tirto.id - Segera setelah ditetapkan sebagai Gubernur Jawa Barat oleh KPU, Ridwan Kamil mengatakan bakal membentuk tim bernama Majelis Pertimbangan Gubernur (MPG). Emil, demikian Ridwan Kamil biasa dipanggil, mengatakan MPG bakal bertugas memberikan masukan kepadanya dan wakil gubernur terpilih Uu Ruzhanul Ulum terkait kebijakan yang bakal diambil selama mereka memimpin.
Pembentukan lembaga semacam ini bukan hal yang aneh dalam lembaga eksekutif. Presiden Jokowi pun diiringi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Namun, pada Emil, hal ini jadi menarik karena ia mengajak bekas lawannya, baik mantan calon gubernur dan mantan calon wakil gubernur, masuk ke dalam tim.
Kata Emil, seperti dikutip Antara: "Sehingga dalam menjalankan tugas untuk lima tahun ke depan, kami punya surat atau masukan atau nasihat dari mereka-mereka yang sangat mencintai Jawa Barat."
Merangkul Lawan, Amankan Jabatan
Indria Samego, peneliti utama dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang fokus mengkaji politik nasional, mengatakan Ridwan Kamil tak hendak benar-benar merangkul orang-orang yang disebutnya "cinta Jawa Barat" itu.
Di balik itu, menurut Indria, ada maksud yang sifatnya lebih mendesak dan terkait dengan kepentingan Ridwan Kamil sendiri: memastikan tak ada lawan politik berarti.
"Itu kan wujud kekhawatiran saja, atau pura-pura memperhatikan yang kalah dengan cara merangkul," ujar Indria kepada Tirto, Kamis (26/7/2018).
Hasil pilkada lalu menempatkan Ridwan Kamil-UU sebagai juara pertama dengan perolehan 7.226.254 suara atau setara 32,88 persen dari total suara yang masuk. Ridwan tak bisa disebut menang telak karena di posisi kedua ada pasangan nomor tiga, Sudrajat-Ahmad Syaikhu (Asyik), yang mendapat 6.317.465 suara atau 28,74 persen. Sementara itu, Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi meraih 5.663.198 suara (25,77 persen) dan TB Hasanuddin-Anton Charliyan 2.773.078 suara (12,62 persen).
Menurut Indria, Wali Kota Bandung periode 2013-2018 itu sebaiknya tak perlu membuat lembaga baru seperti MPG. Untuk merealisasikan gagasan dan janjinya selama kampanye, Ridwan Kamil-Uu cukup memanfaatkan lembaga yang sudah ada.
"Apakah lembaga yang ada tidak cukup untuk operasionalkan ide-ide kampanyenya Ridwan Kamil? Harusnya maksimalkan yang sudah ada, ada Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), dinas-dinas," tuturnya.
Selain terkait pembiayaan (tentu saja orang-orang yang tergabung dalam MPG harus diberi honor), Ridwan Kamil tak perlu gusar karena sudah pasti pada jabatannya nanti bakal ada pihak-pihak yang senantiasa memberikan kritik dan masukan, baik diminta ataupun tidak.
Di sisi lain, tak seperti pemilihan di Jakarta, pada pilgub Jawa Barat tak ada keributan berarti. Budayawan Sunda Mamat Sasmita menyebut hal ini disebabkan karena masyarakat Jawa Barat sudah "cukup dewasa".
"Ada kesadaran masyarakat bahwa pemilihan kepala daerah seperti ritual biasa. Kan masyarakat kita, apalagi di kampung, suka ada pilkades. Jadi biasa-biasa saja," kata Mamat kepada Tirto.
"Mungkin agak beda. Kalau di DKI kan [prinsip warga dan kandidatnya] 'elu elu, gua gua' Kalau di sini kan 'eta keneh, eta keneh'," kata Mamat.
Tak adanya konflik berarti di tengah-tengah masyarakat membuat MPG juga semakin tak relevan.
Tentu pada akhirnya keputusan tetap berada di tangan Ridwan Kamil-Uu yang beranggapan bahwa lembaga ini perlu ada. Kalau sudah begitu, mengutip ucapan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin, para mantan kandidat yang diajak harus menyambut baik.
"Sifatnya mungkin silaturahmi dan rekonsiliasi. Hal yang wajar jika RK membentuk majelis tersebut, karena membangun Jawa Barat tidak bisa sendirian," katanya.
Meski demikian, tetap ada catatan dari Ujang. Lembaga ini, katanya, harus punya "makna dan arti" agar tak jadi sekadar tempat menampung bekas lawan politik.
"Jangan sampai dibentuk tanpa makna dan arti. Harus dipastikan bisa berjalan untuk kesinambungan pembangunan," kata Ujang. Ia juga berpendapat bahwa untuk lembaga ini, Ridwan Kamil tak boleh menggunakan APBD.
Tanggapan Para Pesaing
Bagaimana tanggapan para pesaing? Sikap mereka bermacam-macam. Tubagus Hasanuddin, mantan calon gubernur yang diusung PDI Perjuangan, menolak bergabung meski mengapresiasi ide tersebut.
Tb. Hasanuddin enggan masuk MGP karena mempertimbangkan posisinya selaku Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat. Ia merasa perwakilan PDI di DPRD Jawa Barat sudah cukup untuk mengawal pemerintahan Ridwan Kamil-Uu hingga masa jabatan berakhir.
"Sikap saya jelas: saya akan tetap mendukung program-program gubernur baru selama itu bermanfaat untuk rakyat Jabar. Tapi juga akan tetap mengkritisinya bila itu tidak ada manfaatnya atau tak sesuai dengan aspirasi rakyat Jawa Barat," tulis Tb. Hasanuddin dalam rilis resminya, Rabu (25/7/2018).
Tanggapan lain diberikan pasangan Sudrajat-Syaikhu, yang pada pilkada lalu diusung Gerindra, PAN, dan PKS. Sudrajat berkata mau menjadi anggota MPG, tapi ia tak berjanji bisa bekerja penuh waktu di sana.
Meski menyambut positif ide RK, Sudrajat mengingatkan agar MPG nantinya tidak asal dibentuk tanpa memiliki fungsi dan tujuan yang jelas.
"Banyak contoh majelis-majelis seperti ini akhirnya hanya jadi pajangan, formalitas protokoler, dan aksi-aksian saja. Akhirnya buang-buang waktu dan anggaran, nasihatnya tidak didengar dan jadwal kegiatannya tidak jelas," ujar Sudrajat kepada Tirto.
Tanggapan serupa diberikan Ahmad Syaikhu. Politikus PKS itu menyebut bersedia bergabung di MPG. Ia juga mengaku sudah diajak langsung oleh RK bergabung ke MPG saat bertemu beberapa hari lalu.
Lawan politik Ridwan Kamil-Uu lain, Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi, hingga kini belum memberi tanggapan ihwal rencana pembentukan MPG. Kedua politikus itu belum menanggapi pesan singkat dan telepon Tirto hingga berita ini ditulis.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino