tirto.id - Pada Pilpres 2014 lalu Joko Widodo bukan berstatus elite partai. Dia juga tidak didukung oleh koalisi raksasa. Namun semua itu tak menghentikan kemenangannya atas Prabowo Subianto.
Salah satu kunci kemenangan Jokowi atas Prabowo, yang diusung oleh banyak partai besar, adalah media massa.
Kubu Jokowi-Jusuf Kalla menghabiskan dana kampanye sebanyak Rp311,8 miliar. Sebanyak Rp151,2 miliar atau hampir setengahnya digunakan untuk iklan di media cetak dan elektronik.
Pengeluaran Jokowi-JK jauh lebih banyak dari lawan. Prabowo-Hatta Rajasa menghabiskan dana kampanye sebanyak Rp166,55 miliar. Lagi-lagi yang terbesar adalah untuk iklan di media massa, yaitu sebanyak Rp88,2 miliar.
Jokowi tampaknya gemar memanfaatkan media untuk menjangkau masyarakat sebab hal ini juga terlihat saat Pilgub DKI 2012. Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama mengeluarkan Rp729 juta untuk iklan di media cetak dan Rp 516 juta untuk radio.
Di sisi lain, media massa pun “memburu” Jokowi. Dalam artikel “Indonesian Politics in 2014: Democracy’s Close Call” (2014), peneliti asal Australia, Marcus Mietzner dan Edward Aspinall, mengatakan penampilan yang tidak terkesan seperti pejabat dan “seperti orang desa (ndeso)” menarik media untuk terus memberitakan Jokowi.
Konglomerasi Media yang Tak Dimiliki Prabowo
Banyak peneliti mencoba melihat lebih dalam kaitan antara Jokowi dan media massa. Salah satunya adalah dosen dan peneliti dari Australian National University sekaligus penulis buku Kuasa Media di Indonesia (2018), Ross Tapsell.
Kehadiran Jokowi di berbagai media massa tidak sesederhana bahwa ia dan timnya membayar slot iklan. Dalam artikel jurnal “Indonesia’s Media Oligarchy and the Jokowi Phenomenon” (2015), Tapsell mengatakan pada dasarnya para pemilik media massa memang mendukung Jokowi. Dan para pemilik media massa ini adalah oligark.
Rata-rata media nasional yang dimiliki konglomerat menampilkan berita yang sifatnya Jakarta-sentris. Riset yang dikutip oleh Tapsell menemukan bahwa 70% berita media nasional adalah dari Pulau Jawa dan setengahnya berasal dari Jakarta. Tentu situasi ini ideal untuk cepat menaikkan nama Jokowi.
Jadi, meski bukan bagian dari oligarki, tapi kepopuleran Jokowi disokong oleh oligark pemilik media yang berkepentingan “memenangkan” pemilu.
Tapi dukungan untuk Jokowi tidak serta merta muncul. Ketika Pileg dan Pilpres 2014 dilakukan terpisah, banyak media yang berafiliasi dengan partai politik seperti Metro TV atau MNC Group ogah menayangkan berita tentang Jokowi--yang berasal dari PDIP.
Ketika pileg sudah selesai, Jokowi kemudian bertemu Surya Paloh. Tapsell melihat ini adalah langkah Jokowi agar dia muncul lagi di layar kaca.
“Untuk menang, Jokowi harus bersekutu dengan oligark Orde Baru macam Wakil Presiden Jusuf Kalla dan bos media macam Surya Paloh, Dahlan Iskan (Jawa Pos), dan James Riady (Berita Satu),” catat Tapsell.
Karena kontribusi para oligark pemilik media ini pula Tapsell mengatakan kemenangan Jokowi bukanlah kemenangan warga. “Daripada dikatakan ini kemenangan warga negara atas kelompok oligarki Prabowo, kemenangan Jokowi adalah contoh kemenangan oligark lainnya,” catat Tapsell.
Tahun 2019, dengan makin banyaknya media yang merapat, kemenangan Jokowi kian mutlak.
Pada Pilpres 2019, Jokowi didukung Partai Nasdem yang ketuanya, Surya Paloh, memiliki Metro TV. Kemudian Wishnutama, yang membantu kampanye kreatif, berstatus pendiri Net TV. Aburizal Bakrie dari Partai Golkar tak bisa dilepaskan dari Tv One dan ANTV.
Ketua tim kampanye, Erick Thohir, adalah pemilik Mahaka Grup yang membawahi banyak media seperti Jak TV dan Republika. Sedangkan Hary Tanoesoedibjo, ketua partai pendukung Jokowi, Partai Perindo, adalah pendiri MNC Group yang punya berbagai media baik televisi, cetak, maupun elektronik seperti RCTI, Sindonews, dan MNC Radio.
Ketika itu peneliti media Muhamad Heychael mengatakan dampak buruk dari situasi ini adalah publik susah mendapat berita yang punya perspektif kritis. Selain itu juga akan mendapatkan informasi yang timpang.
Skripsi dari Fitara Shaura Habibie mengonfirmasi kekhawatiran tersebut. Ia menemukan bahwa “Frekuensi maupun tone pemberitaan yang dihadirkan Metro TV jelas tidak berimbang ke salah satu pasangan calon.” Ia juga menemukan “Metro TV terlihat lebih menyudutkan pasangan calon nomor urut 02 (Prabowo) dan memberikan ruang yang lebar untuk membangun citra kepada pasangan calon nomor urut 01.”
Pada pilpres berikutnya, mengutip artikel jurnal berjudul “Oligarki Media dalam Pusaran Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2019 Menuju 2024”, orang-orang seperti Hary Tanoe lagi-lagi akan jadi tokoh penting tidak lain karena jaringan media yang dimiliki.
Sampai sekarang belum ada koalisi yang benar-benar mantap untuk maju Pilpres 2024. Dengan demikian, partai-partai seperti Partai Golkar atau Partai Nasdem, yang punya koneksi kuat dengan media, pun masih jadi rebutan.
Dan salah satu partai yang pasti butuh media massa itu adalah Partai Gerindra. Prabowo, ketua umum partai ini, sejauh ini masih jadi satu-satunya politikus yang telah menyatakan diri akan maju pemilihan.
Sama seperti dua pilpres sebelumnya, Prabowo tidak sepenuhnya didukung oligark media. Mengutip skripsi dari Vicky Kurniawan (2019), dalam Pilpres 2014 Partai Golkar dengan TV One-nya jelas ada di kubu Prabowo, tetapi Jokowi pun punya Surya Paloh dengan Metro TV. Dalam Pilpres 2019, dukungan terhadap Prabowo bahkan tak lagi kentara karena Partai Golkar berbalik arah.
Dirgayuza Setiawan, orang dekat Prabowo yang juga membantu kampanye Jokowi-BTP pada 2012, berpendapat “peranan kampanye melalui media sudah berubah.” Memang iklan lewat televisi dibutuhkan, “tapi kita melihat bahwa kampanye di akar rumput justru lebih berpengaruh.” Caranya tidak lain lewat media sosial.
Media sosial milik Partai Gerindra memang lebih aktif daripada partai lain. Di Instagram, akun resmi Partai Gerindra @Gerindra punya pengikut sebanyak 541 ribu akun dan Twitter sebanyak 632 ribu akun. Dua-duanya termasuk akun partai dengan pengikut paling banyak di media sosial.
Tapi bukan berarti mereka benar-benar mengabaikan media massa konvensional. Buktinya, Prabowo membuat stasiun baru bernama Garuda TV (dahulu Digdaya TV) yang resmi mengudara pada Agustus 2018. Sebelumnya, televisi ini juga sudah berusaha mengemas acara-acara diskusi bersama Prabowo bahkan sampai mendapat teguran dari KPI.
Sayangnya kepopuleran stasiun ini tidak berhasil menyaingi stasiun nasional seperti RCTI, Metro TV, dan semacamnya.
Selain itu selama masa kampanye pun Prabowo berkali-kali mengkritik media massa. Prabowo, misalnya, pernah mengatakan bahwa “rakyat mau dicuci otaknya dengan pers yang, terus terang saja, banyak bohongnya daripada benarnya.” Tentu pernyataan ini keluar hanya jika Prabowo menganggap pers itu penting.
Jika pada akhirnya tidak berkoalisi dengan partai yang terafiliasi dengan media massa, apakah siasat Prabowo melawan para oligark media bisa berhasil? Atau justru hasilnya juga akan sama dengan dua kesempatan sebelumnya?
Editor: Rio Apinino