Menuju konten utama
Ridwan Kamil

"Dua Partai yang Terasosiasi Lawan Ahok Tidak di Pihak Saya"

Ridwan Kamil menjawab pertanyaan mengapa ia maju di Pemilihan Gubernur Jawa Barat bersama Partai Nasdem dan bagaimana ia menanggapi hujatan terhadapnya terkait soal itu.

Walikota Bandung, Ridwan Kamil. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Namanya muncul pada 2013 saat memenangi pemilihan walikota Bandung. Meski maju dengan PKS dan Partai Gerindra, ia tetap punya citra sebagai orang yang muncul dari kalangan profesional yang maju di panggung politik.

Ia juga masyhur dengan unggahan-unggahan di berbagai kanal media sosial. Ribuan retweet di Twitter, ribuan share di Facebook, ribuan love di Instagram. Tidak ada pejabat publik di Indonesia yang lebih social media savvy ketimbang Walikota Bandung Ridwan Kamil.

Belakangan ini, ada yang lain dari kolom-kolom komentar di laman media sosialnya. Meski masih populer, kolom komentar medsosnya diiisi banyak ekspresi kekecewaan sejak 19 Maret, setelah Partai Nasional Demokrat mendeklarasikan Ridwan Kamil sebagai calon gubernur Jawa Barat dari partai tersebut. Banyak komentator menyebut Nasdem sebagai "partai pembela penista agama Islam."

Dari respons semacam itu, muncul perkiraan bahwa Emil, nama kecil Ridwan Kamil, akan bernasib sama dengan Ahok. Populer dan kepuasan atas kinerja tinggi, tapi perolehan suaranya kalah. Apalagi Jawa Barat adalah daerah dengan warna politik Islam yang cukup kuat. Salah satu peserta demonstrasi Bela Islam yang militan pun datang dari Ciamis, kabupaten di ujung timur wilayah Priangan, Jawa Barat.

Namun, ia tampak cukup percaya diri dengan langkahnya. Ia yakin tipologi Jawa Barat lain dengan Bandung maupun Jakarta. Bagi Emil, hujat dan bully yang diterimanya di akun-akun media sosial itu hanya riak-riak yang datang dari minoritas bawel.

"Medsos itu hanya 30 persen jadi referensi orang Jawa Barat," katanya. Berikut ini wawancara lengkapnya dengan wartawan Tirto Maulida Sri Handayani dan Mawa Kresna, bersama fotografer Andrey Gromico dan videografer Naomi Pardede.

Anda besar di kalangan anak muda. Dulu, Anda seperti menjadi social media darling. Banyak komentator dan fans. Setelah deklarasi akan maju di pilgub Jawa Barat dengan Nasdem, banyak yang menyerang Anda di media sosial. Anda merasakan perubahan itu?

Saya ini memimpin mengikuti habitat, karena habitat saya urban citizen, metropolitan, jadi saya juga sangat metropolis, sangat urban. Salah satu ciri [masyarakat] urban adalah cara mereka mengakses informasi. Dari 2,3 juta penduduk Bandung, yang punya Facebook 2,1 juta. Sebesar itulah keterkoneksian terhadap informasi.

Warga Bandung, menurut survei terakhir, mengakses media sosial itu tiga jam sehari. Di dalamnya membaca berita online, mencari data dan hiburan, dan sebagainya. Jadi, media sosial adalah cara yang paling cepat dan paling murah. Modalnya hanya konten dan bisa menjangkau. Twitter saya [pengikutnya] 2,2 juta, Instagram 6,4 juta, Facebook Page 3 juta. Total 11 juta. Dulu Facebook menganalisis bahwa berita saya kertejangkauannya bisa sampai 60 juta.

Yang saya lakukan di media sosial ada tiga: menginformasikan kegiatan kedinasan, mengedukasi perlahan-lahan, dan menampilkan sisi personal. Keromantisan keluargalah, apalah.

Jadi, masalah disebut media darling, itu bukan tujuan, itu dampak dari sebuah situasi orang-orang mengakses informasi dari HP. Saya dinasihati oleh Facebook kurang lebih begini: "Orang Indonesia itu interaksinya lebih tinggi, Mister Mayor, jika caption-nya humor. Makanya Anda jangan terlalu serius."

Itu saya dikasih tahu waktu kunjungan ke Amerika. Itu kenapa saya seserius apa postingannya, saya pasti cari angle humornya. Memang betul, interaksinya lebih banyak lagi.

Saya pernah menulis: “Buanglah sampah pada tempatnya wahai warga Bandung.” Paling cuma ratusan yang share. Saya edit lagi, “Buanglah sampah pada tempatnya, buanglah mantan pada temannya, hai warga Bandung.” Ada ribuan yang share, padahal pesannya sama. Ditambah satu kalimat heureuy [bercanda], langsung rame. Saya tandai ternyata orang Indonesia suka yang begitu. Makanya akun-akun lucu-lucu ada jutaan followernya.

Karena itu, saya bilang, media darling itu bukan tujuan, itu cuma efek saja. Karena saya tidak punya konsultan media yang mengatur kamu harus begini, target market harus ini, enggak ada. Makanya, sampai hari ini saya tidak punya admin. Semua itu dari jempol saya. Tapi menjelang kampanye nanti, sepertinya enggak kepegang. Mungkin akan pakai admin. Tapi per hari ini Twitter, Facebook, Instagram masih jempol saya sendiri.

Setelah dengan Nasdem?

Saya harus mengingatkan, itu namanya politik. Politik itu bukan matematika. Dulu rumusnya AB, Gerindra dan PKS. Waktu masuk kontestasi baru, ternyata AB ini tidak saya dapatkan. Karena PKS menginginkan kadernya yang maju, berarti bye bye Ridwan Kamil. Ke Gerindra, "Anda harus masuk jadi anggota partai." Enggak bisa juga. Terus gimana?

Jadi tidak betul kalau saya meninggal partai yang sudah mengusung saya. Enggak betul saya dibilang kacang lupa kulitnya. [Atau dalam] istilah Aa Gym hejo tihang, dan sebagainya. [Orang-orang yang bilang begitu] tidak paham sebuah proses lahirnya keputusan itu, bahwa saya sudah mendahulukan partai pengusung AB tadi. Jawabannya membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa, maka berkomunikasilah saya dengan yang lain. Jawaban [partai lain], “Nanti dulu, kami menunggu survei bla bla bla.” Nasdem mau nyelonong dulu, yakin mau. Ya sudah.

Nasdem yang menghubungi Anda?

Iya, tidak pakai syarat. Tidak minta mahar, saya juga tidak punya duit, tidak perlu masuk partai, itu yang saya cari. Karena Gerindra mensyaratkan partai, Nasdem tidak mensyaratkan [jadi anggota] partai. Dan boleh milih wakil sendiri. Sudah.

Kenapa Anda enggak memilih maju untuk kedua kalinya di Bandung?

Ini pertanyaan mendasar. Saya ini sprinter, bukan pelari maraton. Jadi, [tidak bisa] di satu jabatan dalam waktu yang lama, karena faktor psikologis. Tapi kalau dikasih tantangan, saya ngabret [lari kencang]. Makanya dulu psikolog suruh saya masuk arsitek, karena arsitek tiap minggu ada proyek baru.

Kedua, saya punya tanggung jawab moral. Dulu, awal saya berkarier di Bandung ini, kan, bukan karena ingin berkarier politik, tapi karena kesal. Saya ke Bandung semata karena kota kelahiran. Di Surabaya saya pernah jadi penasihat zaman Bambang D.H., di Jakarta jadi penasihat Pak Sutiyoso, kemudian Pak Fauzi Bowo. Kota lain aku beresin, tapi kota sendiri waktu itu sangat berantakan. Nawaitu-nya itu. Maka, saya bongkar-bongkar Kota Bandung.

Kenapa saya nggak running dua kali? Karena saya merasa Bandung ini bisa saya selesaikan [dalam satu periode]. Sistemnya, bukan bangunannya. Misalnya LRT, saya sudah bikin 6 kilometer, ini bayinya lahir. Nah, yang menyelesaikan 40 kilometer berikutnya biar yang jadi walikota selanjutnya saja.

Kalau nawaitu di Jawa Barat apa?

Ada yang bilang, Pak Ridwan mah haus kekuasaan. Saya bilang, kalau haus kekuasaan mah sudah saya ambil kesempatan untuk bertarung di Jakarta.

Di H-1 pendaftaran, saya dirayu-rayu untuk maju supaya jadi lawannya Ahok. Survei bagus, kondisi psikologis memungkinkan, tapi enggak ada rida orangtua. Ibu melarang, semesta melarang, orang lingkaran satu saya melarang. Kenapa? Karena Bandung belum selesai. Kalau saya ambil, sistem yang ada sudah enggak akan kepegang lagi. Saya [memang] ke Pak Jokowi, itu formalitas sajalah dulu, tapi utamanya karena saya punya ibu. Saya tidak mungkin melakukan sesuatu yang besar dalam hidup saya tanpa rida ibu saya.

Kalau tahun depan [menjadi cagub], Ibu malah menyuruh: "Bandung sudah, kamu mah sudah khatam. Sekarang bela saudara-saudara kamu di Tasik, di Cirebon, di Purwakarta." Karena rida orangtua sudah turun, jadi dalam melaksanakannya saya sudah ada keleluasaan hatilah, kira-kira begitu.

Jadi niatnya untuk membereskan yang di luar Bandung?

Ya, karena problem Jawa Barat itu selalu ekonomi. Saya itu ilmiah. Hari ini orang mudah dikelabui oleh persepsi. Untuk tidak terbuai terhadap persepsi, saya melakukan survei. Patokan saya itu. Ada yang bilang Pak Ridwan Kamil, mah, mengecewakan, setelah saya survei hasilnya enggak juga. 80 persen approval rating. Orang cerewet yang tidak puas berarti masuk ke dalam 20 persen. Kalau ternyata hasil survei ada 80 persen yang kecewa, saya akan cari tahu di mana salahnya.

Waktu dibully soal maju bareng Nasdem, kata orang akan tergerus popularitasnya, karena bullynya luar biasa. Tapi begitu survei dua minggu lalu, malah naik 2,5 persen. Waktu saya diberi tahu banyak orang kecewa karena pilihan partainya, ternyata ketika disurvei hasilnya sebaliknya. Malah kenaikan. Sebelum dengan Nasdem 22 persen, sesudah dengan Nasdem 24,5 persen. Apa artinya itu? Ketemu jawabannya. 70 persen pemilih Jawa Barat referensi beritanya dari televisi, bukan dari medsos. Medsos itu hanya 30 persen jadi referensi orang Jawa Barat.

Jadi, dengan kata lain, Jawa Barat lain dengan Bandung?

Jadi, hingar-bingar di medsos itu tidak mempengaruhi yang 70 persen. Termasuk ibu saya. Ibu saya itu masuk yang 70 persen. Waktu disurvei, yang saya kira [keterpilihan] akan turun, ternyata malah naik. Istilah saya, yang mem-bully adalah noisy minority, kelompok kecil yang menguasai dan mendominasi ruang informasi kita, sehingga seolah-olah seluruh dunia sedang hingar-bingar juga, padahal enggak.

Tapi Anda menyadari ada politik aliran di Jawa Barat?

Maksudnya aliran?

Misalnya, Nasdem dipersepsikan sebagai partai penista agama.

Oh, seperti saya bilang, saya ini homeless. Karena homeless, saya tidak punya luxury untuk pilih-pilih. Jadi, [akan partai] mana saja yang dukung. Kan saya sudah dekati PKS, tapi enggak mau. Saya dekati Gerindra, Gerindra-nya kasih syarat. Jadi, dua partai yang terasosiasi melawan Ahok tidak berada di pihak saya, kan. Antara saya diam, atau saya berupaya. Jadi risiko itu saya ambil.

Enggak masalah berarti, tidak running lagi di Bandung dan mengambil risiko kalah di Jawa Barat?

Khairunnas anfa'uhum linnas. Itu nasihat ibu saya. Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang berguna bagi masyarakat. Saya enggak jadi pejabat publik juga saya sudah jadi arsitek. Tapi jadi walikota ternyata bisa membawa perubahan. Kalau enggak [jadi walikota] pun, saya bukan pengangguran. Itu yang perlu digarisbawahi. Ada orang yang kerjanya ini dari politik. Karena cari nafkah di situ, kalau tidak hidupnya tidak eksis sebagai manusia. Nah, saya mah enteng. Jadi dosen masih, jadi arsitek keliling dunia juga. Tapi sekarang ini saya lagi di atas panggung yang ngasih rute-rute, sekarang ada rute jadi gubernur, ya saya ikuti rute itu.

Situasi paling nikmat itu situasi nothing to lose, situasi paling stres itu situasi ambisius. Kalau enggak jadi, kan, ada yang gila, ya.

Jokowi pernah bilang begini, “Biarlah orang-orang baik itu memimpin di daerah-daerah.” Waktu Pilpres, Anda dukung Prabowo. Sebenarnya bagaimana hubungan Anda dengan Pak Jokowi?

Jadi gini, saya itu pakai syariat, ya. Tolonglah orang yang menolong kamu. Saya diusung oleh Gerindra-PKS. Waktu saya jadi walikota saya tolong mereka, maaf ya, uang operasional dengan halal. Termasuk menjadi ketua tim pemenangan Prabowo tahun 2014. (Itu) kalau ada yang bilang tidak tahu terima kasih…

Sudah dibayar?

Ya, sudah dibayar. Dengan Prabowo menang di 29 kecamatan, Jokowi hanya menang di satu kecamatan di Bandung. Itu harga yang saya bayar. Nah, Jawa Barat itu tadi, bukan saya tidak mau, mereka memberi syarat yang tidak memungkinkan.

Soal kedekatan saya dengan Pak Jokowi, kapasitasnya adalah presiden dan walikota. Ini urusan pemerintahan. 2019 itu masih belum pasti, belum tahu Jokowi maju lagi. Bisa jadi Jokowi tidak maju, bisa jadi maju dengan Prabowo. Bisa berpisah, bisa jadi enggak dua-duanya.

Ada perbincangan enggak, ketika Jokowi tidak merestui di Jakarta, ada janji atau garansi bahwa di tahun 2018 dia akan mendukung Anda maju di Jawa Barat?

Disebut garansi enggak mungkinlah, ya. Karena politik itu cair, tapi yang pasti waktu saya menghadap Pak Jokowi itu, ibu saya itu sudah clear [sikapnya]. Jadi, saya sopan santun politik ke Pak Jokowi.

Saya buka, ya, sekarang. Pak Jokowi melarang saya ke Jakarta, Pak Prabowo juga melarang saya ke Jakarta. Dua figur itu, tanpa mereka berhubungan, dua-duanya melarang. Sebelum datang ke keduanya, ibu saya sudah tidak mendukung. Maka saya bilang tadi, semesta tidak mendukung. Bisa saja saya memaksakan malam itu untuk menerima ajakan kumpulan itu.

Kumpulan itu dari mana saja?

Dari Gerindra dan timnya Pak Anies. Karena dulu, kan, teorinya melawan Ahok.

Ridwan Kamil

Kalau hari-hari ini, di berita Anda bilang setelah lebaran akan ada partai lain yang bergabung?

Iya, saya itu selalu dibombardir dengan pertanyaan wartawan, "Pak, setelah ini gimana? Kapan pencalonannya?"

Susah saya jawabnya. Ya, saya jawab saja, insya Allah lebaran. Kan saya enggak bilang lebaran tahun kuda atau tahun sekarang atau kapan. Kadang-kadang kesal juga saya mendapat pertanyaan itu. Karena saya tidak bisa mengatur timing-nya. Nasdem itu ngatur sendiri. Karena sekarang masih ingin silaturahmi, ternyata Nasdem sudah dukung duluan.

Ada sisi positifnya, sekarang di daerah-daerah sudah muncul relawan-relawan. Mau saya bilang "jangan," kan, sayang orang sudah mau dukung. Maka, itu sekarang muncul Barka, Barisan Ridwan Kamil.

Ketemu PDI dan Bu Mega sudah juga?

Semua sudah. Saya sudah ketemu Pak SBY, Bu Mega, Pak Jokowi, semua ketua partai sudah. Jawabannya masing-masing sudah punya logika sendiri. Contoh, "Pak Ridwan, saya harus survei internal dulu." Masak saya maksa? Kan enggak bisa. Saya cuma bisa jawab, “Saya paham, saya tunggu kabar baiknya."

Jadi poinnya, di republik ini simulasi Pilkada itu ditentukan di Jakarta. Maka, di daerah gimana, tapi kalau Bu Mega, Pak Jokowi, Pak SBY, Surya Paloh, OSO, Sohibul Iman, Romi, kalau semua bilang A ya A. Nah, saya memahami konteks itu.

Kalau kemungkinan jadi cawagub enggak ada?

Saya sudah tahu positioning-nya. Saya ini lebah pekerja, kalau enggak dikasih kerjaan yang clear tantangannya, saya enggak bisa. Wakil itu hanya berfungsi jika nomor satunya berhalangan. Kalau nomor satunya tidak berhalangan, kan, hanya ceremonial role. Saya bukan tipe haha hihi.

Kalau ada koalisi nanti bagaimana?

Ya, makanya, luar biasa Nasdem bilang saya bisa tentukan wakil sendiri. Tapi, kan, nanti ada koalisi. Kursi Nasdem cuma lima. Sekarang rata-rata partai yang saya dekati minta waktu, minta wakil dari mereka.

PDI Perjuangan juga sudah menawarkan?

Sama. Minta wakil dari kadernya.

Siapa yang disebut? Rieke?

Ya, kalau nama, mereka ada banyak kader. Ada Rieke, Puti, ada siapa-siapa lagi banyak. Intinya gini, partai tidak mungkin tidak punya kepentingan. Kepentingan itu dititipkan di calon, kan? Tidak memaksakan soal calon, menurut saya sudah luar biasa. Anomali.

Seandainya bisa memilih sendiri, ada kriteria untuk calon wakilnya?

Saya ada tiga [kriteria]. Pertama, tidak matahari kembar, supaya tidak gelisah dan tidak nyaman. Kedua, [punya] leadership, seandainya nomor satu berhalangan, dia bisa menggantikan, maka preferensi artis saya hindari. Ketiga, ada popularitas. Nah cari tiga kriteria ini tidak mudah.

Saya itu berpolitik sejak jadi walikota, sebelumnya saya dosen, biasa bimbing mahasiswa, ilmiah, masuk ke dunia baru, birokrasi. Nah, politik seperti main catur, tujuannya skak mat. Tapi setiap waktu itu jalannya beda-beda. Kalau ada yang bilang akan kita Jakarta-kan Bandung, akan kita Ahok-kan Ridwan Kamil, saya hitung-hitung: enggak.

Ini beda. Jakarta urban, dibom pakai medsos bisa. Jawa Barat ya itu tadi. Hanya 30 persen yang preferensi beritanya dari medsos. Jawa Barat isinya ada hutan, ada pantai, ada taman, kotanya ada 27, tahun depan ada 16 kota kabupaten yang akan bersaing, mengkonsumsi politik lokal.

Jadi boleh taruhan, meng-apple to apple-kan Jakarta dengan Jawa Barat tidak akan terjadi.

Tapi ada semacam adagium Sunda itu Islam, Islam itu Sunda. Di Jakarta, Ahok tergerus kampanye di masjid-masjid.

Iya, demokrasi itu punya dua sisi, sisi positif dan sisi negatif. Positif demokrasi ini dari rakyat, by the people. Sisi negatifnya, kalau rakyat uneducated itu berbahaya. Pak Ridwan, menurut suara mayoritas kita masuk jurang, ayo kita masuk jurang. Kenapa ke jurang? Ya, pokoknya suara mayoritas. Nah ini tidak bisa dihindari.

Di mata demokrasi langsung, pilihan dengan analisis ilmiah tidak memiliki nilai tambah [tidak ada bedanya dengan pilihan tanpa analisis]. Jadi, artinya, Ahok tergerus karena ada yang memainkan politik emosi, politik identitas. Bagi saya, ini kontestasi mau kelas tarkam [antar-kampung] atau mau sekelas FIFA? Dua-duanya memenangkan piala. Bagi saya, saat ini masih pada memilih [kontestasi] kelas tarkam. Dengan cara yang begitu, menang dengan memaki, black campaign. Masih jauh dari menang karena gagasan, menang karena program, menang karena kapasitas. Jadi, saya enggak bisa ngapa-ngapain, karena kontestasi demokrasinya masih di situ.

Jawa Barat kasus intoleransi paling tinggi, itu bisa terjadi juga kalau Anda menang?

Itu saya sesali, tapi realitasnya begitu. Saya dulu menduga urusan intoleransi sudah selesai di zaman ayah saya, kakek saya. Kakek saya itu pimpinan perang santri Hizbullah. Pernah dipenjara Belanda, di Sukamiskin dan di Kebonwaru. Uwak saya anak ketiga bawa santri menyerang Belanda gugur di Ujungberung. Jadi di keluarga saya, korban nyawa sudah ada untuk membela pancasila dan NKRI. Saya sebagai anak yang lahir di zaman Orde Baru mengira perdebatan itu sudah selesai. Ternyata enggak juga, itu yang saya sesalkan.

Jadi, sekarang ini saya harus balik kanan, menyiapkan lagi pondasi. Saya bikin subuh berjamaah, culinary night, saya maksa lurah camat blusukan turun ke bawah merangkul dan alhamdulilah di Bandung kondusif, karena semua perangkat pemerintahnya saya ajak turun. Bikin video toleransi, saya bawa ke gereja, masjid, pura, itu masih dibutuhkan saat ini. Dan menguat, karena ini, hari ini terjadi perang informasi.

Tiga jam orang Indonesia pegang gadget dibombardir berita hoax. Ibu saya kadang-kadang tanya, “Bener kamu kayak gini? Katanya kamu anu anu.” Ibu saya 70 tahun. Kapan hari telepon, karena ribut katanya saya bikin lambang Zionis. Ada gedung kalau diambil dari sudut tertentu bentuknya mirip Bintang Daud. Bayangkan. Ibu saya mengkonfirmasi. Isu identitas, isu intoleransi. Ternyata itu nyata dalam kacamata saya sebagai Walikota Bandung.

Jadi saya tidak bisa membangun bangunan saja, saya harus back to basic, ngurusin mental, urasan rohani, urusan karakter. Harus turun.

Pernah enggak ada friksi dengan Oded (Wakil Walikota Bandung), soal Anda datang ke gereja, datang ke pura, Syiah?

Nanyanya jangan ke saya, tanya ke Mang Oded.

Saya ini bukan walikota umat Islam saja, tapi saya sudah disumpah jadi Walikota Bandung, siapa pun yang ber-KTP Bandung. Jadi, saya ini walikotanya orang Islam, orang Kristen, Buddha, Hindu, dan lainnya yang tinggal di Bandung. Saya walikota orang baik, orang jahat, walikotanya dosen, walikotanya PSK, selama KTP-nya Bandung. Jadi, logika itu saya terjemahkan dalam membuat kebijakan untuk urusan minoritas.

Mang Oded datang dari PKS, tapi karena kapasitasnya wakil, jadi tidak bisa melakukan kapasitas yang bisa saya lakukan. Karena, kan, sudah saya katakan tadi, wakil itu hanya berfungsi ketika nomor satunya berhalangan. Mang Oded pernah sama saya datang ke gereja sekali.

Soal pembangunan, pandangan secara umum, yang baru diberesi di Bandung itu yang di pusat. Daerah perbatasan kabupaten, Pasar Kordon misalnya, masih ada yang amburadul.

Saya katakan tadi, tidak mungkin dalam lima tahun saya bisa membereskan semuanya, tapi saya membuat pondasinya.

Pernah lihat postingan saya soal Pasar Sarijadi? Pasar Sarijadi itu pasar yang kumuh, becek, tapi sekarang sudah keren seperti Pasar Santa. Jadi betul, Pasar Kordon belum sampai, ada 30 titik. Kadang-kadang karena enggak punya duit, titik yang dipersepsi itu belum dikerjakan, bukan enggak dikerjakan.

Pak Ridwan hanya membangun di tengah saja? Nah, saya ini satu-satunya walikota yang memberikan anggaran 100 juta per RW. Di awal menjabat, saya tahu pembangunan di Bandung tidak jalan kalau sentralistik. Dikit-dikit minta ke dinas, apa-apa minta ke dinas. Maka, kita ada program inovasi pembangunan dan pemberdayaan kewilayahan. Statistik menunjukkan dari 1.000 meter persegi jalan yang minta diperbaiki, 600 meter perseginya selesai dengan program desentralisasi ini. Justru di Bandung-lah pembangunan bisa sampai ke jengkal-jengkal seluruh penjuru Bandung.

Cuma, yang mendominasi pemberitaan adalah posisi ruang publik yang ada di tengah kota. Memang karena sejarah [sejak zaman] Belanda, Bandung sebagai kota taman, posisi taman yang mendominasi pemberitaan itu adanya di tengah kota. Tahun ini saya bikin taman di Kopo, saya sudah bereskan di Ujungberung.

Jangan lupa, saya ini masih ada 1,5 tahun memegang anggaran. Kalau mau nge-judge saja, judge saya di akhir 2018. Kalau ada yang bilang, “Pak Wali itu belum beres?” Saya masih 1,5 tahun, bukan berarti tidak dikerjakan. Bedanya adalah karena isu Nasdem, seolah-olah pembangunan akan selesai sekarang dan berlanjut ke isu baru. Enggak begitu. [Masih ada] anggaran Rp6 triliun yang harus dihabiskan sampai Desember, masih ada anggaran 7 triliun untuk 2018. Pasar Kordon sedang proses, memang belum bisa diberitakan.

Balik lagi ke pencalonan gubernur, kalau Nasdem enggak punya partner koalisi?

Ya, berarti saya enggak nyalon. Situasi terburuk itu sudah saya pikirkan. Kemungkinan saya akan kembali jadi arsitek.

Enggak coba calon independen?

Itu ada, tapi menurut hasil analisis sulit. Artinya ada, sedang kami hitung, tapi cenderung pesimis. Karena di pemilihan tahun lalu, Pak Aher melawan calon independen juga. Independen itu lemahnya tidak ada hierarki, kamu tidak bisa menyuruh, namanya juga relawan. Sibuk, lagi ngurus keluarga. Tapi, kalau partai itu kayak PT dengan karyawan. Kerja kamu, sebarkan spanduk atau ketok pintu, itu bisa dilakukan. Independen masalahnya bukan pada mengumpulkan KTP-nya, tapi yang terberat memenangkan sistematis setelah KTP terkumpul.

Tapi, kan, Anda punya pasukan, seperti saat maju jadi walikota Bandung.

Iya. Tapi, kan, saya dulu ditinggalkan sama teman-teman komunitas karena maju lewat partai. Saya dipersepsikan sebagai orang komunitas, kok, akhirnya milih partai. PKS waktu itu juga sedang kena isu [korupsi], kan. Langsung balik kanan semua. Tapi, saya tahu memilih independen itu tidak realistis. Dan betul, tidak ada calon independen yang mendapat suara lebih dari 10 persen waktu Pilwalkot Bandung. Bukan soal ngumpulin KTP kayak Ahok. Kalau sudah ngumpulin 1 juta, si 1 juta ini bergerak enggak?

Berarti Barka tidak masuk dalam hitungan bisa menghasilkan banyak suara?

Barka bagi saya itu distributor konten. Hari ini mereka bekerja membantu saya menyebarkan informasi-informasi yang dikelola mereka dan merangsek ke lokasi-lokasi di mana saya lemah. Maka, ada kabar baik. Bulan November tahun lalu, di area Cirebon saya kalah sama Dedy Mizwar menurut survei. Minggu lalu, keluar survei, saya sudah menang.

Kenapa? Karena selama 6 bulan, saya sudah blusukan selama enam kali [di Cirebon]. Ke warga, ke kampus, ke kiai, ke pasar, ke mana-mana. Artinya sudah benar rumusnya. Datangilah daerah yang lemah. Saya sudah tidak perlu datangi Bandung karena sudah menang. Saya akan ke Bogor.

Saat ini [menurut survei] menang di 19 kabupaten dari 27, sisanya kalah. Dari Bekasi sampai Indramayu saya kalah. Dedy Mulyadi menurut survei saya, menang di kotanya sendiri [Purwakarta]. Sisanya Dedy Mizwar, karena dia sudah terkenal. Saya itu baru 60 persen keterkenalan, itu pun di kota. Di desa, terutama di pantura, harus saya kejar 40 persennya. Nah, makanya bergerak dengan keilmiahan itu menarik, karena kita enggak buang energi dan mendatangi lokasi yang tepat.

Kalau dari PDI, mau menerima calonnya?

Ya, nggak masalah juga. Saya enggak ada masalah. Setelah jadi walikota ideologi saya adalah pelayanan publik.

Saya ada beberapa yang tidak sinkron dengan Pak Oded, kan, soal urusan saya membela Sabuga dengan cara saya. Saya ambil risiko, saya di-bully oleh kanan. Bagi saya, saya enggak bisa punya warga gelisah. Jadi walikota warganya gelisah, punya ketakutan.

Saya buka juga. Acara di Sabuga itu acara provinsi. Itu level provinsi, mengundang semua gereja di provinsi, perizinannya di provinsi, tapi lokusnya di Bandung. Kalau acara provinsi, ada apa-apa pemerintah provinsi-lah [yang seharusnya menangani]. Tapi enggak bisa, karena lokusnya di Bandung. Nanti dibilang Ridwan Kamil melakukan pembiaran.

Nah ini saya beritahu, walikota itu tidak absolute power dalam sistem ketatanegaraan kita. Saya hanya menguasai 70 persen. Sisa 30 persen itu tidak bisa saya kendalikan langsung, apa itu? Kepolisian, saya hanya bisa memohon, tidak bisa memerintahkan. Pertahanan, TNI. TNI bikin apa-apa, saya tidak bisa, hanya bisa menghimbau, tidak bisa menyuruh-nyuruh. Sempat terjadi perpustakaan jalanan yang dibubarkan. Soal Agama, agama itu bukan wilayah saya itu wilayah pusat dan provinsi. Maka, ada perda pelarangan Ahmadiyah kan.

Justisi itu hakim dan jaksa, saya enggak bisa. Politik luar negeri juga tidak bisa, misalnya tiba-tiba Ridwan Kamil ke Israel, itu tidak boleh. Terakhir fiskal, saya tidak boleh pinjam duit sembarangan. Jadi tolong edukasi, di enam urusan ini walikota tidak bisa membuat keputusan langsung.

Contoh lagi, soal banjir, ya. Banjir di jalan nasional. Saya tidak bisa belanjain duit saya untuk belanja gorong-gorong jalan nasional. Saya bisa ditangkap KPK. Karena membelanjakan sesuatu di aset milik orang lain melanggar hukum. Ada yang meninggal masuk got di Jalan Setiabudi, itu jalan provinsi. Saya bisa benerin, tapi nanti ditangkap juga. Gedebage yang diributkan banjir, itu jalan nasional.

Jadi, kota itu irisan aset-aset yang tidak semuanya kami kuasai. Itulah dinamika mengelola hari ini, ada enam urusan yang tidak bisa saya perintah langsung, ada irisan aset yang tidak bisa saya perbaiki dan belanja langsung.

Apa yang akan dilakukan pertama kali seandainya menang di Jabar?

Saya melakukan based on survey. Ekonomi. Jadi maaf, ya, isu intoleransi bukan isu top of mind warga Jawa Barat. Kita orang luar melihat itu. Yang sedih itu saya ke Karawang, saya dicurhati tiga kelompok, guru, petani dan nelayan.

Guru, gimana isu pendidikan? Malah ekonomi yang dicurhatin. Kurikulum dan lainnya enggak, ngomongnya kesejahteraan. Okelah. Petani juga begitu, isunya sama, “Kami tidak sejahtera”.

Yang lebih parah itu nelayan. “Pak Ridwan, kalau boleh aspirasi, saya ingin sejahtera seperti petani”. Sedih, enggak? Ada kelompok yang mimpinya sederhana, ingin seperti petani. Padahal petani mengeluhkan kesejahteraan.

Lalu caranya bagaimana memperbaiki ekonomi?

Nah, gini. Saya sudah ketemu caranya. Sistem hidup kita ini sebenarnya terlalu didikte oleh pasar, tidak ada pelindungan-perlindungan negara. Karena itu, saya mau intervensi pasar. Kenapa petani tidak sejahtera? Misalnya kamu petani, kamu jual seratus, dibeli sama istri saya di Bandung seribu. Siapa yang dapat untung sembilan ratus? Membeli paksa, menjual di pasar dengan harga sendiri. Itu calo. Yang kaya calo.

Saya sekarang lagi bikin aplikasi beli beras, jadi istri saya nanti beli beras pakai aplikasi seperti Go-Food. Bedanya kalau Go-Food yang datang pizza, kalau ini beras. Untungnya ke mana? Ke petani langsung yang sedang saya edukasi. Saya ingin petani nanti tidak jual gabah, harus naik kelas, petani jual itu nanti sudah jadi beras. Dan sudah dikemas 2 kg, 3 kg, 5 kg.

Ini edukasi memberi nilai tambah pada produk?

Iya, nilai tambah, jadi boleh jual tiga kali lipat. Petani mengambil hak dari si calo, kami bisa beli dengan lebih murah juga. Nah, doakan ini berhasil. Jadi maaf, ya, masalah selama ini bukan soal menaikkan produksi, dipupuki atau gimana. Bukan itu. Sejahtera itu bukan karena produksinya, tapi karena sistem perdagangannya yang membuat orang yang paling keras tidak mendapat apa yang mereka seharusnya dapat.

Kalau untuk nelayan agak beda, saya harus melindungi dengan jaminan sosial. Karena ketika cuaca enggak mendukung, mereka enggak bisa kerja. Mereka tergantung sekali dengan cuaca. Jadi benar, kesejahteraan mereka itu jauh sekali.

Tapi seberapa besar dampaknya? Seberapa orang sih yang sudah melek menggunakan teknologi? Di Jawa Barat saja Anda bilang yang pakai medsos hanya 30 persen saja?

Kamu tidak bisa melawan tren. Sekarang orang akan melakukan semua urusan hidupnya lewat mobile phone. Itu hanya masalah waktu. Dulu Tv barang mewah, sekarang TV bagi orang miskin bukan barang mewah. Dulu smartphone mungkin hanya dipakai sebagian orang saja, tapi sekarang orang miskin pakai smartphone juga. Dulu orang sibuk mau datang ke toko, tapi sekarang enggak mau, kan? Maunya duduk barang datang dari online store dan digital ekonomi.

Di Bandung, ada 20 juta transaksi online tahun kemarin. 12 juta transaksi barang Bandung yang dijual keluar, 8 jutanya barang luar yang dijual ke Bandung. Jadi betul, hari ini belum semua. Tapi suatu hari akan sampai waktunya.

Dulu pemerintah pernah bikin juga, bekerja sama dengan Ovi Store milik Nokia. Tapi gagal juga.

Artinya sebagai orang yang juga senang dengan teknologi, saya harus memastikan ini berhasil.

Di Jabar itu masih punya masalah dengan infrastruktur, bagaimana?

Jadi lima besar problem Jawa Barat, sesuai survei, ya, infrastruktur, daya beli, pengangguran, harga sembako, kelimanya saya lupa, tapi masih ekonomi. Jadi, kalau ditanya solusi dari top of mind warga Jabar, yakni infrastruktur, saya sudah punya solusi; PPP (public-private partnership). Buruknya daya beli karena IPM jelek, dari situ masalahnya. Pengangguran diselesaikan dengan memperbanyak enterpreneur. UMR desa setara UMR kota seperti di Jepang itu mimpi saya.

IPM di Jawa Barat jelek-jelek, ini juga terkait dengan pendidikan.

Iya, semester ini kami tembus IPM Bandung 80, itu kebahagiaan saya. 70 persen kota/kabupaten di Jawa Barat itu IPM-nya rendah. Level dua itu hanya Depok, Kota Bekasi, termasuk Purwakarta. Pendidikan di Bandung sudah tinggi, menyumbang cukup tinggi. Kelemahan di Bandung itu daya beli, ada gap indeks gini yang tinggi yang sedang saya lawan. Tapi kalau ngomongin Jawa Barat, buka saja di BPS, masih kepala 6.

Makanya jangan pernah membandingkan Jakarta dengan Jawa Barat. Enggak apple to apple. Jakarta itu kota besar, judulnya saja provinsi. Tapi dinamikanya dia tidak punya pantai, hutan, desa. Bentuknya kota besar, duitnya banyak Rp70 triliun, dibandingkan dengan sebuah provinsi dengan pantai, hutan, laut, dan sebagainya, uangnya hanya Rp45 triliun setahun untuk 45 juta orang. Jakarta Rp70 triliun untuk 10 juta orang.

Jadi, kalau ada analisis-analisis membandingkan Jakarta dengan Jawa Barat, menurut saya scientifically false. Kalau membandingkan Jakarta dengan Bandung, baru apple to apple. Dari sisi gagasan, dan problem. Maka, masalah Jakarta dan Bandung sama. PKL, rusun.

Tapi, kan, Anda ahli kota?

Makanya, kalau saya terpilih jadi Gubernur Jakarta, mah, tinggal lari saja. Tapi kalau provinsi [Jawa Barat], saya perlu belajar lagi. Pertanian, nelayan, ada challenge baru.

Baca juga artikel terkait RIDWAN KAMIL atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Mild report
Reporter: Maulida Sri Handayani & Mawa Kresna
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Zen RS