Menuju konten utama

Hitung-hitungan Politik Usai Reshuffle

Peta politik di parlemen berubah setelah Presiden Joko Widodo berhasil menarik Partai Golkar dan PAN bergabung dalam kabinet kerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Kini, secara matematis di atas kertas dukungan parlemen pada pemerintah cukup kuat dan menjanjikan.

Hitung-hitungan Politik Usai Reshuffle
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla berfoto bersama dengan kedua belas menteri kabinet kerja hasil perombakan jilid II usai diumumkan di Istana Merdeka, Jakarta. [Antara Foto/Widodo S. Jusuf]

tirto.id - Presiden Joko Widodo kembali merombak kabinetnya. Ini merupakan perombakan kedua di usia kabinet Joko Widodo – Jusuf Kalla yang belum genap berumur 2 tahun. Ada 13 pos menteri yang diganti. Tujuan perombakan kali ini, menurut Presiden Jokowi, untuk menghadapi tantangan berat, seperti memberantas kemiskinan, mengurangi kesenjangan ekonomi dan kesenjangan wilayah. Presiden ingin persoalan tersebut segera terselesaikan.

“Saya selalu ingin berusaha maksimal agar kabinet kerja lebih efektif dan solid mendukung, sehingga hasil nyata dalam tempo yang cepat. Sehingga saya dan Pak Wakil Presiden [Jusuf Kalla] memutuskan merombak kabinet kedua,” kata Presiden Jokowi.

Dari nama-nama yang dilantik, ada dua sosok yang menjadi sorotan publik, yaitu Sri Mulyani Indrawati yang diangkat sebagai Menteri Keuangan, dan Wiranto yang dipercaya sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).

Keputusan Jokowi memilih Wiranto dikritik oleh aktivis hak asasi manusia (HAM), salah satunya KontraS. Koordinator KontraS, Haris Azhar menilai, Wiranto adalah sosok yang harus bertanggung jawab terhadap sejumlah praktik pelanggaran HAM berat.

"Namanya ada di sejumlah laporan Komnas HAM, seperti peristiwa penyerangan 27 Juli, tragedi Trisakti, Mei 1998, Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi 1997/1998 serta Biak Berdarah," ujar Haris seperti dikutip Antara.

Keputusan Presiden Jokowi menarik pulang Sri Mulyani juga mengundang perhatian publik, karena sebelumnya, Sri Mulyani adalah Menteri Keuangan di kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, karena tekanan politik dan menjadi “bulan-bulanan” para politisi dalam kasus penyelamatan Bank Century, ia memutuskan untuk meninggalkan pos menteri keuangan tersebut.

Keberanian Jokowi mengajak gabung Sri Mulyani tentu sudah memperhitungkan banyak faktor. Jokowi yakin kapasitas Sri Mulyani untuk membawa perekonomian Indonesia lebih baik dan menyukseskan amnesti pajak yang menjadi harapan pemerintah. Tak hanya itu, Jokowi pasti punya pertimbangan politik terkait penunjukan Sri Mulyani ini. Sebab, pada 2010, saat Sri Mulyani meninggalkan pos Menteri Keuangan semata-mata bukan karena kinerjanya yang buruk, tapi karena desakan dari partai politik, sehingga Presiden Yudhoyono menggantinya dengan Agus Martowardojo.

Tak heran jika Manajer Investasi Panin Asset Management, Indra Mawira menilai, bergabungnya Sri Mulyani dalam kabinet kerja tidak hanya mengembalikan kepercayaan pasar, tetapi sebagai bukti Presiden Jokowi telah mampu menaklukkan parlemen.

Apa yang diungkapkan Indra Mawira cukup masuk akal. Setidaknya, konsolidasi politik Presiden Jokowi tersebut tercermin dalam proses pembahasan RUU Pengampunan Pajak yang sempat terkatung-katung dan membuat pemerintah ketar-ketir. Kerja keras Jokowi membuktikan, bahwa parlemen telah dikuasi dengan mulusnya pengesahan RUU Pengampunan Pajak yang disahkan pada akhir Juni lalu.

"Reshuffle hari ini, dan pengangkatan Kapolri baru awal bulan [Juli] ini, jelas menunjukkan bahwa Jokowi telah mampu mengkonsolidasikan kekuasaan politik ke arahnya dan investor telah dan akan selalu menyambut positif [reshuffle] ini,” kata Indra Mawira seperti dilansir bloomberg.com.

Peta Politik di Parlemen

Bergabungnya Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) dalam kabinet kerja pemerintahan Jokowi, tentu akan mengubah konstelasi politik di parlemen. Partai pendukung pemerintah yang awalnya terdiri dari PDIP, PKB, Partai Nasdem, PPP, dan Hanura hanya memiliki 246 kursi di parlemen. Sementara partai politik di luar pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) memiliki 314 kursi. Jadi secara matematis di atas kertas, partai pendukung pemerintah pasti kalah.

Sebagai contoh adalah saat pemilihan pimpinan DPR pada 2014 lalu. Saat itu, partai pendukung pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) kalah telak dengan partai yang tergabung dalam KMP. Konsekuensinya, PDIP sebagai pemenang pemilu 2014, tidak mendapatkan jatah jabatan pimpinan di DPR dan MPR.

Peta politik kini berubah seiring dengan keberhasilan Jokowi menarik partai-partai yang tergabung di KMP. Masuknya Golkar dan PAN, serta terpilihnya Muhammad Romahurmuziy sebagai Ketua Umum DPP PPP membuat dukungan parlemen terhadap pemerintah Jokowi semakin kuat.

Artinya, secara hitung-hitungan di atas kertas, kebijakan pemerintah tidak akan terhambat di parlemen. Sebab, setelah reshuffle jilid dua ini, partai pendukung pemerintah di parlemen memiliki 386 kursi, sementara partai di luar pendukung pemerintah hanya mempunyai 174 kursi.

Walaupun demikian, Presiden Jokowi harus tetap mempertimbangkan bahwa politik tidak statis, tapi dinamis mengikuti perkembangan situasi kekinian. Dalam konteks ini, sebagai contoh, partai pendukung pemerintah tidak selamanya akan mengawal kehendak pemerintah. Sejarah telah membuktikan, misalnya dalam kasus pemilihan Kapolri 2015. Ketika itu, PDIP menginginkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, sementara Jokowi tidak menghendakinya. Kebuntuan politik tersebut dapat diatasi, dengan ditunjuknya Budi Gunawan sebagai Wakapolri.

Politik Akomodatif Ala Jokowi

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menegaskan, perombakan kabinet jilid dua ini sebagai respons terhadap tantangan berat yang akan dihadapi Indonesia. Namun, kalau dilihat secara cermat, keputusan Jokowi dalam reshaffle ini bukan semata-mata untuk menyegarkan kabinet kerja, melainkan ada pertimbangan lain, seperti mengakomodir partai atau kelompok yang belakangan merapat.

Misalnya, untuk merangkul Partai Golkar dan PAN, Jokowi mendepak menteri yang berasal dari Partai Hanura, yaitu Menteri Perindustrian, Saleh Husin yang diganti oleh politisi Golkar, Airlangga Hartarto, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yudy Chrisnandi yang digeser oleh politisi PAN, Asman Abnur.

Didepaknya dua politisi Partai Hanura dari kabinet kerja memang sudah banyak diprediksi. Secara kasat mata, kinerja kedua menteri tersebut memang tidak memuaskan. Misalnya, Yuddy yang beberapa kali terjebak dalam polemik publik terkait aktivitasnya, mulai dari katabelece untuk kawan yang berlibur di luar negeri hingga terakhir, pulang mudik dengan menggunakan mobil dinas menteri. Begitu juga dengan Saleh Husin yang dinilai kesusahan menerjemahkan visi Presiden yang ingin memberikan kemudahan investasi.

Konsekuensi keputusan tersebut, Presiden Jokowi mengangkat Wiranto sebagai Menkopolhukam. Ia punya alasan kuat memilih Wiranto, meski menyadari akan ada protes dari sana sini.

Politik akomodatif ala Jokowi ini juga terlihat dalam keputusannya mengganti Ferry Mursyidan Baldan sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR). Sebagai konsekuensinya, Presiden Jokowi memberikan kursi Menteri Perdagangan yang dijabat seorang profesional, Thomas Trikasih Lembong pada Enggartiasto Lukita, yang notabene adalah politisi Partai Nasdem.

Begitu juga dengan menteri dari PKB, Marwan Jafar. Pria asal Pati, Jawa Tengah tersebut didepak dari jabatannya sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Namun, Jokowi tetap memberikan pos kementerian tersebut pada politisi PKB lainnya, Eko Putro Sanjoyo.

Untuk diketahui, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ini sempat menjadi rebutan beberapa partai, salah satunya PDIP. Namun, PKB pasang badan agar pos kementerian yang dinilai strategis ini tidak jatuh pada partai lain.

Dalam reshuffle kedua ini, Presiden Jokowi juga mengakomidir ormas Muhammadiyah. Presiden Jokowi rela mengganti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan dengan sosok yang lebih merepresentasikan Muhammadiyah, yaitu mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhadjir Effendi. Padahal, secara kinerja, Anies Baswedan tergolong cukup baik. Lembaga Klimatologi Politik (LKP) pernah merilis hasil survei kinerja kabinet Jokowi yang menempatkan Anies pada peringkat terbaik kedua, di bawah Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.

Sayangnya, dalam reshuffle jilid dua ini, Presiden Jokowi tidak menyentuh menteri dari PDIP, seperti Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani. Padahal, publik menilai, kinerja Puan jauh dari kata “memuaskan”. Selain itu, Presiden Jokowi juga tidak menyentuh menteri yang memiliki kedekatan dengan Megawati, seperti Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, dan Menteri BUMN, Rini Soemarno.

Kini, secara matematis dukungan parlemen pada pemerintah cukup kuat dan menjanjikan. Untuk sementara, Presiden Jokowi dan para pembantunya bisa bekerja dengan tenang. Namun, politik selalu dinamis. Perubahan-perubahan, letupan-letupan baru akan selalu muncul. Dinamika itu harus terus dicermati agar tidak mengganggu kinerja pemerintah di kemudian hari.

Baca juga artikel terkait POLITIK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti