tirto.id - Tidak kurang dari Rp409,0 triliun dianggarkan pemerintah Jokowi-JK dalam RAPBN 2018 guna menggenjot pembangunan infrastruktur. Anggaran tersebut terdiri dari infrastruktur ekonomi sebesar Rp395,1 triliun, infrastruktur sosial sebesar Rp9 triliun, dan dukungan infrastruktur sebesar Rp4,9 triliun.
Jumlah proyek yang ingin diselesaikan pun cukup ambisius. Sebanyak 155 proyek harus selesai sebelum atau pada 2019. Sebanyak 118 di antaranya wajib tuntas sebelum atau pada 2018.
Pada 2016, pemerintah Jokowi-JK telah mengucurkan dana sebesar Rp313,5 triliun guna membiayai pembangunan infrastruktur. Pada Agustus 2016, Presiden Jokowi mengklaim pemerintah telah mempercepat pembangunan jalan nasional sepanjang 2.225 kilometer, jalan tol sepanjang 132 kilometer dan jembatan sepanjang 16.246 meter selama 2014 hingga 2016.
Jadi, bisa dikatakan, pembangunan infrastruktur di era Jokowi memang sangat masif. Karena masif dan menyolok, tidak heran jika pembangunan infrastruktur sangat memengaruhi pandangan masyarakat terhadap kinerja tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK.
Survei Lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan, 70,2 persen responden mengaku cukup optimistis dengan kemampuan pemerintah meningkatkan pembangunan infrastruktur. Sebanyak 13 persen di antaranya bahkan mengaku sangat optimistis. Hanya 15,6 persen responden saja yang kurang optimistis, dan hanya 0,8 persen yang mengaku tidak optimistis sama sekali.
Optimisme yang tinggi dari masyarakat terhadap kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan juga tergambar melalui hasil survei yang dilaksanakan 23-30 Agustus 2017 itu.
Sebanyak 13,3 persen responden mengaku sangat optimistis, 63,7 persen menyatakan cukup optimistis. Jumlah tersebut jauh melampaui mereka yang kurang optimistis. Hanya sebesar 20 persen yang mengaku kurang optimistis dan 2,6 persen di antaranya tidak optimistis sama sekali.
“Masyarakat melihat pemerintahan Jokowi-JK sedang melaksanakan pembangunan. Saya kira ini poin penting karena infrastruktur adalah investasi jangka panjang. Ia tidak bisa terlihat langsung manfaatnya hari ini juga,” ujar peneliti politik CSIS Phillips J. Vermonte saat memaparkan hasil survei CSIS, Selasa (12/9/2017).
Menaruh Percaya Terhadap Pemerintah
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah itu menguakkan data lain yang agak ironis. Sebanyak 42,2 persen responden justru menyatakan kondisi perekonomian keluarganya tidak mengalami perubahan selama 5 tahun terakhir. Sebanyak 20,3 persen di antaranya bahkan menyatakan kondisi perekonomian keluarganya memburuk.
Hal senada diungkapkan responden menanggapi kondisi perekonomian Indonesia dibanding 5 tahun yang lalu. Ada 41,7 persen responden menyatakan kondisi perekonomian membaik. Namun 35,9 persen menyatakan tidak ada perubahan pada kondisi perekonomian Indonesia. Bahkan 22,1 persen di antaranya menyatakan kondisi perekonomian Indonesia buruk.
Seolah menambah ironi yang terjadi, hasil survei CSIS menyingkap tingkat elektabilitas Jokowi selalu naik dari tahun pertama hingga tahun ketiga menjabat.
Pada 2015 elektabilitas Jokowi berada di 36,1 persen. Angka ini hanya 8,1 persen lebih besar dibanding elektabilitas Prabowo Subianto. Kemudian pada 2016, tingkat elektabilitas Jokowi berada di 41,9 persen. Sementara itu, pada 2017 elektabilitas Jokowi jauh meningkat sekitar 1,5 kali lipat menjadi 50,9 persen.
“Yang menarik bahwa walaupun masyarakat relatif menganggap tidak ada perubahan ekonomi dalam keluarganya, tetapi tingkat dukungan masih tinggi. Menurut kami ada level trust yang berubah terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Pada level politik, trust masih menjadi modal utama Jokowi-JK,” ujar Phillips.
Janji-janji Proyek Infrastruktur
Jelas, Presiden Jokowi ingin meninggalkan warisan saat pemerintahannya berakhir. Apalagi mantan walikota Solo itu digadang-gadang akan maju lagi sebagai kandidat presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Berbagai proyek infrastruktur yang telah tuntas dapat diklaim sebagai hasil konkret kerja-kerja pemerintahan. Sebagai petahana, Jokowi berada pada posisi yang diuntungkan karena dia menguasai anggaran dan memiliki kewenangan untuk membuktikan prestasinya menyejahterakan rakyat.
Fenomena ini pun tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada masa pemilihan presiden Amerika Serikat 2016, meski berbeda pandangan politik, satu-satunya isu yang sama-sama diajukan Donald Trump dan Hillary Clinton adalah kebutuhan membangun kembali infrastruktur mulai dari jalan, jembatan, dan sistem transit massal.
Trump bahkan mengajukan pengeluaran dua kali lipat dari yang diajukan Clinton untuk bidang infrastruktur.
"Kami akan memperbaiki kota-kota dan membangun kembali jalan raya, jembatan, terowongan, bandara, sekolah, rumah sakit. Kami akan membangun kembali infrastruktur, yang akan akan menjadi tidak ada saingannya," ujar Trump kepada New York Times.
Tidak jauh berbeda, pada Pilpres Perancis 2017, Emmanuel Macron menjanjikan 50 miliar euro untuk digunakan sebagai investasi di bidang infrastruktur, pelatihan kerja, serta pengalihan energi batu bara ke energi terbarukan.
Di Jerman, menjelang pemilihan anggota parlemen pada September 2017, isu bobroknya infrastruktur terus digemakan oleh pemimpin pemimpin Partai Demokrat Sosial Jerman (SPD) Martin Schulz. Dia berjanji mengucurkan miliaran dolar untuk pembangunan sekolah, jalan, dan jaringan broadband yang cepat.
Sebaliknya kanselir Jerman Angela Merkel menolak gagasan tersebut. Menurut pemimpin partai Persatuan Demokrat Kristen Jerman (CDU) tersebut, hambatan utama untuk membelanjakan lebih banyak dana pada infrastruktur bukan karena Jerman kekurangan uang tetapi kemacetan yang terjadi dalam proses perencanaan pembangunan.
"Kita tidak bisa menghabiskan uang yang kita miliki sekarang," ujar Merkel, seperti dilansir dari Financial Times.
Berdasarkan survei yang digelar lembaga Emnid, tingkat elektabilitas SPD berada di angka 25 persen. Sedangkan elektabilitas faksi CDU/CSU mencapai 38 persen.
Sementara itu, menurut survei yang dilaksanakan pada Mei 2017 oleh Pollster, 60 persen orang Jerman menginginkan surplus anggaran negara diinvestasikan untuk bidang infrastruktur. Sedangkan sebanyak 19 persen masyarakat Jerman menginginkan dana tersebut digunakan untuk mengurangi pajak. Sisanya, sebanyak 17 persen responden memilih dana tersebut digunakan untuk membayar utang negara.
Pada awal 2016, The Guardian juga melaporkan Menteri Keuangan India Arun Jaitley mengalokasikan 16 miliar dolar untuk berbagai program yang bakal dilaksanakan di wilayah pedesaan India. Dana tersebut diperuntukkan guna menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan petani, dan membangun jalan pedesaan.
Secara umum, pemerintah India juga akan mengalokasikan 32 miliar dolar untuk pembangunan infrastruktur selama 2016-2017. Jumlah ini meningkat 22,5% dari tahun lalu. Rencananya dana tersebut digunakan untuk membangun 10.000 km jalan raya nasional dan meningkatkan kualitas 50.000 kilometer jalan lainnya.
Menariknya, berbagai kebijakan tersebut dilakukan menjelang diadakannya pemilihan umum 2017 di beberapa negara bagian di India seperti West Bengal dan Uttar Pradesh. Hasil pemilihan umum ini bakal mempengaruhi peluang Perdana Menteri India Narendra Modi maju untuk masa jabatan kedua.
Meski Pilpres masih dua tahun lagi, Jokowi sudah tampak menghembuskan klaim keberhasilan proyek infrastrukturnya. Saat dia menyampaikan pidato kenegaraan, kata ekonomi dan infrastruktur mendominasi isi pidatonya. Dalam tiga pidato itu, Jokowi menyebut kata “pembangunan” sebanyak 78 kali dan “ekonomi” sebanyak 51 kali.
Kata-kata ini muncul seraya ia mengklaim berbagai proyek-proyek infrastruktur yang berhasil dibangunnya. Namun kata-kata itu juga menenggelamkan janji-janji Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan menciptakan perdamaian di Papua. Berbagai proyek infrastruktur pun kerap berujung konflik dan kriminalisasi terhadap mereka yang menolaknya.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS