tirto.id - “Tagar itu sangat mempengaruhi perolehan suara pemilihan Gubernur di Jawa Barat.”
Pernyataan tersebut diungkapkan calon wakil gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, di kantor DPP Golkar, Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (2/6/2018). Tagar yang dimaksud Dedi adalah #2019GantiPresiden.
Dedi menuturkan dirinya kalah di Pilgub Jabar 2018 karena suara dukungan beralih ke partai yang memprakarsai gerakan tagar tersebut, yakni PKS, beserta kawan koalisinya, Gerindra. Akibatnya, suara dukungan untuk paslon nomor urut 4 itu beralih ke pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu.
Keluhan Dedi tersebut dianggap wajar mengingat partai pengusung pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi di Pilkada Jabar 2018 terdiri dari dua kubu yang berbeda pilihan terkait Pilpres 2019. Demokrat sampai saat ini belum menentukan sikapnya, sedangkan Partai Golkar secara tegas mendukung Joko Widodo sebagai capres pada Pilpres 2019.
Ketua Departemen Politik DPP PKS, Pipin Sofyan mengklaim, gerakan #2019GantiPresiden memang berhasil merebut suara dari sebagian pemilih di Jawa Barat. Menurut dia, gerakan itu jauh lebih efektif daripada gerakan #Jokowi2Periode yang juga ramai dilakukan.
Pernyataan Pipin memang bukan omong kosong belaka. Dari hasil rilis lembaga survei sebelum pencoblosan pilkada serentak, pasangan yang diusung koalisi Gerindra, PKS, dan PAN, yakni Sudrajat-Ahmad Syaikhu tak berhasil mengejar elektabilitas Ridwan Kamil-Uu atau bahkan Deddy-Dedi.
Hasil survei Indo Barometer, misalnya, menempatkan Sudrajat-Ahmad Syaikhu dengan perolehan 6,1 persen, sedangkan Deddy-Dedi 30 persen, dan Ridwan-Uu 36,9 persen. Hasil lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu hanya 7,9 persen, sedangkan Deddy-Dedi mencapai 34,1 persen.
Namun demikian, hasil perolehan pada pilkada serentak 2018 menunjukkan hasil yang jauh berbeda. Berdasarkan hasil rekapitulasi scanmodel C1 di laman resmi KPU (data yang masuk 91,27 persen per Jumat, 29 Juni) misalnya, pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu finis di urutan kedua.
Paslon yang diusung PKS, PAN, dan Gerindra itu mendapat suara 5.691.351 suara (28,33 persen), unggul dari pasangan Deddy Mizwar/Deddy Mulyadi 5.208.031 suara (25,92 persen). Sementara di posisi teratas adalah pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum yang memperoleh suara sebanyak 6.671.182 atau 33,21 persen, sedangkan di urutan buncit ialah TB Hasanuddin/Anton Charliyan dengan perolehan 2.518.663 suara (12,54 persen).
“Ini memberikan optimisme kepada rakyat Indonesia yang menghendaki perubahan kepemimpinan karena mereka menilai ada pemimpin yang lebih baik di 2019 nanti dilihat dari integritasnya,” kata Pipin. “Tidak main-main ini, pasangan Asyik 3-4 persen kenaikannya, 300 sampai 400 persen.”
Pipin mengaku optimistis gerakan #2019GantiPresiden bisa menghentikan laju Jokowi untuk memenangkan pilpres mendatang. Meskipun kubu Jokowi melakukan aksi tandingan untuk melawan gerakan #2019GantiPresiden, akan tetapi, kata Pipin, aksi itu tidak bisa memberikan dampak menggalang dukungan publik, terutama masyarakat Islam yang dinilai antipati terhadap Jokowi.
Selain karena partai pengusung Jokowi, seperti PDIP juga kalah di Pilkada Jawa Barat, Pipin mengklaim, PDIP juga kalah di banyak daerah, termasuk Sumatera Utara.
“Gerindra juga sebenarnya banyak kalahnya. Ini fenomena banyak [calon] yang diusung partai Islam memenangkan pilkada. Itu kenapa makanya PAN, PKS, dan PPP mendapat raihan lebih besar dari Golkar, PDIP, dan Gerindra. Ada fenomena kesadaran umat [Islam] makin meningkat,” kata Pipin.
Akan tetapi, klaim Pipin tidak sepenuhnya benar. Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, misalnya, partai yang paling banyak menang di antara 17 provinsi yang menggelar pilkada serentak, justru Partai Nasdem--partai pendukung Jokowi di Pilpres 2019. Di peringkat kedua, barulah ada PAN yang menang di 10 provinsi. Partai pendukung Jokowi lainnya, Golkar dan Hanura bahkan juga unggul dari PKS dan Gerindra.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Gerindra, Andre Rosiade menampik bahwa gerakan #2019GantiPresiden tidak bisa membawa Gerindra menuju kemenangan. Andre mengklaim, di pilkada serentak 2018 Gerindra berhasil mengantongi kemenangan 60 persen dari total 171 kabupaten/kota.
“Kami memang di 60 persen pilkada. Hanya Pilgub kami menang 17 persen. Kalau kami total 171 kab/kota itu kami menang 60 persen. Siapa bilang kami kalah? Dan kami sangat puas hasil pilkada ini karena menunjukkan mesin partai berjalan efektif,” kata Andre mengklaim.
Andre menilai, gerakan #2019GantiPresiden merupakan salah satu motor kemenangan Gerindra di berbagai daerah tersebut. Akan tetapi, Andre mengaku bahwa Gerindra juga melakukan pendekatan tokoh-tokoh selain dengan mengandalkan gerakan tagar tersebut.
“Iya dong itu [tagar] membawa kemenangan. Tentu mensyaratkan bahwa masyarakat menginginkan #Gerakan2019GantiPresiden,” katanya. “Selain mengedepankan hashtag, kami juga mendekati tokoh-tokoh lah untuk melakukan endorse. Satu-satu pokoknya kami kerjakan.”
Tidak Efektif di Semua Daerah
Direktur Populi Center Usep S Ahyar menegaskan bahwa gerakan #2019GantiPresiden tidak bisa distempel efektif secara skala nasional. Menurutnya, gerakan itu baru terlihat efektif di daerah Jawa Barat saja. Menurut Usep, gerakan tersebut hanya menguatkan masyarakat yang memang mempunyai basis oposisi Jokowi yang kuat.
Apa yang dikatakan oleh Usep ini memang beralasan. Hasil survei exit poll yang dirilis SMRC, Selasa (3/7/2018) menunjukkan elektabilitas Prabowo Subianto di Jawa Barat 51,2 persen, mengalahkan Jokowi dengan angka 40,3 persen. Sedangkan di daerah lain, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Jokowi unggul.
Di Jawa Tengah, misalnya, elektabilitas Jokowi mencapai 73,1 persen, unggul dari Prabowo dengan angka 19,7 persen. Hal yang sama terjadi di Jawa Timur dan Sumatera Utara, Jawa Timur mendapat 64,2 persen, sementara Prabowo hanya mendapat 28,3 persen. Sedangkan di Sumatera Utara, Jokowi 52,8 persen dan Prabowo hanya 40,4 persen.
“Mungkin saya setuju dengan Pak Dedi bahwa salah satu faktor itu gerakan #2019GantiPresiden yang kemudian pemilihnya banyak beririsan. Jadi tidak bisa digeneralisasi dan ditarik ke nasional. Kalau di Jawa Barat memang kelihatan,” kata Usep.
Usep mengatakan, hasil Pilada Jawa Tengah membuktikan hal itu. Ganjar Pranowo yang diusung PDIP tidak mampu dikalahkan oleh Sudirman Said yang diusung Gerindra, PAN, PKB, dan PKS. Meski ada kenaikan dari prediksi suara untuk Sudirman, akan tetapi Usep menyangkal bila hal itu karena efek gerakan #2019GantiPresiden.
Hal tersebut, kata Usep, didasari karena keberadaan PKB yang juga mendukung Jokowi selama ini. Menurut Usep, sangat riskan apabila PKB justru menjatuhkan Jokowi di daerah, tapi mendukungnya secara nasional.
“Di Jawa Tengah lebih faktor ulama daripada gerakan #2019GantiPresiden. Karena Pak Dirman juga kan enggak pakai isu itu, karena Pak Dirman menyadari betul dia akan menarik dari pendukung-pendukung Pak Jokowi yang PKB dan PDIP itu. Jadi menurut saya kalau pakai #2019GantiPresiden malah akan blunder di Jawa Tengah dan akan sedikit. Justru karena tidak memakai itu, Pak Dirman leading. Soal presiden itu nanti,” kata Usep.
Di daerah lainnya, selain Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, isu tersebut juga dirasa tidak cukup mempengaruhi pemilih di pilkada serentak 2018. Alasannya, kata Usep, partai oposisi dan partai pendukung pemerintah mendukung calon yang sama. Gerindra dan PDIP sebagai partai utama dua kubu tersebut, bahkan berkoalisi di sejumlah daerah.
“Di Jawa Barat saja sebetulnya pendukungnya Deddy-Dedi terbagi karena Demiz bekas didukung Gerindra, jadi pendukungnya ke Sudrajat-Syaikhu,” kata Usep.
Usep menambahkan “Intinya enggak di semua daerah, karena di daerah lain juga Hanura, Nasdem tentu tidak akan mau menggunakan isu #2019GantiPresiden. Mereka bisa rugi di perhelatan yang lebih besar, di Pilpres 2019.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz