tirto.id - Semua bermula pada 29 Februari 2016. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil memutuskan tidak maju di Pilkada DKI Jakarta menantang petahana Basuki Tjahaja Purnama.
Sebulan sebelumnya, RK digadang maju di Pilkada DKI. Beberapa ketua partai seperti Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie mengundangnya bertemu. Gerindra dan PKS bahkan sepakat mengusung Ridwan Kamil melawan Ahok.
Manuver lawan politik ini membuat Presiden Joko Widodo turun tangan. RK pun dipanggil. Setelah berjumpa Jokowi, RK yang semula antusias langsung apatis. Ia menolak maju di Pilgub DKI Jakarta.
"Intinya, beliau menyampaikan, keputusan yang terbaik itu bukan semata-mata mengejar sesuatu yang lebih besar, tapi yang di depan mata belum terselesaikan dengan baik," kata RK kepada wartawan, 29 Februari 2016.
"Beliau (Jokowi) melihat saya dan Pak Ahok adalah pemimpin daerah yang diapresiasi. Dan sebaiknya tidak bertanding. Itu sebabnya, nasihat bijak beliau sangat saya pahami," ungkap RK.
"Kalau saya lawan Pak Ahok, Pak Ahok menang, saya nganggur. Atau saya menang, Pak Ahok nganggur. Jadi enggak bermanfaat. Mungkin itu nasihat bijak yang saya pahami," ujarnya. Belakangan ada rumor bahwa Jokowi memang tengah mempersiapkan RK jadi gubernur di Jawa Barat.
Sejak pertengahan 2016, RK memperlihatkan sinyal itu. Ia merapat ke PDI Perjuangan, partai utama pengusung Jokowi pada Pilpres 2014, serta meninggalkan Gerindra dan PKS, dua partai pengusungnya pada pemilihan Wali Kota Bandung 2012.
Pada 1 Juni 2016, RK menemani Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri napak tilas ke sel penjara Bung Karno di Banceuy, Bandung. Dua bulan kemudian, Agustus 2016, mengenakan kemeja merah—simbol warna politik PDIP—RK hadir di Sekolah Kepala Daerah PDIP di Depok, yang juga dihadiri Megawati.
"Politik itu begini: mengejutkan," kata Megawati menyambut kedatangan RK.
Pada 4 Maret 2017, mantan dosen arsitektur ITB ini kembali datang ke acara PDIP dalam rapat organisasi sayap partai, Relawan Perjuangan Demokrasi, di Grand Alia Cikini, Jakarta Pusat.
Ia mengatakan komunikasi intens perlu mengingat keputusan pengusungan kandidat sering diberikan pada detik-detik terakhir. Jika hilang kontak sedikit, katanya, sangat mungkin suara akan dialihkan. RK sadar bahwa ia butuh partai untuk maju. Dan dalam pengalaman politik elektoral di Indonesia, bakal sangat berat jika ada kandidat diusung lewat jalur independen.
15 hari kemudian, 19 Maret 2017, dukungan secara resmi ia dapatkan. Di alun-alun Tegallega, Partai Nasional Demokrat mendeklarasikan secara resmi mengusung Ridwan Kamil. Sikap RK meneriman pinangan NasDem disebut blunder dan tergesa-gesa.
Dari sinilah awal mula hubungan RK dan PDIP mulai retak. Puncaknya pada awal Agustus lalu saat PDIP sepakat tidak mengusung RK pada Pilgub Jabar 2018.
Baca juga:
- RK: 'Dua Partai yang Terasosiasi Lawan Ahok Tidak di Pihak Saya'
- Serangan-Serangan kepada Ridwan Kamil
Pinang-meminang pada Pilgub Jabar
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut salah satu alasan hubungan yang "renggang" itu sikap tanpa berkomunikasi Ridwan Kamil dengan parpol lain ketika diusung NasDem.
"Karena Pak Ridwan Kamil yang sudah mengajukan diri sebagai gubernur, ya sudah. Itu hak beliau. Hanya, dalam hal ini, kolektivitas partai lewat dialog harus diutamakan. Ini yang harus dilihat sebagai sikap," ujar Hasto.
Pengurus daerah juga mengungkap kekesalan terhadap RK. Sekretaris DPD PDIP Jawa Barat, Abdy Yuhana, mengatakan RK tidak melakoni mekanisme penjaringan. RK sama sekali tidak mengambil formulir pendaftaran bakal calon gubernur yang dibuka DPD PDIP Jabar dari 20 Mei-4 Juli 2017.
Pihak DPD PDIP merasa "dilangkahi", karena selain mengabaikan komunikasi dengan pengurus, RK langsung menjalin lobi dengan DPP di Jakarta.
"Selama ini kami tidak pernah ada komunikasi dengan dia. Padahal, yang menggerakkan mesin partai, kan, ada di arus bawah, harusnya dia paham," kata Abdy kepada reporter Tirto.
Dalam seminggu terakhir, PPP dan Golkar telah merapat ke RK dan membubarkan "Koalisi Pancasila"—langkah pragmatis Golkar bersama PDIP pada awal Agustus lalu untuk menentang Wali Kota Bandung itu. Dan manuver terbaru itu agaknya tak bikin tertarik PDIP bergabung mendukung RK.
Wacana yang menguat belakangan ini adalah PDIP sedang menggojlok Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi, dan Wakil Gubernur Jabar, Deddy Mizwar. Nama yang terakhir muncul adalah Netty Prasetiyani, istri Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dari PKS. Netty bahkan terlihat muncul di acara PDIP beberapa hari belakangan, komplet dengan atribut kerudung merah.
Baca juga:
- Menanti Manuver Dedi Mulyadi Usai Didepak Golkar
- Ridwan Kamil & Deddy Mizwar Bersaing di Bursa Pilkada Jabar
- PKS Tak Goyah Usung Netty Prasetiyani
Kepada media, Senin lalu, Hasto menyebut RK memang populer tetapi kinerja Emil "tak cukup cemerlang" jika dibandingkan Bima Arya (Wali Kota Bogor dari PAN), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan), Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), dan Azwar Anas (Bupati Banyuwangi, Jawa Timur).
"Kami membandingkan mana yang mampu membangun perubahan yang sistematik, perubahan yang tidak diukur media sosial, tapi ya diukur kerja faktual di lapangan," seloroh Hasto.
RK tak terima dengan tudingan Hasto. "Dalam politik itu subjektif. Maka, kalau mau berbicara kinerja Kota Bandung, bicaralah dengan data, jangan persepsi."
"Jadi, saya kira, silakan saja mengomentari, saya apresiasi. Tapi kalau diskusi dengan saya, bawalah data. Kalau tidak bawa data, itu namanya tafsir pribadi," kata RK.
Relasi Jokowi dan Ridwan Kamil
Pertanyaannya: Di mana posisi Jokowi saat ada sinyalemen yang agak tegang antara RK dan PDIP?
Relasi Jokowi dan RK secara personal mungkin dekat. RK memenuhi kehendak Jokowi untuk urung maju di Jakarta. Dan dari data kantor sekretariat negara per 31 Oktober, Kota Bandung yang paling sering dikunjungi Jokowi sejak 2014. Total 10 kali Jokowi blusukan di Kota Bandung.
Saat berkunjung ke Bandung, Jokowi selalu lebih terlihat akrab dengan RK. Pada agenda kunjungan kerja 13 April lalu, misalnya, kemanapun Jokowi pergi, RK selalu menempelnya. Padahal, beberapa menteri ikut dalam kunjungan kerja Jokowi tersebut, serta didampingi Gubernur Ahmad Heryawan.
Terkadang, kunjungan-kunjungan kerja Jokowi ini dimanfaatkan RK untuk berbicara seputar Pilkada.
"Beliau sedikit bertanya saja. Arahannya, saya (diminta) melakukan yang terbaiklah. Karena saya dan beliau ini mirip-mirip (karier politiknya): datang dari entrepreneur, lalu datang dari wali kota," ujar lulusan Universitas of California ini.
Dan ada perhitungan pragmatis lain: Jokowi membutuhkan gubernur yang loyal buat mengamankan Pilpres 2019.
Saat NasDem meminang RK, Ketua Umum NasDem Surya Paloh memberi sinyalemen tersebut. "Dia harus mampu mempercepat pembangunan di Jawa Barat yang menimbulkan optimisme kuat. Karena pada 2019, NasDem akan kembali mendukung Jokowi," ujar Paloh saat deklarasi dukungan kepada RK di Bandung, 19 Maret 2017.
Hal sama diungkap Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy. "Sebab, secara politik PPP mendukung Jokowi, tentu kami minta Pak Emil juga mendukung Pak Jokowi nanti."
Begitupun Golkar. Seorang pengurus DPD Golkar Jabar membenarkan, jauh sebelum sikap DPP meninggalkan Dedi Mulyadi, ada tawaran dari Istana kepada Dedi agar urung maju pada Pilgub Jabar. Sebagai gantinya, Dedi diberikan slot jabatan di pemerintahan pusat. Namun, Bupati Puwakarta ini menolak dan keukeuh maju pada Pilgub Jabar.
Baca juga: Lika-Liku Ridwan Kamil hingga Diusung Golkar di Pilkada Jabar
Isu intervensi Istana kepada DPP Golkar membikin RK angkat bicara. Dalam pembelaannya, sikap Golkar itu didasari dua alasan yang realistis: ingin menang dan memilih calon populer berdasarkan survei.
"Jadi saya kira gosip itu terlalu jauhlah, ya," kata RK di Cianjur, akhir September lalu.
Pilkada Jabar 2018: Awal keretakan PDI-P dan Jokowi?
Jawa Barat adalah lumbung suara terbesar. Daftar Pemilih Tetap dalam Pilgub Jabar 2018 saja berjumlah 32.809.057 orang. Kemenangan telak di Jabar setidaknya membuka peluang lebih besar pada Pilpres 2019.
Jokowi punya trauma di Jabar. Pada 2014, ia kalah dari Prabowo Subianto secara telak: 40 persen berbanding 60 persen. Dari 26 Kota/Kabupaten, Jokowi hanya unggul di empat kabupaten/kota, yakni Kabupaten Subang, Indramayu, Cirebon, dan Kota Cirebon. Hasil ini jadi tamparan keras karena mayoritas pemimpin daerah di Jabar berasal dari PDIP.
Faktor Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan disebut-sebut di balik kemenangan Prabowo. Karena itulah, dengan menempatkan dan memenangkan RK sebagai gubernur, otomatis mempermudah langkah Jokowi mengamankan suara di Jawa Barat. Dan Jokowi terlihat sudah mengincar Jabar sejak lama.
Masih dari data Setneg, Jabar adalah provinsi yang paling sering dikunjungi Jokowi, sebagaimana pada Kota Bandung. Selama 36 bulan berkuasa, Jokowi telah 49 kali berkunjung ke Jabar, atau 1-2 kali setiap bulan.
Selain kedekatan secara personal dengan Jokowi, RK selalu unggul dalam survei. Popularitasnya sering di atas 30 persen. Dalam kasus Pilgub Jabar, Jokowi bisa saja berseberangan dengan PDIP.
Namun, Hasto menampik anggapan itu. "Jadi, ada tahapan strategis partai itu betul. Tetapi seluruh perencanaan harus kami hormati. Kalau kami hanya tempatkan Pilgub seolah linier dengan Pilpres, fakta menunjukkan tidak," katanya.
Perspektif menarik diungkap pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Muradi. Katanya, terlalu dini jika menyimpulkan ada persinggungan antara PDIP dan Jokowi pada Pilgub Jabar.
Muradi memuji tindakan PDIP yang "cerdik dan sabar" menyambut momentum. Analisisnya: hubungan politik antara RK dan PDIP baik-baik saja. Keduanya tengah menunggu potensi lawan keluar terlebih dulu. "Mungkin last minute, setelah itu diputuskan berkoalisi atau maju masing-masing."
Jika PDIP membentuk perahu sendiri dan melepas diri dari partai "Koalisi Merah-Putih", Muradi menilai Jokowi akan bermain dua kaki. Keputusan ini tak lepas dari upaya membelah suara kompetitor.
"Pada hakikatnya, Kang Emil atau Dedi Mulyadi itu, kan, all the president's men juga," ucapnya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam