalah, dan 5 tabloid.

Terhitung sejak Sri Mulyani dipanggil pulang oleh Jokowi untuk menjabat menteri Keuangan lagi, popularitasnya kian melambung. Ia juga menjadi salah satu tokoh yang diperhitungkan dalam bursa kandidat wakil presiden.

Menjelang tahun politik 2019, beberapa nama tokoh santer diolah untuk mengincar kursi wakil presiden.

Kursi presiden sendiri rupanya masih susah dikejar tokoh-tokoh lain di luar duopoli Jokowi-Prabowo. Sementara hampir semua lembaga survei mengungkapkan elektabilitas Jokowi masih susah dikejar oleh tokoh mana pun, termasuk Prabowo Subianto. PolMark menempatkan presiden petahana itu sebagai sosok dengan popularitas (96,5%) sekaligus elektabilitas (41,2%) tertinggi jika pemilihan presiden dilaksanakan sekarang. Sementara Prabowo menguntit di bawahnya dengan skor popularitas 91,9% dan elektabilitas pada angka 21%.

Jika asumsi PolMark tentang “Pilihan Presiden Hari Ini” dipakai, memang hanya ada dua calon yang benar-benar bertarung, yaitu Jokowi dan Prabowo—sebuah polarisasi politik yang sama sekali tak beranjak dari tiga tahun lalu. Maka, persoalannya tinggal siapa yang akan mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019 nanti.

Baca juga:

Perebutan Kursi RI-2 akan Lebih Pelik

Rentang waktu dua tahun sampai Pemilu 2019 benar-benar akan dimanfaatkan partai-partai politik untuk mengolah cawapres jagoan mereka. Di waktu bersamaan, Jokowi juga menimbang-menimbang dan mengincar siapa yang akan mendampinginya. Koalisi pendukung Jokowi saat ini memang belum tentu akan menyatu lagi dua tahun ke depan dan masing-masing, tentu saja, akan menyorongkan calonnya sendiri.

Jokowi kemungkinan akan belajar banyak dari formula yang dipakai Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu 2009. Kala itu SBY tidak memilih pendamping dari partai politik. Popularitasnya tidak bisa dibendung lawan-lawannya. SBY paham alangkah lebih bebas baginya jika memilih wakil bukan dari partai. Kebetulan, wakil di periode pertama SBY dan Jokowi adalah orang yang sama: Jusuf Kalla.

Baca juga:

Di waktu-waktu inilah sebenarnya Jokowi punya momen terbaik untuk meraba nama-nama yang layak menjadi wakilnya sekaligus mempertimbangkan beberapa kandidat di luar partai politik.

Infografik Jokowi Cari pasangan

Drama politik sepanjang satu tahun terakhir sejak Pilkada DKI memberi pelajaran berharga bagi Jokowi soal pentingnya menjinakkan aspirasi kelompok Islam politik. Untuk urusan ini, Gatot Nurmantyo paling menonjol. Sejak aksi-aksi demonstrasi nomor cantik merebak, nama Panglima TNI ini moncer sebagai corong suara kaum Islam politik. Pada banyak survei, popularitasnya juga melejit.

Meski terkesan berseberangan dengan rezim, Gatot Nurmantyo bisa jadi salah satu kandidat yang masuk radar Jokowi. Ia tampaknya dibiarkan presiden untuk menaikkan popularitasnya sekaligus mengukur sejauh mana pengaruhnya di kalangan Islam politik. Ingat, langkah Gatot yang memicu kontroversi dan dianggap menaikkan pamornya sendiri hampir semuanya sepengetahuan (dan seizin) presiden.

Baca juga:

Tokoh yang popularitas dan intensitas kemunculannya juga tinggi adalah Tito Karnavian. Sebagai Kapolri, ia menonjol justru sebagai sosok yang bisa “melayani” Jokowi dalam situasi genting. Demonstrasi nomor cantik berjilid-jilid lagi-lagi jadi patokan. Tito-lah yang dianggap berhasil menjembatani aspirasi kelompok Islam politik dengan kepentingan Jokowi, sehingga aksi-aksi demonstrasi itu tidak menggerus secara signifikan popularitas sang presiden.

Nilai plus Tito di hadapan Jokowi adalah loyalitasnya yang seakan tak mengenal batas. Tito diangkat sebagai Kapolri dalam umur terhitung muda dan melangkahi banyak seniornya. Jokowi tahu, dengan kapasitas pribadi Tito dan kewenangan besarnya sebagai Kapolri, orang ini bisa diandalkan untuk mengimbangi permainan para jenderal politik Angkatan Darat. Dan yang paling penting: Tito adalah representasi luar Jawa.

Jokowi membiarkan semua nama-nama itu “bermain” dan mendulang popularitas dengan caranya masing-masing. Selain untuk mencari alternatif di luar calon dari partai, ia juga memanfaatkannya untuk mengeliminasi desakan PDIP menyorongkan Puan Maharani.

Sampai saat ini, Puan adalah trah Sukarno terakhir yang diandalkan untuk meneruskan wahyu keprabon. Memang masih ada Prananda Prabowo (kakak tiri) atau Puti Guntur (sepupu), tapi keduanya tidak dipersiapkan sejak lama.

Tahun 2019 bisa jadi momen terakhir bagi Puan untuk berkompetisi di level RI-1 atau RI-2. Ketika Pemilu 2024 dilaksanakan kelak, ada kemungkinan PDIP tidak dapat meraup suara terbanyak dan popularitas Puan sangat boleh terus merosot. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi PDIP kecuali menyorongkan nama Puan kepada Jokowi saat ini.

Jokowi, sementara itu, menghitung secara hati-hati keberadaan Puan. Ia tahu jika Puan yang digandengnya, putri Megawati ini akan menjadi titik lemah elektoral sekaligus bisa menggali kuburan politiknya sendiri.

Baca juga: Tabu Kinerja Menteri Puan Maharani

Bayangkan begini: sepasang capres-cawapres dari partai dan asal daerah yang sama (Jawa) tentu saja akan sulit merangkul suara di luar basis tradisional. Dengan kata lain, Puan tidak bisa menjadi simbol keseimbangan ideologi dan representasi kedaerahan yang sangat penting artinya dalam politik Indonesia.

Selain itu Jokowi emoh dikontrol terus-menerus oleh dinasti Sukarno. Periode kedua kepresidenannya diandaikan sebagai kurun ia bisa bebas bergerak dan memainkan kartu-kartu politiknya tanpa tekanan siapa pun, termasuk dari keluarga Megawati.

Lagi pula, Puan terhitung gagal memanfaatkan posisi sebagai Menko untuk mendongkrak popularitas dan ekspos media. Kinerjanya pun banyak dipertanyakan: hampir tidak ada gebrakan besar yang dilakukan Puan selama tiga tahun terakhir. Barangkali yang menonjol cuma kampanye "Revolusi Mental" di pelbagai media massa.

Intensitas kemunculan nama Puan di media massa, seperti yang diungkap monitoring.id, hanya berada di angka 4.439. Jauh berada di bawah Sri Mulyani (18.760) dan Tito Karnavian (13.905). Di angka itu, Puan bersaing ketat dengan Susi Pudjiastuti yang memperoleh 4.939.

Baca juga:

Dengan pilihan-pilihan calon yang tersedia dan mempertimbangkan situasi politik pasca-2019, Jokowi mesti memilih calon yang paling sedikit kekurangannya, melambangkan representasi luar Jawa, dan, yang terpenting, bisa mendongkrak elektabilititas.

Mengacu pada pertimbangan ideal itu, nama Tito Karnavian-lah yang paling menonjol. Ia orang Palembang dan loyalis Jokowi. Ia juga terbukti siap pasang badan ketika Jokowi dihantam dari sana-sini oleh lawan-lawan politiknya. Rekam jejak Tito memang minim di dunia politik, tapi pengalaman sebagai Kapolri dalam situasi turbulensi politik membuat instingnya terasah. Secara umur, ia juga lebih muda dari Jokowi.

Kekurangan paling besar dari sosok Tito adalah ia tidak diterima oleh sebagian besar kelompok Islam politik. Ada resistensi tersendiri terhadap Tito di kalangan itu. Tapi jika Jokowi sudah merasa cukup dapat dukungan kaum santri nahdliyin sebagai kaki penyangga dari kelompok Islam, sosok Tito adalah pilihan tepat.

Periode kedua jelas akan berbeda dari periode pertama. Jokowi sudah tidak punya beban untuk memenangi pertempuran berikutnya. Perlawanan dari kelompok Islam politik, jika masih ada, (sangat boleh) tidak akan sebegitu menggoyahkan di periode pertama.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Politik
Reporter: Ivan Aulia Ahsan
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Fahri Salam