Menuju konten utama

Melihat 1 Muharam dalam Tradisi Jawa

Satu Muharam diingat ketika Nabi Muhammad SAW berpindah dari Mekah ke Madinah. Namun, dalam tradisi di Indonesia khususnya Jawa, tanggal ini juga punya ragam tradisi dan makna.

Melihat 1 Muharam dalam Tradisi Jawa
Warga mengarak gunungan palawija berkeliling kampung di Pekulo, Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (20/9/2017). ANTARA FOTO/Budi Canadra Setya

tirto.id - “Kesibukan malam satu suro semakin beragam saat simbah kakung masih hidup dulu. Biasanya simbah akan puasa pati geni (puasa tidak berbicara) seharian, sebelum malamnya menjalani ritual ngumbah gaman,” kata Sri berkisah soal simbah kakung dan keluarga buliknya yang hidup di Gunungkidul, Yogyakarta.

Sri menuturkan ngumbah gaman adalah ritual mencuci pusaka, berupa keris atau benda-benda lain yang dikeramatkan. Ritual ini rutin dilakukan setiap malam 1 Suro, atau malam 1 Muharam yang menjadi penanda pergantian tahun dalam tarikh Islam. Namun, dalam tradisi masyarakat di Jawa, sering menyebutnya 1 Suro.

Bagi orang Jawa, Suro atau Muharam sama-sama disambut dengan perayaan dan pensakralan. Ihwal ini tak terlepas soal penanggalan Jawa dan kalender Hijriah yang memiliki korelasi yang dekat, khususnya semenjak masa Mataram di bawah Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645).

Tahun hijriah diawali dengan bulan Muharam, yang oleh Sultan Agung dinamakan sebagai bulan Sura. Pengaruh kontrol keraton yang kuat melatarbelakangi tindakan revolusioner Sultan Agung dalam upayanya mengubah sistem kalender Saka--merupakan perpaduan kalender Jawa asli dengan Hindu. Kemudian menjadi kalender Jawa yang merupakan perpaduan kalender Saka dan kalender Hijriah.

Menurut Karkono Kamjaya Partokusumo dalam buku Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam, perubahan sistem kalender tersebut terjadi pada Jumat Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633 Masehi.

Menilik dasar perhitungannya, kalender Saka mengacu pada sistem solar atau matahari. Sementara itu, kalender Jawa yang dibuat Sultan Agung berdasarkan lunar atau sistem bulan seperti sistem kalender Hijriah. Kedua sistem perhitungan solar dan lunar berbeda, sehingga tindakan Sultan Agung dianggap revolusioner.

Sultan Agung memang menaruh perhatian besar pada kebudayaan Jawa. Proses perpaduan kalender Hijriah yang dipakai di pesisir utara dengan kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman, menghasilkan kalender Jawa-Islam. Ini salah satu upaya mempersatukan masyarakat Jawa pada masa itu. Upaya yang revolusioner ini membuat bulan Suro atau Muharam ini begitu dianggap istimewa.

Muhammad Sholikhin dalam buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa menjelaskan bahwa Sultan Agung memprakarsai Muharam menjadi bulan awal tahun baru bersama-sama antara Islam dan Jawa. Bulan ini istimewa karena ada kepercayaan bahwa bulan itu saat kedatangan Aji Saka ke tanah Jawa dan membebaskan masyarakat Jawa dari cengkeraman makhluk-makhluk raksasa yang menjajah masyarakat Jawa. Selain itu bulan ini juga dipercayai sebagai bulan kelahiran huruf Jawa.

Bila menilik kejadian 1 Muharam dalam sejarah Islam, ini menandai peristiwa ‘hijrah’. Dalam buku Di Balik 7 Hari Besar Islam: Sejarah, Makna dan Amaliah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW hijrah dari Kota Mekah ke Madinah pada 622 Masehi. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 1 Muharam, sebagai tahun baru dalam kalender Hijriah.

Baca juga:

Infografik Merayakan Muharam

Tradisi 1 Muharam di Jawa

Satu Muharam atau Suro yang memiliki catatan peristiwa penting di dunia Islam ataupun kebudayaan masyarakat Jawa, telah menjadi latar munculnya berbagai festival atau perayaan untuk memperingatinya. Perayaan-perayaan ini tak hanya ditujukan untuk kegiatan keagamaan, tapi juga bagian perayaan kultur budaya sekaligus pelestarian tradisi masyarakat.

“Saat ini, Tahun Baru Hijriah bukan hanya dirayakan sebagai hari libur karena alasan religius, namun juga sebagai hari libur budaya," kata Imam Johari Abdul Malik, dari Pusat Islam Dar al-Hijrah di Washington DC, dikutip dari Washington Times.

Baca juga: Peringati 1 Muharam 2017, Banda Aceh akan Gelar Zikir Akbar

Perayaan-perayaan saat Muharam lekat dengan upaya apresiasi terhadap nilai-nilai keagamaan. Hal ini terlihat pada beberapa festival yang berlangsung di Jawa, misalnya pada Gerebeg Suro. Fenomena ini dijelaskan oleh Istivani Elvia Rini dalam penelitian yang berjudul "Makna Tradisi Grebeg Suro dalam Melestarikan Budaya Bangsa Bagi Masyarakat." Grebeg Suro merupakan kirab mengelilingi benteng keraton, puncaknya adalah pembagian tumpeng raksasa yang disediakan oleh pihak keraton. Tumpeng tersebut merupakan simbol keberkahan untuk masyarakat.

Penelitian yang menggunakan metode pendekatan deskriptif kualitatif bersumber dari Keraton Kasunanan Surakarta dan masyarakat Kelurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta ini menyimpulkan soal makna yang terkandung dalam tradisi Grebeg Suro. Tradisi Grebeg Suro selain dimaknai sebagai upacara ritual dalam rangka menyambut bulan Suro, juga dianggap sebagai bentuk penyembahan kepada Tuhan, dan salah satu media dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam.

Selain itu, tradisi Grebeg Suro mengandung nilai-nilai yang bersifat luhur dan nilai historis, nilai edukasi dan nilai religius. Hal ini juga disampaikan oleh Rudi Triyo Bowo, peneliti dari Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri Salatiga, melalui risetnya yang berjudul "Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Peringatan Tahun Baru Hijriah di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung." Berbeda dengan Grebeg Suro, ritual di Temanggung, Jawa Tengah, dilaksanakan dengan bernyanyi bersama Kidung Jawi yang berjudul Dhandang Gula, dilanjutkan dengan acara Kacar-kucur dan doa keselamatan bersama yang dipimpin oleh kaur keagamaan.

Dalam ritual tersebut, Rudi menemukan pandangan bahwa terdapat nilai-nilai masyarakat dalam ritual peringatan tahun baru Hijriah di daerah itu. Sebagian besar masyarakat sekitar mempercayai bahwa dengan melaksanakan ritual peringatan tahun baru Hijriah akan mendatangkan keberkahan dan kebaikan. Nilai pendidikan yang dapat dipahami oleh masyarakat dari upacara adat peringatan tahun baru Hijriah di Temanggung antara lain pelestarian nilai sejarah, nilai gotong royong dan kerjasama, serta pelestarian kearifan lokal.

Selain itu, warga lereng Gunung Semeru di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, melestarikan ritual larung pendam setiap 1 Muharam. Tradisi ini sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Dengan tujuan yang sama, warga Desa Kenjo, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menggelar tradisi adat sapi-sapian dalam menyambut 1 Muharam.

Tradisi-tradisi ini hanya sebagian kecil dari ragam tradisi menyambut 1 Muharam di Jawa. Masyarakat Jawa punya cara masing-masing memperingati sebuah momen yang pada dasarnya tak hanya sebuah pergantian tahun semata.

Baca juga artikel terkait 1 MUHARRAM atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Suhendra