tirto.id - Saifullah Yusuf adalah politikus yang sabar. Sejak menapaki karier politik pada pertengahan 1990-an, ia dikenal sebagai “pemain” yang pandai menunggu momen dan selalu datang di saat yang tepat. Seorang kawan dekatnya pernah menggambarkan, “Dia ini the right man on the right time, perhitungan politiknya selalu pas.”
Gus Ipul, panggilan akrabnya, seolah-olah ingin membuktikan kebenaran pernyataan kawan dekatnya itu: dalam kontestasi politik Jawa Timur, ia tahu kapan waktunya bertugas sebagai pemain cadangan dan kapan jadi line-up. Tahun ini, saat momennya dianggap telah tiba, ia maju menjadi calon gubernur.
Orang Pasuruan ini adalah salah satu dari sedikit wakil kepala daerah yang sabar untuk maju menjadi orang pertama. Data selama pelaksanaan pilkada langsung sepanjang 2005-2014, ada 94,64% pasangan kepala daerah yang pecah kongsi setelah berakhirnya masa jabatan pertama—sebuah angka yang sangat tinggi.
Gus Ipul berada di luar angka itu. Ia tetap setia mendampingi gubernurnya, Soekarwo, kader Partai Demokrat dan alumnus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia yang berpengalaman di jajaran birokrasi, selama dua periode.
Pasangan Soekarwo dan Gus Ipul dianggap sebagai representasi politik aliran masyarakat Jawa secara umum, dan Jawa Timur secara khusus. Jika mengacu pada studi klasik Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) soal tipologi politik aliran di Jawa, maka pasangan itu adalah wakil dari golongan abangan (nasionalis) dan santri. Studi Geertz memang sangat berasosiasi dengan Jawa Timur. Ia melakukan penelitian lapangan di Pare, Kediri — sebuah kabupaten di Jawa Timur di mana komposisi abangan-santri-priayi cukup berimbang — pada pertengahan 1950-an ketika politik aliran masih bergema di mana-mana.
Baca juga:
PDIP Siapkan 4 Nama untuk Dampingi Gus Ipul
Dalam konteks Jawa Timur, pasangan kepala daerah abangan dan santri memang dianggap ideal. Demografi politik Jawa Timur rupanya tidak jauh beranjak dari pola 1955 saat berlangsungnya pemilihan umum pertama. Di sini, polarisasi abangan dan santri pada ranah politik masih begitu terasa.
Pada pemilihan gubernur tahun depan, kemungkinan besar Gus Ipul akan kembali berhadapan dengan rival lawas Khofifah Indar Parawansa, yang dua kali berturut-turut gagal mengalahkan Soekarwo. Khofifah rupanya masih penasaran dengan kursi Jawa Timur 1.
Khofifah berlatar belakang santri nahdliyin seperti Gus Ipul. Mereka berdua memperebutkan suara di basis masa yang sama. Seperti Gus Ipul, Khofifah juga sudah kenyang pengalaman dalam dunia politik.
Baca juga:
Jika Gus Ipul dan Khofifah sebagai dua representasi kaum santri bertarung di pemilihan gubernur Jawa Timur 2018, ini berarti NU versus NU. Masihkah menarik pilgub Jatim tahun depan?Hasanuddin Ali, Direktur Alvara Strategic yang baru-baru ini melakukan survei pemilihan gubernur Jawa Timur, menyatakan optimismenya jika pilgub Jatim tahun depan tetap menarik.
“Ini bukan hanya pertarungan santri versus santri di Jawa Timur, tapi juga sebagai persiapan partai-partai menuju 2019. Dan peta politik Jawa Timur memang selalu menarik untuk dicermati,” katanya ketika diwawancarai Tirto.
Peta Kultural sebagai Wujud Konstelasi Politik
Secara umum, persebaran kultural masyarakat Jawa Timur terbagi menjadi tiga wilayah: Mataraman, Jawa Arek, dan Tapal Kuda (termasuk Madura). Ini memang bukan kategorisasi kultural yang ketat. Biasanya kategori ini hanya digunakan untuk mempermudah melihat sebaran demografi politik aliran di Jawa Timur.
Baca juga: Melihat 1 Muharam dalam Tradisi Jawa
Wilayah Mataraman merupakan bekas daerah vorstenlanden (kekuasaan Kerajaan Mataram) yang membentang di sisi timur dari Tuban sampai Trenggalek. Dalam sejarah, karena statusnya sebagai vorstenlanden, Mataraman sebenarnya lebih dekat dengan budaya “Jawa Tengahan”. Dan, tentu saja, kultur abangan yang menonjol.
Kecenderungan yang agak “hijau” paling tidak terdapat pada bagian pesisir (Tuban dan Lamongan) serta Kediri, tempat di mana pesantren-pesantren tradisional besar berada. Di sini pula, paling tidak sejak abad ke-19, tiga aliran yang dikaji Geertz (abangan, santri, priayi) bisa hidup berdampingan dengan pengaruh sosial masing-masing yang cukup berimbang.
Tapi dalam hal arah politik, daerah ini didominasi suara kaum abangan. Pada Pemilu 1955, Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia (dua partai representasi priayi-abangan) jauh mengungguli lawan-lawannya di Karesidan Madiun dan Kediri. Kecenderungan itu terus berlanjut pada Pemilu 2014 ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memenangi suara terbanyak di daerah itu.
Pada pemilihan gubernur 2013 lalu, pasangan Soekarwo dan Gus Ipul menang telak di Mataraman. Hanya di Tuban dan Lamongan pasangan lawannya, Khofifah-Herman, unggul. Jika Soekarwo dianggap sebagai wakil kaum abangan, maka politik aliran yang eksis sejak 1950-an masih berlaku hingga zaman ini.
Yang menarik sebenarnya, pola tipologi abangan-santri-priayi sudah begitu lebur dan susah diidentifikasi. Survei terbaru Alvara Strategic mengungkapkan, bahkan di wilayah Mataraman yang paling abangan sekalipun, 81% responden mengungkapkan kedekatan dan afiliasi keagamaan dengan Nahdlatul Ulama.
Baca juga: Cara Nahdlatul Ulama Menghadapi Perbedaan
Karena itu, tidak bisa disimpulkan begitu saja jika suara kaum abangan di wilayah ini akan bulat mendukung kandidat tertentu. Situasi politik terkini bisa mengubah arah. Tapi rumus politik sejak 1950-an tetap berlaku: siapa pun yang bisa menonjolkan diferensiasi kultural dan mampu menunjukkan bahwa ia adalah representasi kaum abangan, punya peluang mendapat limpahan suara yang signifikan dari wilayah Mataraman.
Barangkali perebutan suara yang lebih dinamis bisa terjadi di wilayah berikutnya, kawasan yang terkenal dengan sebutan “Arek”. Di sinilah area Jawa Timur yang paling urban, kawasan metropolitan Surabaya dan Malang Raya menjadi simbol utama kosmopolitanisme Jawa Timur. Kaum santri tidak begitu dominan di sini, tetapi masih punya akar kuat.
Wilayah ini melintang dari Gresik sampai Malang di bagian tengah Jawa Timur. Angka orang-orang yang menyatakan berafiliasi dengan NU sebanyak 90,1%—lebih besar dari Mataraman. Yang menarik dari wilayah ini, tidak ada partai politik dan aliran yang benar-benar dominan.
Gabungan perolehan suara PNI dan PKI di Karesidenan Surabaya pada Pemilu 1955 (495.000) menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda dengan Partai NU (431.000). Kecenderungan ini terus berlanjut hingga 2014: PKB dan PDIP masing-masing memperoleh suara yang cukup berimbang. Sementara data perolehan suara Pilgub 2013 menunjukkan kemenangan Soekarwo-Gus Ipul di mayoritas kabupaten/kota di wilayah ini.
Wilayah ketiga, sementara itu, adalah basis kaum santri yang sangat kuat. Secara tradisional, di sinilah Partai NU, dan kemudian PKB pada masa kini, mendulang suara begitu banyak. Dikenal dengan nama “Tapal Kuda”, kawasan yang membentang dari Probolinggo sampai Banyuwangi ini memiliki massa yang menyatakan diri berafiliasi dengan NU sebanyak 97%.
Di sinilah suara kaum santri benar-benar menjadi rebutan jika Gus Ipul dan Khofifah sudah pasti maju sebagai kandidat gubernur, siapa pun wakil yang mereka pilih. Suara gabungan partai NU dan Masyumi pada Pemilu 1955 jauh melampaui gabungan PKI dan PNI (850.000 berbanding 612.000). Pada 2014, dan pemilu-pemilu sebelumnya di era Reformasi, PKB selalu mendulang suara sangat signifikan dari wilayah ini.
Pertarungan santri versus santri di wilayah ini ada pada level sejauh mana mereka bisa memikat kiai-kiai lokal dan para pimpinan pondok pesantren. Di daerah inilah adagium pejah-gesang nderek para kiai (hidup-mati ikut para kiai) menemukan gemanya yang paling keras.
Pentingnya Wakil
Nilai plus akan didapat para kandidat jika mereka memilih wakil dari wilayah tapal kuda atau dari kalangan nasionalis-abangan. Partai-partai pendukung Gus Ipul sudah melakukan langkah tepat dengan meminang Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi, sebagai pasangan wakilnya.
Azwar Anas adalah tokoh yang sedang moncer, tidak hanya di daerah basisnya di tapal kuda, tapi juga seluruh Jawa Timur. Prestasinya selama menjabat sebagai Bupati Banyuwangi menempatkan lelaki 44 tahun ini sebagai sosok populer. Survei Alvara Strategic menempatkan Azwar Anas di posisi teratas pada semua kategori pertanyaan tentang sosok wakil gubernur. Semua angkanya menunjukkan rata-rata di atas 35%, jauh mengungguli nama-nama lain.
Dengan memasang Azwar Anas sebagai wakil, suara orang-orang abangan di ujung timur tapal kuda (Banyuwangi dan sekitarnya) berpotensi melimpah kepada Gus Ipul. Meski Azwar Anas masih terhitung santri (waktu sekolah pernah jadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) dan diklaim sebagai “anak kami [NU] sendiri yang kami sekolahkan di PDIP” oleh K.H. Anwar Iskandar, pemimpin pondok pesantren Al Amien Ngasinan Kediri, ia bisa menarik suara kaum nasionalis. Ini dimungkinkan lantaran posisinya sebagai kader PDIP.
Khofifah, di sisi lain, belum menentukan wakilnya. Ia masih mencari-cari sosok yang tepat. Indikasi mengarah kuat bahwa ia dan timnya tengah mengincar representasi kaum nasionalis. Dalam pertemuan dengan para kiai sepuh yang ia sebut sebagai "Tim 9" (berasosiasi dengan sembilan bintang dalam logo Nahdlatul Ulama), Khofifah mengaku dinasihati para kiai agar memilih wakil dari kalangan nasionalis.
“Intinya adalah kalau nanti akan mencari calon wakil diminta oleh para kiai dari aliansi santri-nasionalis,” kata Khofifah di Gedung DPR (17/10/2017).
Salah satu orang yang digadang-gadang sebagai pendamping Khofifah adalah mantan Bupati Probolinggo Hasan Aminudin, yang saat ini menjadi anggota DPR dari Partai Nasdem, dan berperan besar dalam kesuksesan Nasdem meraih suara signifikan dalam Pileg 2014, terutama di daerah Tapal Kuda. Nama Emil Dardak, bupati muda dari Kabupaten Trenggalek, juga muncul disorong Partai Golkar. Kedua nama itu memang santer disuarakan hari-hari ini sebagai calon wakil gubernur dan merupakan representasi kalangan nasionalis.
Kita masih menunggu sampai tahun depan, duet santri-nasionalis mana yang akan memimpin Jawa Timur. Dan apakah kesabaran Gus Ipul atau kepenasaranan Khofifah yang akan memenangi pertarungan.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS