tirto.id - Tanda pagar (tagar) #2019GantiPresiden belakangan ini menjadi ramai di media sosial, hingga membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut berkomentar.
Tema soal #2019GantiPresiden itu mulai diperbincangkan setelah Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera membagikan gelang bertuliskan kalimat tersebut di sebuah acara televisi swasta.
Gelang itu sempat dipakai bersamaan oleh Mardani dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon. Setelah peristiwa itu, banyak kaos dan stiker memuat tulisan "#2019GantiPresiden" marak dijual.
Penjualan kaos dengan tulisan itu sempat terlihat dalam acara Rapat Kerja Nasional Bidang Hukum dan Advokasi Gerindra di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (5/4/2018). Selain itu, beberapa kendaraan juga telah dipasangi stiker bertema sama.
Atensi publik semakin tertuju pada tema "#2019GantiPresiden" setelah Presiden Joko Widodo membicarakan tagar itu di acara relawan bertajuk Konvensi Nasional Galang Kemajuan 2018, di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (7/4/2018). Dalam pidatonya, Jokowi menyindir keberadaan kaos bertema itu di tengah masyarakat.
"Masa kaos bisa ganti presiden? Yang bisa ganti presiden itu rakyat, kalau rakyat mau, ya bisa ganti. Kedua, restu dari Allah. Masa pakai kaos itu bisa ganti presiden, enggak,” kata Jokowi.
Tak hanya disinggung Jokowi, kemunculan tema itu juga mendapat tanggapan dari Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan. Mantan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) itu meragukan klaim penyebar tagar #2019GantiPresiden yang menyebut Jokowi tak sukses membawa perubahan selama menjadi Presiden.
“Saya ingin katakan, pastikan kepada Anda selama tiga setengah tahun, saya sekarang menjadi pembantu Presiden Joko Widodo, kami memiliki success story yang sangat banyak. Saya boleh bertanggung jawab dengan itu,” kata Luhut, di Kantor DPP PDI Perjuangan, Minggu (9/4/2018).
Meski ramai diperbincangkan, kehadiran tagar #2019GantiPresiden dianggap wajar oleh para pengamat politik dan pemilu. Direktur Populi Center, Usep S Ahyar misalnya, menganggap kehadiran tagar itu bagian dari upaya lawan politik Jokowi mencari dukungan.
“Di samping itu, sebagai upaya menakar seberapa besar dari kelompok masyarakat yang menginginkan pergantian presiden di 2019, dan dari kelompok mana saja,” kata Usep kepada Tirto, Rabu (11/4/2018).
Alumnus Universitas Jenderal Soedirman itu berkata, tema pergantian presiden di Pilpres 2019 baru digulirkan sebatas untuk menyatukan sentimen anti-petahana. Gerakan itu, kata dia, belum jelas menawarkan sosok pengganti Presiden yang mau dijagokan dalam pemilu.
Menurut Usep, belum adanya sosok yang dijagokan oleh para penggerak tagar "2019 Ganti Presiden" terjadi karena masih rendahnya elektabilitas tokoh-tokoh selain Jokowi. Dalam berbagai survei pemilu 2019 yang sudah diselenggarakan, dua nama capres potensial yang kerap muncul adalah Jokowi dan Prabowo Subianto.
"Ini masih gerakan membangun sentimen terhadap petahana yang belum jelas penggantiannya seperti apa... Membangun sentimen 'asal bukan' kelompok lain yang berkuasa saja masih cukup, tapi adu gagasan tentang bagaimana membawa bangsa ini lebih baik di masa depan, kayaknya itu lebih penting," kata Usep.
Adu Slogan Bukan Hal Tabu
Kewajaran atas munculnya slogan "2019 Ganti Presiden" juga diakui peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI), Luky Sandra Amalia. Menurut dia, tagar itu tak perlu dipermasalahkan meski ramai diperbincangkan,
"Dari kalimatnya, hashtag tersebut jelas berharap mengalahkan petahana dan itu hal yang biasa. It's not a big deal,” kata Sandra kepada Tirto.
Alumnus Universitas Airlangga itu berkata, tak akan ada pengaruh banyak dari tagar #2019GantiPresiden terhadap elektabilitas calon presiden dan wakil presiden di pemilu mendatang.
Menurut Sandra, hasil pemilu tidak hanya dipengaruhi satu atau dua faktor saja, seperti tren yang sedang berkembang di masyarakat. Karena itu, kehadiran tema pergantian presiden dianggap tidak akan berpengaruh signifikan terhadap keterpilihan capres.
"Elektabilitas pasangan calon harus diukur dengan banyak variabel dan dilakukan secara berkelanjutan, tidak bisa hanya diukur dengan satu variabel dan dalam satu momen saja. Jadi, hashtag itu tidak akan berpengaruh banyak ke elektabilitas paslon," ujar Sandra.
Pengamat politik dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Rully Akbar juga senada dengan Usep dan Sandra. Menurutnya, pembicaraan tagar #2019GantiPresiden menjadi ramai karena proses pemilu 2019 semakin dekat.
Pendaftaran bakal capres dan cawapres pemilu 2019 akan dimulai pada 4-10 Agustus 2018. Setelah itu, penetapan kandidat dilakukan 20 September 2018 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Para punggawa Pilpres baik Jokowi, Prabowo, dan yang lain, sedang cari perhatian masyarakat. Ini yang membuat makin kuat gerakan [#2019GantiPresiden] ini," ujar Rully.
Menurut Rully, saat ini kelompok pendukung Jokowi dan Prabowo masih terus aktif berkampanye di medsos. Keaktifan itu berdampak pada sering munculnya tagar-tagar unik di tengah masyarakat.
Rully menganggap, kehadiran tagar atau pembicaraan suatu tema di medsos mungkin efektif untuk mempengaruhi masyarakat perkotaan. Namun, ia menyebut masyarakat butuh bukti nyata dari tiap capres di pemilu mendatang.
"[Kehadiran tagar] efektif memang untuk konteks perkotaan, tapi masyarakat level grass roots butuh bukti nyata dari tiap capres 2019 nanti,” kata Rully.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz & Maulida Sri Handayani