tirto.id - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto kembali mendapat perhatian setelah memberi komentar soal elite politik Indonesia. Prabowo menyindir elite politik yang dianggapnya goblok dan bermental maling.
Prabowo awalnya mempertanyakan kondisi kehidupan ekonomi rakyat Indonesia yang ia nilai tak kunjung membaik. Ia berpendapat kondisi ekonomi rakyat saat ini berbanding terbalik dengan kekayaan alam Indonesia.
“Jangan-jangan karena elite kita yang goblok atau menurut saya campuran itu. Sudah serakah, mental maling, kemudian hatinya sudah beku. Tidak setia pada rakyat, hanya ingin kaya di atas penderitaan rakyat,” kata Prabowo.
Mantan Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) itu juga menganggap elite politik di DKI Jakarta banyak yang gemar menipu. Ia mengklaim lebih suka bertatap muka dengan kader dan warga di daerah daripada bertemu elite.
Pidato Prabowo yang disampaikan di Gedung Serbaguna, Istana Kana, Cikampek, Jawa Barat, Sabtu (31/3/2018) itu mendapat tanggapan dari elite partai politik di Jakarta. Prabowo diminta menjelaskan lebih rinci tudingannya.
Permintaan itu seperti disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf yang meminta Prabowo menyebutkan langsung identitas elite yang ia singgung. Penyebutan harus dilakukan agar masyarakat tak menyamakan sikap semua elite.
“Siapa yang dikritik harus lebih jelas lagi sehingga tidak menimbulkan tanggapan negatif," kata Nurhayati.
Keinginan agar Prabowo menunjuk langsung elite yang ia sindir juga disampaikan Ketua DPP Partai Golkar Bidang Media Ace Hasan Syadzily. Menurutnya, Prabowo seharusnya tak menuduh orang tanpa menyebut identitas jelas.
“Ini seperti mengeluarkan jurus mabuk yang tak jelas mau menembak siapa,” kata Ace kepada Tirto, Senin (2/4/2018).
Sengaja Beri Pernyataan Tanpa Data
Munculnya reaksi terhadap pidato Prabowo itu dinilai wajar ahli komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio. Menurut Hendri, pidato yang disampaikan Prabowo bias data.
Hendri balik menduga pidato itu merupakan cara Prabowo mengerek popularitasnya. “Ini hanya sekadar pernyataan untuk meningkatkan popularitas. Jadi yang diharapkan perbincangan masyarakat dari statement ini," kata Hendri kepada Tirto.
Analisis Hendri berdasarkan polemik pernyataan Prabowo sebelumnya yang menyebut Indonesia akan bubar pada 2030. Pernyataan kontroversial itu beredar di publik pada pertengahan Maret 2018 dan sempat disoalkan karena tak ada data penunjang. Belakangan terungkap data yang dipakai Prabowo berasal dari novel Ghost Fleet karya fiksi Peter W. Singer dan August Cole.
Menurut Hendri, pernyataan-pernyataan itu menunjukkan Prabowo sedang mengejar perhatian publik. “Mungkin ini strategi agar lebih terlihat. Lempar isu dulu, data menyusul,” ujar Hendri.
Pernyataan Hendri bisa jadi benar. Merujuk hasil sigi sejumlah lembaga survei, elektabilitas Prabowo masih berada di bawah Joko Widodo yang merupakan presiden petahana.
Hasil survei Saiful Mujani Research Institute yang dirilis awal Januari 2018, menunjukkan elektabilitas Prabowo sebesar 10,5 persen, sedangkan Jokowi ada di angka 38,9 persen.
Survei Indo Barometer menunjukkan elektabilitas Jokowi unggul 34,9 persen sedangkan Prabowo hanya 12,1 persen. Riset lain dari Polmark Research Center, dirilis 18 Desember 2017, elektabilitas Joko Widodo unggul 50,2 persen dan Prabowo Subianto hanya 22 Persen.
Survei terbaru yang dilakukan Populi Centre pada Februari 2018 menunjukkan, elektabilitas Prabowo berada di kisaran 15,4 persen kalah jauh dibandingkan Jokowi yang memeroleh 52,8 persen.
Menyerang Jokowi dengan Pendekatan Emosi Massa
Analis politik dari dari Populi Centre Rafif Pemenang Imawan menerangkan, pernyataan Prabowo ini sebatas cara menarik simpati masyarakat dengan memanfaatkan sisi psikologis massa.
“Apa yang dipaparkan Prabowo tidak didasarkan pada pemahaman persoalan yang kuat. Ini ada kaitannya dengan elektabilitas dia,” ujar Rafif.
Alumnus Uppsala University ini melihat perubahan gaya komunikasi politik Prabowo yang menyentuh sisi psikologis massa mulai terjadi setelah kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Rafif menyebut pendekatan ini memang tak salah, hanya saja kebiasaan menyentuh dimensi emosi dibanding akal sehat dianggap tak berdampak positif terhadap perkembangan demokrasi.
Ia menduga, Prabowo kesulitan mencari kesalahan pemerintah sehingga akhirnya menggunakan pendekatan berbasis psikologis massa. “Prabowo belum menemukan titik masuk yang kuat untuk mengkritik pemerintah. Oleh karenanya dimensi emosi lebih banyak dimainkan,” ujar Rafif.
Apa yang dikatakan Prabowo, kata Rafif, bertumpu pada satu simpul. Prabowo sedang berusaha membawa pandangannya tentang ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk ke tengah masyarakat.
“Ini titik tumpu dari banyak pengkritik kebijakan Jokowi. Ini simbolik sebenarnya, karena bagaimanapun juga, elite politik di Indonesia berkumpul di Jakarta," kata Rafif.
Pemilihan Diksi Cerminkan Kualitas Prabowo
Pakar komunikasi politik dari Universitas Brawijaya Anang Sujoko punya penilaian lain terhadap pidato Prabowo. Menurut Anang, pemilihan kata dalam komunikasi politik yang dilakukan seseorang mencerminkan integritas dan kredibilitasnya.
Dalam konteks Prabowo, ia menduga politikus Gerindra itu kerap menggunakan diksi "keras" karena kebiasaannya di masa lalu.
"Kebiasaan dia di korpsnya dulu mungkin seperti itu. Begitu dia sudah keluar [militer] dan masuk dunia politik, saya pikir diksi yang digunakan kurang pas," ujar Anang.
Peraih gelar Doktor Komunikasi dari University of South Australia itu menilai, kemampuan Prabowo untuk berbicara di depan umum tidak terlatih. Ia dianggap memiliki cara berbicara yang bagus, namun tak pandai memilih kata.
Jika cara berbicara Prabowo tak diperbaiki, Anang memprediksi itu akan berpengaruh terhadap penerimaan publik terhadapnya. Menurutnya, bukan tidak mungkin masyarakat akan menilai negatif Prabowo karena gemar menggunakan kata-kata yang 'keras'.
"Di satu sisi mungkin loyalisnya jadi semakin kuat, tetapi pada lawan politik akan semakin panas. Kemudian [masyarakat] yang floating bisa jadi menilai negatif Pak Prabowo," kata Anang.
Pembelaan Gerindra
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan pernyataan Prabowo soal elite merupakan hal wajar. Ia menyebut Prabowo hanya menyampaikan kritik atas elite yang tak bertugas sesuai harapan masyarakat.
Fadli tak menyebut secara jelas siapa elite yang ia dan Prabowo maksud. Ia hanya berkata, pidato Prabowo dianggap mengandung pesan agar elite segera memperbaiki kehidupan masyarakat dan menunaikan janji-janjinya.
Ia menyebut, ada salah satu elite politik yang berjanji tak akan melakukan kebijakan impor tapi kemudian melanggarnya. “Banyak janji-janji itu yang bagus tapi jangan hanya tinggal janji gitu. Misalnya [janji] tidak akan impor tapi akhirnya melakukan impor,” ujar Fadli.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih