Menuju konten utama

Di Balik Taktik Luhut Dukung Prabowo Nyapres Lagi

“Saya tidak begitu yakin kalau ada pertemuan [dengan] sekelas Luhut, kemudian menyampaikan secara blak-blakan hasil pertemuannya ke publik,” kata Hendri.

Di Balik Taktik Luhut Dukung Prabowo Nyapres Lagi
Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/10/2017). Fotografer Kepresidenan/Agus Suparto.

tirto.id - Pertemuan empat mata antara Luhut Binsar Pandjaitan dengan Prabowo Subianto, di restoran, salah satu hotel bintang lima, di Jakarta, Jumat (6/4/2018) memunculkan banyak spekulasi. Salah satunya soal misi Luhut terkait pencalonan Joko Widodo atau Jokowi di Pilpres 2019.

Luhut mengklaim, pertemuannya dengan Prabowo hanya sebagai sahabat lama, dan tidak membawa misi khusus dari Presiden Jokowi. Politikus Golkar ini juga menolak spekulasi yang mengatakan ia membujuk Prabowo agar bersedia mendukung Jokowi di Pilpres 2019.

“Sama-sama TNI ya, kami memang sering ketemu dan kebetulan kemarin ketahuan [wartawan]” kata Luhut usai menghadiri rapat koordinasi nasional, di Kantor DPP PDIP, Jakarta, Minggu (8/4/2018).

Pada pertemuan itu, kata Luhut, dirinya juga menyampaikan dukungan apabila Prabowo kembali mencalonkan diri sebagai capres. Namun, Luhut menampik anggapan dirinya mendorong Prabowo kembali bertarung pada Pilpres 2019.

“Saya enggak pernah bilang [ke publik] mendorong. Kalau mau, ya silakan maju. Kalau saya sampaikan [ke Prabowo], masak harus saya sampaikan ke publik? Kan kami bertemu berdua,” kata Luhut berdalih.

Analis komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai, pertemuan antara Luhut dan Prabowo bukan sekadar perjumpaan seorang kawan lama semata. Hendri menduga, ada sejumlah topik penting yang dibicarakan, khususnya terkait isu-isu politik terkini.

Hendri mencontohkan, misalnya permintaan Jokowi melalui Luhut agar Prabowo tidak gaduh, karena akhir-akhir ini pernyataan Prabowo terkait pemerintahan Jokowi cukup keras. Kemungkinan lain, kata Hendri, bisa saja ada pinangan dari Luhut untuk Prabowo menjadi cawapres Jokowi, namun ditolak oleh Prabowo.

“Saya tidak begitu yakin kalau ada pertemuan sekelas Luhut, kemudian menyampaikan secara blak-blakan hasil pertemuannya ke publik,” kata Hendri kepada Tirto, Minggu (8/4/2018).

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai, Luhut bisa saja berdalih pertemuannya dengan Prabowo semata adalah perjumpaan biasa antara kawan lama. Akan tetapi, kata Adi, pernyataan Luhut yang mengatakan jika dirinya mendukung Prabowo maju kembali sebagai capres mengkonfirmasi bahwa pembicaraan kedua tokoh itu terkait pilpres.

“Di luar itu, apakah ada hal lain yang dibicarakan, misalnya mengajak Prabowo bergabung dengan barisan nasional [pendukung Jokowi], dan lain sebagainya, tentu hanya Prabowo, Luhut, dan Tuhan yang tahu. Selebihnya hanya dugaan publik semata,” kata Adi kepada Tirto, Minggu (8/4/2018).

Justru yang menarik dari pertemuan itu, kata Adi, adalah pernyataan Luhut soal dukungan kepada Prabowo untuk maju kembali di Pilpres 2019. Ia menilai, pernyataan politik Luhut itu cukup bersayap.

Dosen politik di UIN Jakarta ini menilai, di satu sisi dukungan Luhut dapat dimaknai sebagai dukungan dan solidaritas kawan lama yang kebetulan di pihak pemerintah. Namun di sisi yang lain, kata dia, dukungan itu semacam 'jebakan Batman' supaya Jokowi bisa menang mudah di pilpres.

Hal ini bisa saja terjadi, kata Adi, karena dari sudut manapun Prabowo kalah jika dibandingkan Jokowi, baik secara elektabilitas, dukungan partai, hingga soal logistik. Salah satu poin yang disampaikan Adi ini yang menjadi pertimbangan Prabowo belum mendeklarasikan diri sebagai capres di Pilpres 2019.

“Saya kira belum ya [deklarasi capres dari Gerindra]. Masih dalam rangka [menjalin koalisi jelang pemilu]," kata Prabowo di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (5/4/2018).

Mantan Komandan Jenderal Kopassus itu berkata, deklarasi capres akan dilakukan setelah syarat minimal pencalonan dipenuhi partainya. Ia mengklaim, saat ini belum ada koalisi yang pasti dibentuk Gerindra dengan parpol lain untuk pemilu.

"Deklarasi menjelang tanggal 4 [Agustus, hari pertama pendaftaran capres ke KPU]. Deklarasi itu kalau sudah ada tiket, kan sekarang belum ada tiket dan juga belum tentu, situasi masih bisa berkembang,” kata Prabowo.

Pernyataan Prabowo tersebut cukup beralasan mengingat Gerindra hanya memiliki 73 kursi di DPR RI. Padahal salah satu syarat parpol bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden jika memenuhi ketentuan presidential threshold 20 persen atau minimal 112 kursi parlemen.

Sejauh ini, hanya PKS yang sudah menyatakan siap berkoalisi dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo. Partai besutan Sohibul Iman ini memiliki 40 kursi di parlemen. Artinya, dengan berkoalisi dengan PKS saja, Gerindra sudah cukup mengajukan Prabowo sebagai capres.

“Kalau Gerindra sudah umumkan [nama bakal capres], kami akan bersama Gerindra. Habis itu duduk bareng...[tentukan] mana capres dan cawapres. Kesepakatan itu dimusyawarahkan dan apa pun hasilnya kami terima,” kata Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (3/4/2018).

Namun dukungan parpol tersebut, kata Adi, tidak lantas membuat Prabowo memutuskan maju. Hal lain yang patut dipertimbangkan adalah soal elektabilitas calon. Dari hasil survei yang dirilis oleh sejumlah lembaga, elektabilitas Prabowo masih di bawah Jokowi.

Poltracking Indonesia misalnya, merilis hasil survei terbarunya tentang peta elektoral kandidat calon presiden (capres) di Pilpres 2019, pada 18 Februari 2018. Survei ini menyimpulkan hanya Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai capres pada 2019.

Berdasarkan survei terbuka terhadap 1.200 responden pada 27 Januari-3 Februari 2018 tersebut, Jokowi memiliki elektabilitas 45,4 persen. Sementara elektabilitas Prabowo Subianto adalah 19,8 persen. Artinya, meskipun Prabowo menempati urutan kedua, tetapi jarak dengan Jokowi masih cukup jauh.

Menutup Kemungkinan Calon Lain?

Dukungan Luhut agar Prabowo kembali maju sebagai capres, kata Adi, bisa juga sebagai strategi untuk menutup calon lain di Pilpres 2019. Sebab, beberapa calon yang potensial bisa saja diusung untuk melawan petahana di pilpres mendatang.

“Jika Prabowo jadi king maker menduetkan Gatot-Anies versus Jokowi di pilpres 2019, tentu persaingan akan seru karena Gatot-Anies merupakan kombinasi lengkap sipil-militer, serta nasionalis-Islam,” kata Adi.

Akan tetapi, analis komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio melihatnya berbeda. Menurut dia, dukungan Luhut agar Prabowo maju kembali sebenarnya hanya pengalihan isu dari topik-topik yang dibicarakan dalam pertemuan tertutup itu.

Hendri beralasan, karena tanpa dibicarakan pun, kemungkinan besar Gerindra akan tetap mengusung Prabowo sebagai capres. “Dan pendukung Jokowi tentu lebih suka melawan Prabowo ketimbang melawan tokoh lain,” kata Hendri.

Pria yang juga founder dari Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) ini justru lebih meyakini bahwa pertemuan antara Luhut dan Prabowo membicarakan isu-isu politik terkini, termasuk kemungkinan mengajak Prabowo menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi.

“Apapun yang dilakukan Luhut memang untuk Jokowi,” kata Hendri.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz & Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz