Menuju konten utama

Pemilu 2019: Potensi Pemilih Berpaling dari Jokowi-Prabowo

Perubahan peta politik dan munculnya calon alternatif di luar Joko Widodo dan Prabowo Subianto di Pilpres 2019 masih mungkin terjadi.

Presiden Jokowi di atas kuda tunggangan didampingi Prabowo Subianto menjawab wartawan, di Padepokan Garuda Yaksa, Desa Bojong Koneng, Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Senin (31/10) siang. (Foto: Humas/Rahmat)

tirto.id - Direktur Polmark Research Center (PRC) Eep Saefulloh Fatah mengatakan bahwa situasi politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 masih cair. Menurutnya, meski survei nasional PRC bertajuk "Referensi Calon Pemilih Menuju Pemilu 2019" menyatakan Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto memperoleh elektabilitas tertinggi dari sekian tokoh politik nasional, perubahan peta politik dan munculnya calon alternatif masih mungkin terjadi.

Elektabilitas Jokowi berada di angka 41,2 persen, sedangkan Prabowo 21 persen. Gabungan elektabilitas dua rival di Pilpres 2014 itu mencapai 62,2 persen.

"Benar bahwa Jokowi nomor satu, tetapi ketika ditelusuri lebih lanjut ada beberapa catatan. Pertama, ketika dibandingkan dengan pilihan responden kami pada 2014, ternyata Jokowi maupun Prabowo mengalami penurunan jumlah pemilih. Itu artinya pergeserannya bukan positif tetapi negatif," ujar Eep saat diwawancarai Tirto seusai pemaparan hasil survei nasional PRC di Jakarta, Minggu (22/10/2017).

Menurut survei yang digelar pada 9-20 September 2017 tersebut, dari 41,2 persen yang mengaku akan memilih Jokowi, hanya 26,6 persen yang mengaku mantap atau tidak akan mengubah pilihannya hingga pelaksanaan Pilpres. Angka tersebut juga berarti ada 14,6 persen calon pemilih yang berpotensi tidak mencoblos Jokowi kelak. Sementara itu, terdapat 10,6 persen dari 21 persen pemilih Prabowo yang menyatakan masih mungkin untuk mengubah pilihannya nanti.

"Ternyata jumlah pemilih yang belum mantap masih signifikan. Artinya, perpindahan mereka sebagai swing voters masih cukup terbuka. Kemudian masih ada variabel waktu, yakni 2019 masih lama. Yang harus hati-hati menurut saya adalah Jokowi dan Prabowo, karena sangat mungkin akan muncul calon alternatif," kata Eep.

Baca juga: Indo Barometer Sebut Elektabilitas Prabowo Kalah dari Jokowi

Survei nasional PRC juga menyebutkan, dari 67,5 persen responden yang mengaku puas dan sangat puas terhadap kinerja presiden Jokowi, sebanyak 23,2 persen di antaranya tidak ingin Jokowi menjadi presiden lagi.

"Ada jarak antara yang puas dan yang ingin memilih kembali. Seperti pada Pak Ahok dari 70 persen yang puas tapi hanya ada 40 persen yang ingin memilihnya kembali," ujar Eep.

Dalam kesempatan yang sama, pengamat dan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia secara politik "moody". Mereka-mereka ini akan menjadikan Pemilu sebagai alat untuk mengoreksi pemerintahan yang ada. Koreksi tersebut yang menurutnya akan memberikan peluang kepada tokoh-tokoh lain untuk mencalonkan diri.

"Kalau Jokowi memang masih on the top, itu bukan hal yang mengherankan karena tidak ada calon lain. Untuk petahana sekelas Jokowi yang luar biasa dalam hal pelantikan dan macam-macamnya itu, angka 40 persen ini gak nendang blas. Mestinya beliau ada di 80 persen, karena sesuai dengan keriuhan masyarakat menyambut pak Jokowi," ujar Zuhro.

Baca juga: SMRC: Elektabilitas Jokowi Menguat dan Prabowo Menurun

Selain Jokowi dan Prabowo, menurut survei nasional PRC, para tokoh lain hanya memperoleh elektabilitas di bawah 3 persen. Agus Harimurti Yudhoyono menduduki peringkat ketiga dengan 2,9 persen, diikuti Anies Baswedan (2,2 persen), Hary Tanoesoedibjo (2 persen), dan Gatot Nurmantyo (2 persen).

"Saya yakin kalau tidak ada presidential threshold, akan banyak sekali partai yang dengan senang hati mengajukan pimpinannya. Dan mungkin Pilpres kita akan ramai seperti pemilihan presiden Iran yang calonnya bisa sampai sepuluh atau belasan, atau Perancis," ujar Eep.

Baca juga: Pemerintah Tetap Kehendaki Presidential Threshold Pola 20-25

Undang-Undang Pemilu yang disahkan pada 20 Juli lalu memutuskan bahwa presidential treshold sebesar 20-25 persen. Dengan begitu, partai yang bsia mencalonkan presiden harus punya 20 persen kursi di DPR, baik sendiri atau berkoalisi. Namun karena presidential treshold ditentukan dari hasil Pemilu 2014 lalu, tidak ada satupun partai yang bisa mencalonkan presidennya sendiri, termasuk PDIP selaku partai pemenang.

Koalisi partai yang bisa mengusung Capres-Cawapres harus punya setidaknya 112 kursi dari total 560 kursi di DPR. Berdasarkan hitung-hitungan itu, hanya bakal ada dua kandidat saja di Pemilu 2019 nanti.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Rio Apinino
-->